Sabtu, 16 Maret 2013

Masa Depan Penegakan HAM


Masa Depan Penegakan HAM
Todung Muya Lubis  ;  Ketua Dewan Pendiri Imparsial
KOMPAS, 16 Maret 2013
  

Di tengah semakin beratnya tantangan penegakan hak asasi manusia, kisruh internal Komnas HAM tentu membuat publik prihatin.
Bukannya melakukan gebrakan dalam penegakan HAM, sejumlah anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) malah menciptakan kegaduhan dalam pertentangan pragmatis memperebutkan pimpinan Komnas HAM. Ego-ego personal turut memperkeruh sehingga publik sinis akan masa depan lembaga ini.
Kisruh Komnas HAM hari ini sesungguhnya hanya puncak gunung es dari masalah yang mendera Komnas HAM. Sejak kelahirannya, komisi ini memang tidak dibangun dalam konstruksi politik hukum yang kuat. Lahirnya Komnas HAM rapuh secara politik mengingat lembaga ini lahir pada rezim pemerintahan otoritarian Soeharto. Desakan internasional, khususnya setelah keluarnya Deklarasi Wina 1993, memaksa Soeharto mengeluarkan Keppres No 50 Tahun 1993 tentang Pembentukan Komnas HAM.
Waktu itu, tuduhan pelanggaran HAM di Timor Leste sangat gencar. Hal itu membuat pemerintah pada waktu itu tak punya pilihan selain membentuk Komnas HAM yang awalnya dimaksudkan sebagai bagian dari diplomasi. Bergulirnya reformasi politik 1998 memaksa negara mengatur kelembagaan Komnas HAM melalui UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Meski pada awal perjalanannya independensi dan kredibilitas Komnas HAM diragukan, lembaga ini memiliki kontribusi besar dalam mengungkap beberapa kasus pelanggaran HAM, termasuk kekerasan pasca-jajak pendapat di Timor Leste.
Amat disayangkan, Komnas HAM kini justru didera konflik internal yang sama sekali tak substansial. Langkah sejumlah anggota Komnas HAM yang sibuk dan berkutat dengan urusan fasilitas dan jabatan bukan hanya tak elok, tetapi juga memalukan. Banyak persoalan HAM menanti dituntaskan. Masyarakat, khususnya korban, sangat berharap anggota Komnas HAM terpilih melakukan terobosan dalam menjawab stagnasi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Rekonstruksi politik hukum Komnas HAM melalui revisi UU HAM sesungguhnya dapat menjadi langkah awal untuk memperkuat kewenangan dan kelembagaan Komnas HAM yang selama ini dianggap lemah. Komnas HAM hanya akan bermakna kalau disertai kewenangan penyidikan pro justicia.
Anggota Komnas HAM semestinya bisa meletakkan posisi dan peran secara tepat dan benar. Mereka dituntut bisa berpikir jernih, sekaligus mencurahkan perhatian dan seluruh energinya dalam mendorong pemajuan dan penegakan HAM.
Tantangan Berat
Tantangan yang dihadapi Komnas HAM dewasa ini semakin tak ringan. Kasus kekerasan yang berdimensi agama dan konflik agraria yang semakin meningkat merupakan pekerjaan berat. Di sisi lain, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu terus menunggu. Beberapa kasus yang masih tertunggak antara lain pembunuhan massal 1965, penculikan aktivis 1997-1998, Trisakti, Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998, serta DOM di Aceh. Pentingnya penuntasan berbagai kasus itu bukan hanya untuk menyelesaikan persoalan masa lalu dan memenuhi keadilan korban, tetapi juga menjadi parameter sejauh mana negara menjunjung tinggi HAM dan harkat martabat kemanusiaan. Komitmen HAM sebagai komitmen konstitusional tak boleh berhenti pada tataran legal, tetapi diimplementasikan demi keadilan.
Kisruh yang mendera Komnas HAM tentu mengancam agenda penuntasan kasus pelanggaran dan penguatan HAM. Dengan adanya pergiliran jabatan pimpinan setiap tahun, anggota Komnas HAM justru akan disibukkan dengan arisan pergantian pimpinan, bukan mencurahkan perhatian pada penanganan kasus.
Penguatan Komnas HAM
Dengan semakin beratnya tantangan dan persoalan HAM yang dihadapi, penguatan Komnas HAM penting dan mutlak diperlukan. Pergiliran masa jabatan pimpinan Komnas HAM bukan jawaban dari persoalan di atas. Upaya penguatan Komnas HAM semestinya ditujukan kepada aspek yang bisa mendukung perbaikan kinerja lembaga ini agar lebih maksimal dalam mendorong penegakan HAM. Pengaturan kewenangan Komnas HAM sesuai UU No 39 Tahun 1999 sangatlah terbatas, hanya meliputi kewenangan penelitian, pemantauan, investigasi, dan rekomendasi.
Dalam pengusutan kasus pelanggaran HAM, kewenangan Komnas HAM terbatas sampai di tingkat penyelidikan. Sementara penyidikan dilakukan lembaga lain, yakni Kejaksaan Agung. Persoalan ini dalam realitasnya membuat penanganan kasus acap kali menemui jalan buntu. Banyak kasus pelanggaran HAM, tetapi gagal ditindaklanjuti. Kegagalan Komnas HAM dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat menjadi contoh. Sejumlah berkas hasil penyelidikan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM masa lalu terbentur di Kejaksaan Agung karena tak ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Dalam beberapa kasus, Kejaksaan sering kali mengembalikan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM. Berkali-kali diajukan, berkali-kali pula Kejaksaan mengembalikan. Tahun lalu, Kejaksaan mengembalikan berkas penyelidikan kasus 1965-1966 dan penembakan misterius 1982-1985. Kejaksaan selalu berdalih, berkas tersebut belum memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
Stagnasi penuntasan kasus pelanggaran HAM itu tentu tidak bisa dilepaskan dari politik transaksional yang berkembang sehingga kasus-kasus HAM masa lalu cenderung jadi alat tawar elite politik. Hal itu tercermin dari tak dijalankannya rekomendasi DPR terkait pembentukan pengadilan HAM kasus penghilangan paksa 1997/1998 oleh presiden. Persoalan penuntasan kasus pelanggaran HAM bukan lagi berada dalam ranah penegakan hukum, tetapi masuk dalam ranah politik kekuasaan transaksional.
Kisruh yang menerpa Komnas HAM tak hanya akan merugikan, tetapi juga melemahkan lembaga ini. Karena itu, penting bagi anggota Komnas HAM untuk segera mengakhiri kisruh yang mendera. Perubahan tata tertib masa jabatan pimpinan Komnas HAM sebagai pangkal kekisruhan harus dicabut dan mengembalikan pimpinan Komnas HAM sesuai dengan hasil pemilihan awal.
Di lain pihak, anggota Komnas HAM dituntut fokus pada penuntasan kasus pelanggaran HAM. Jangan sampai kisruh Komnas HAM terus berlanjut sehingga para penjahat HAM berjingkrak kegirangan. Sementara korban dalam pengharapan tanpa ujung. Jangan sampai Komnas HAM jadi lembaga yang tidak bergigi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar