Sabtu, 16 Maret 2013

Absennya Politik Energi


Absennya Politik Energi
Pri Agung Rakhmanto  ;  Dosen FTKE Universitas Trisakti;
Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS, 16 Maret 2013


Pengelolaan blok migas strategis yang akan berakhir masa kontraknya selalu menjadi masalah dan polemik berkepanjangan di Tanah Air dalam sepuluh tahun terakhir.
Tiga di antaranya yang menonjol adalah Blok Cepu pada 2005-2006, Blok West Madura Offshore pada 2011, dan saat ini Blok Mahakam. Jika disederhanakan, pola dan inti permasalahan selalu berkisar pada adanya dua kutub yang saling berseberangan. Di satu sisi, pemerintah cenderung berkeinginan untuk memperpanjang kontrak dan menyerahkan hak pengelolaannya kepada operator lama yang (kebetulan?) adalah perusahaan migas asing.
Di sisi lain, sebagian (besar) publik, termasuk Pertamina di dalamnya, cenderung menginginkan agar kontrak tidak diperpanjang dan hak pengelolaan blok tersebut diserahkan kepada Pertamina.
Mereduksi Persoalan
Di permukaan, isu ini sering direduksi dan diarahkan hanya pada aspek teknis. Kemampuan teknologi, finansial, dan sumber daya manusia Pertamina selalu dijadikan dasar argumentasi pemerintah untuk cenderung lebih memilih perpanjangan kontrak dan mempertahankan operator lama. Operator lama dipandang lebih mampu dan lebih efisien dalam ketiga hal tersebut dibandingkan Pertamina. Dengan efisiensi yang lebih itu, operator lama dipandang lebih menjamin akan menyumbangkan penerimaan negara yang lebih besar di APBN. Penerimaan negara dari migas yang lebih besar di APBN inilah yang oleh pemerintah sering kali dijadikan ukuran lebih menguntungkan negara.
Aspek teknis dan penerimaan negara memang penting, tetapi pereduksian masalah dan argumentasi yang selalu hanya didasarkan atas pertimbangan itu jelas menggambarkan tidak adanya politik energi (migas) yang jelas dari pemerintah. Karena politik energinya tidak ada, turunan strateginya pun, seperti di dalam kasus pengelolaan blok migas habis masa kontrak, menjadi tidak jelas. Pilihannya kemudian selalu terbatas hanya pada memberikan perpanjangan kepada operator lama atau memberikannya ke Pertamina.
Jika politik energi pemerintah dalam pengelolaan migas jelas, misalnya, Pertamina adalah kepanjangan tangan dari negara untuk (pada akhirnya) mengelola seluruh wilayah migas di Tanah Air, pilihan dan putusannya pun akan menjadi sangat jelas bagi semua pihak. Dengan demikian, blok migas yang berakhir kontraknya akan diambil alih Pertamina dengan segala risiko dan konsekuensinya.
Pilihan Strategi
Bagi investor asing dan swasta, ini mungkin tidak menarik, tetapi memberikan kepastian dan kejelasan bahwa ada ruang untuk berbisnis migas di Indonesia, tetapi secara relatif terbatas. Karena itu, sejak awal siapa pun yang akan berinvestasi migas di Tanah Air sudah memiliki gambaran yang jelas tentang prospek dan konsekuensinya.
Atau, jika politik energi pemerintah adalah menyeimbangkan peran investor dalam pengelolaan migas sesuai peruntukannya dan di sisi lain akan secara konsisten membesarkan Pertamina, pilihan strateginya pun dapat lebih terbuka daripada sekadar mendikotomikan kontraktor asing versus Pertamina. Bisa saja pemerintah menjadikan perpanjangan kontrak blok migas di Tanah Air sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan politik energinya tersebut. Misalnya, kontrak diperpanjang, tetapi operator lama diwajibkan untuk melakukan pengeboran-pengeboran sumur eksplorasi di wilayah-wilayah lain yang sulit dan memerlukan modal dan teknologi tinggi. Atau, kontrak diperpanjang, tetapi Pertamina diberikan hak untuk menjadi operator atau memiliki saham di blok migas tertentu di luar negeri di mana operator tersebut memiliki wilayah operasi.
Apa pun, sepanjang garis politik energi pemerintah jelas dan itu untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan energi yang tangguh, saya yakin publik akan mendukungnya. Namun, kalau pemerintah tak memiliki politik energi yang jelas, atau politik energi hanya direduksi sebatas menganggap sumber energi hanya sebagai komoditas penyumbang pendapatan negara dengan argumentasi teknis dan efisiensi, saya yakin permasalahan dan polemik tentang pengelolaan blok migas berakhir kontrak ini akan selalu berulang dan berulang.
Apalagi, jika politik energi diterjemahkan dan diimplementasikan hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik praktis partai dan kekuatan politik, kita akan semakin terpuruk. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar