Pengelolaan blok migas strategis yang
akan berakhir masa kontraknya selalu menjadi masalah dan polemik
berkepanjangan di Tanah Air dalam sepuluh tahun terakhir.
Tiga di antaranya yang menonjol
adalah Blok Cepu pada 2005-2006, Blok
West Madura Offshore pada 2011, dan saat ini Blok Mahakam. Jika
disederhanakan, pola dan inti permasalahan selalu berkisar pada adanya dua
kutub yang saling berseberangan. Di satu sisi, pemerintah cenderung
berkeinginan untuk memperpanjang kontrak dan menyerahkan hak pengelolaannya
kepada operator lama yang (kebetulan?) adalah perusahaan migas asing.
Di sisi lain, sebagian (besar)
publik, termasuk Pertamina di dalamnya, cenderung menginginkan agar kontrak
tidak diperpanjang dan hak pengelolaan blok tersebut diserahkan kepada
Pertamina.
Mereduksi Persoalan
Di permukaan, isu ini sering
direduksi dan diarahkan hanya pada aspek teknis. Kemampuan teknologi,
finansial, dan sumber daya manusia Pertamina selalu dijadikan dasar
argumentasi pemerintah untuk cenderung lebih memilih perpanjangan kontrak
dan mempertahankan operator lama. Operator lama dipandang lebih mampu dan
lebih efisien dalam ketiga hal tersebut dibandingkan Pertamina. Dengan
efisiensi yang lebih itu, operator lama dipandang lebih menjamin akan
menyumbangkan penerimaan negara yang lebih besar di APBN. Penerimaan negara
dari migas yang lebih besar di APBN inilah yang oleh pemerintah sering kali
dijadikan ukuran lebih menguntungkan negara.
Aspek teknis dan penerimaan negara
memang penting, tetapi pereduksian masalah dan argumentasi yang selalu
hanya didasarkan atas pertimbangan itu jelas menggambarkan tidak adanya
politik energi (migas) yang jelas dari pemerintah. Karena politik energinya
tidak ada, turunan strateginya pun, seperti di dalam kasus pengelolaan blok
migas habis masa kontrak, menjadi tidak jelas. Pilihannya kemudian selalu
terbatas hanya pada memberikan perpanjangan kepada operator lama atau
memberikannya ke Pertamina.
Jika politik energi pemerintah
dalam pengelolaan migas jelas, misalnya, Pertamina adalah kepanjangan
tangan dari negara untuk (pada akhirnya) mengelola seluruh wilayah migas di
Tanah Air, pilihan dan putusannya pun akan menjadi sangat jelas bagi semua
pihak. Dengan demikian, blok migas yang berakhir kontraknya akan diambil
alih Pertamina dengan segala risiko dan konsekuensinya.
Pilihan Strategi
Bagi investor asing dan swasta,
ini mungkin tidak menarik, tetapi memberikan kepastian dan kejelasan bahwa
ada ruang untuk berbisnis migas di Indonesia, tetapi secara relatif
terbatas. Karena itu, sejak awal siapa pun yang akan berinvestasi migas di
Tanah Air sudah memiliki gambaran yang jelas tentang prospek dan
konsekuensinya.
Atau, jika politik energi
pemerintah adalah menyeimbangkan peran investor dalam pengelolaan migas
sesuai peruntukannya dan di sisi lain akan secara konsisten membesarkan Pertamina,
pilihan strateginya pun dapat lebih terbuka daripada sekadar mendikotomikan
kontraktor asing versus Pertamina. Bisa saja pemerintah menjadikan
perpanjangan kontrak blok migas di Tanah Air sebagai instrumen untuk
mencapai tujuan-tujuan politik energinya tersebut. Misalnya, kontrak
diperpanjang, tetapi operator lama diwajibkan untuk melakukan
pengeboran-pengeboran sumur eksplorasi di wilayah-wilayah lain yang sulit
dan memerlukan modal dan teknologi tinggi. Atau, kontrak diperpanjang,
tetapi Pertamina diberikan hak untuk menjadi operator atau memiliki saham
di blok migas tertentu di luar negeri di mana operator tersebut memiliki
wilayah operasi.
Apa pun, sepanjang garis politik
energi pemerintah jelas dan itu untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan
ketahanan energi yang tangguh, saya yakin publik akan mendukungnya. Namun,
kalau pemerintah tak memiliki politik energi yang jelas, atau politik
energi hanya direduksi sebatas menganggap sumber energi hanya sebagai
komoditas penyumbang pendapatan negara dengan argumentasi teknis dan
efisiensi, saya yakin permasalahan dan polemik tentang pengelolaan blok
migas berakhir kontrak ini akan selalu berulang dan berulang.
Apalagi, jika politik energi
diterjemahkan dan diimplementasikan hanya untuk mengakomodasi kepentingan
politik praktis partai dan kekuatan politik, kita akan semakin terpuruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar