Di tengah semakin beratnya
tantangan penegakan hak asasi manusia, kisruh internal Komnas HAM tentu
membuat publik prihatin.
Bukannya melakukan gebrakan dalam
penegakan HAM, sejumlah anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) malah menciptakan kegaduhan dalam pertentangan pragmatis memperebutkan
pimpinan Komnas HAM. Ego-ego personal turut memperkeruh sehingga publik
sinis akan masa depan lembaga ini.
Kisruh Komnas HAM hari ini
sesungguhnya hanya puncak gunung es dari masalah yang mendera Komnas HAM.
Sejak kelahirannya, komisi ini memang tidak dibangun dalam konstruksi
politik hukum yang kuat. Lahirnya Komnas HAM rapuh secara politik mengingat
lembaga ini lahir pada rezim pemerintahan otoritarian Soeharto. Desakan
internasional, khususnya setelah keluarnya Deklarasi Wina 1993, memaksa
Soeharto mengeluarkan Keppres No 50 Tahun 1993 tentang Pembentukan Komnas
HAM.
Waktu itu, tuduhan pelanggaran HAM
di Timor Leste sangat gencar. Hal itu membuat pemerintah pada waktu itu tak
punya pilihan selain membentuk Komnas HAM yang awalnya dimaksudkan sebagai
bagian dari diplomasi. Bergulirnya reformasi politik 1998 memaksa negara
mengatur kelembagaan Komnas HAM melalui UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Meski pada awal perjalanannya independensi dan kredibilitas Komnas HAM
diragukan, lembaga ini memiliki kontribusi besar dalam mengungkap beberapa
kasus pelanggaran HAM, termasuk kekerasan pasca-jajak pendapat di Timor
Leste.
Amat disayangkan, Komnas HAM kini
justru didera konflik internal yang sama sekali tak substansial. Langkah
sejumlah anggota Komnas HAM yang sibuk dan berkutat dengan urusan fasilitas
dan jabatan bukan hanya tak elok, tetapi juga memalukan. Banyak persoalan
HAM menanti dituntaskan. Masyarakat, khususnya korban, sangat berharap
anggota Komnas HAM terpilih melakukan terobosan dalam menjawab stagnasi
penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Rekonstruksi politik hukum Komnas
HAM melalui revisi UU HAM sesungguhnya dapat menjadi langkah awal untuk
memperkuat kewenangan dan kelembagaan Komnas HAM yang selama ini dianggap
lemah. Komnas HAM hanya akan bermakna kalau disertai kewenangan penyidikan
pro justicia.
Anggota Komnas HAM semestinya bisa
meletakkan posisi dan peran secara tepat dan benar. Mereka dituntut bisa
berpikir jernih, sekaligus mencurahkan perhatian dan seluruh energinya
dalam mendorong pemajuan dan penegakan HAM.
Tantangan Berat
Tantangan yang dihadapi Komnas HAM
dewasa ini semakin tak ringan. Kasus kekerasan yang berdimensi agama dan
konflik agraria yang semakin meningkat merupakan pekerjaan berat. Di sisi
lain, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu terus menunggu. Beberapa
kasus yang masih tertunggak antara lain pembunuhan massal 1965, penculikan
aktivis 1997-1998, Trisakti, Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998, serta DOM
di Aceh. Pentingnya penuntasan berbagai kasus itu bukan hanya untuk
menyelesaikan persoalan masa lalu dan memenuhi keadilan korban, tetapi juga
menjadi parameter sejauh mana negara menjunjung tinggi HAM dan harkat
martabat kemanusiaan. Komitmen HAM sebagai komitmen konstitusional tak
boleh berhenti pada tataran legal, tetapi diimplementasikan demi keadilan.
Kisruh yang mendera Komnas HAM
tentu mengancam agenda penuntasan kasus pelanggaran dan penguatan HAM.
Dengan adanya pergiliran jabatan pimpinan setiap tahun, anggota Komnas HAM
justru akan disibukkan dengan arisan pergantian pimpinan, bukan mencurahkan
perhatian pada penanganan kasus.
Penguatan Komnas HAM
Dengan semakin beratnya tantangan
dan persoalan HAM yang dihadapi, penguatan Komnas HAM penting dan mutlak
diperlukan. Pergiliran masa jabatan pimpinan Komnas HAM bukan jawaban dari
persoalan di atas. Upaya penguatan Komnas HAM semestinya ditujukan kepada
aspek yang bisa mendukung perbaikan kinerja lembaga ini agar lebih maksimal
dalam mendorong penegakan HAM. Pengaturan kewenangan Komnas HAM sesuai UU
No 39 Tahun 1999 sangatlah terbatas, hanya meliputi kewenangan penelitian,
pemantauan, investigasi, dan rekomendasi.
Dalam pengusutan kasus pelanggaran
HAM, kewenangan Komnas HAM terbatas sampai di tingkat penyelidikan.
Sementara penyidikan dilakukan lembaga lain, yakni Kejaksaan Agung.
Persoalan ini dalam realitasnya membuat penanganan kasus acap kali menemui
jalan buntu. Banyak kasus pelanggaran HAM, tetapi gagal ditindaklanjuti.
Kegagalan Komnas HAM dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat
menjadi contoh. Sejumlah berkas hasil penyelidikan Komnas HAM terkait
pelanggaran HAM masa lalu terbentur di Kejaksaan Agung karena tak
ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Dalam beberapa kasus, Kejaksaan
sering kali mengembalikan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM.
Berkali-kali diajukan, berkali-kali pula Kejaksaan mengembalikan. Tahun
lalu, Kejaksaan mengembalikan berkas penyelidikan kasus 1965-1966 dan
penembakan misterius 1982-1985. Kejaksaan selalu berdalih, berkas tersebut
belum memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Stagnasi penuntasan kasus
pelanggaran HAM itu tentu tidak bisa dilepaskan dari politik transaksional
yang berkembang sehingga kasus-kasus HAM masa lalu cenderung jadi alat
tawar elite politik. Hal itu tercermin dari tak dijalankannya rekomendasi
DPR terkait pembentukan pengadilan HAM kasus penghilangan paksa 1997/1998
oleh presiden. Persoalan penuntasan kasus pelanggaran HAM bukan lagi berada
dalam ranah penegakan hukum, tetapi masuk dalam ranah politik kekuasaan
transaksional.
Kisruh yang menerpa Komnas HAM tak
hanya akan merugikan, tetapi juga melemahkan lembaga ini. Karena itu,
penting bagi anggota Komnas HAM untuk segera mengakhiri kisruh yang
mendera. Perubahan tata tertib masa jabatan pimpinan Komnas HAM sebagai
pangkal kekisruhan harus dicabut dan mengembalikan pimpinan Komnas HAM
sesuai dengan hasil pemilihan awal.
Di lain pihak, anggota Komnas HAM
dituntut fokus pada penuntasan kasus pelanggaran HAM. Jangan sampai kisruh
Komnas HAM terus berlanjut sehingga para penjahat HAM berjingkrak
kegirangan. Sementara korban dalam pengharapan tanpa ujung. Jangan sampai
Komnas HAM jadi lembaga yang tidak bergigi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar