Minggu, 24 Maret 2013

Kudeta Api, Bakarlah Rumput Paling Kering


Kudeta Api, Bakarlah Rumput Paling Kering
Tandi Skober  ;  Budayawan
MEDIA INDONESIA, 23 Maret 2013

  
TIDAK jelas apakah Kepala BIN Letjen Marciano Nor man sudah mendeteksi akan ada kudeta api ketika jelang magrib, Kamis (21/3), gedung Sekretariat Negara terbakar. Yang terlihat dari layar televisi, asap dan api berkelindan melecehkan simbol negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendekat dalam jarak 30 meter dari pusat api.

Kudeta api memang bisa dipadamkan. SBY memang mundur dari lokasi kudeta api. Ia berjalan pelan di bawah kepulan awan hitam. Tidak mustahil, sesaat Presiden terkesiap kamitenggeng ketika ritual kenegaraan memimpin rapat kabinet terbatas bidang ekonomi di kantor presiden dihentikan kudeta api.

Juga, bisa jadi di ruang yang disucikan sejarah entah siapa sedang membaca pikiran Mao Tse-tung, “Bakarlah rumput dari yang paling kering.“ Yang bisa dituturkan, di sini, ada sinyal kewibawaan negara terpuruk di ruang tak berbentuk.

Ngabandungan

Kudeta api dalam literasi sejarah Manuwara (Indramayu-Cirebon) pertengahan abad ke-14 disebut obor belarak. Adalah tarekat teokultural ketika rakyat Indramayu unjuk nalar membakar malam dengan nya la obor macapatan sebagai protes terhadap penguasa zalim Pelabuhan Cimanuk Indraprahasta.

Era itu, emang sih, zaman terperangkap di simpang gombalisasi global. Konon, di setiap pagi dan menjelang petang, selalu saja terdengar kemlong ambarang wayang yang kabarkan bahwa armada Gajahmada akan memasuki Pajajaran melalui Pelabuhan Cimanuk. Jelang tidur, dituturkan tragedi Bubat, Selasa Wage, sebelum tengah hari, tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka.
Ihwal itu membuat penguasa Cimanuk tidak hanya memproteksi secara ketat pelabuhan dan mengawasi jukung-jukung yang lalu lalang di mulut laut, tapi juga memberlakukan penimbunan bahan pangan di Lumbung Pari termasuk pembunuhan sistemis terhadap siapa saja yang memiliki garis genetika Majapahit.

Kebijakan itu tentu menyengsarakan rakyat. Jukung tidak lagi melaut. Andaipun melaut, jukung tak lagi pulang membawa ikan sebab ombak laut melipat banyak mayat. Kudeta api rakyat kere gemple itu berlangsung tiap hari, terus-menerus, terusterusan, sehingga hanya dalam rentang waktu singkat peserta obor belarak memadati tanggul-tanggul Cimanuk. Mereka berharap Kalikeling membuka wuwungan atas lumbung padi dan membagikan kepada rakyat seikat dua ikat padi. Harapan itu tinggal hanya harapan. Kalikeling kian arogan. Bahkan, pada malam-malam tertentu kaki tangan 
Kalikeling diam-diam menculik sesepuh kudeta api. Pun esok hari, saat matahari membuka mata lapar rakyat, mereka lihat sesepuh itu sudah tertancap di ujung bambu, di dermaga pelabuhan.

Bahkan, tiga abad kemudian, dari ruang sejarah Cirebon sekitar 1628 M, kudeta api itu juga dicatat sebagai artefak pedih yang kerap menjadi lakon muram pergelaran sandiwara rakyat, Masres. Ada fragmen ketika tokoh Ki Bindeng seraya membawa obor belarak memasuki balairung kerajaan. Bendrong alon.

Dengan suara tak jelas, Ki Bindeng yang mewakili rakyat kere gemple bertutur, “Wali itu adalah assaabiquun almuqarrabuun. Yang terdepan dan yang terdekat dengan Gusti Allah. Wali itu sepasang sayap bernama iman dan takwa. Wali itu sepasang sungai bermakna al-wilayah sekaligus al-walayah bermakna berkuasa tapi tak. Wong Cerbon menyebut hal ini sebagai jukung dempet.” Jukung dempet atau dua perahu yang dirapatkan bagi Ki Bindeng-seperti terdeskripsi pada artefak sastra Serat Tangkup Prahara--ialah ibu budaya bandanira (harta). 
Sepasang malaikat yang berada pada ruang bercahaya ilahiah sekaligus sosok yang kerap ditautkan dengan frasa Manuwara Indramayu Ngabandeng iku bedeng bendung jeh.

Kudeta Mulus

Dari sini ada relasi kultural antara wejangan Sastra Jendra Hayuningrat dan dramaturgi tarekat politik kekuasaan. Tidak jelas apakah ada kaitan antara tuturan pengelana Cirebon Ki Bindeng dan ungkapan kuno Pasundan `Nga-Bandungan Banda Indung'  yang bermakna `kesaksian Sang Hyang Wisesa sebagai pemilik bumi, air, tanah, api, tumbuhan, hewan, manusia, dan segala isi perut bumi'. Yang diharapkan pengusung kudeta api ialah sejatining penguasa adalah pemilik watak jukung dempet.

Konon, kudeta api Ki Bindeng berjalan mulus. Pun demikian juga kudeta api Manuwara pertengahan abad ke-14. Terbetik cerita, dalam kemelut tak berbentuk itu, muncullah tokoh Ki Mardiah! Dari berbagai artefak yang ditemukan di garis barzah Pelabuhan Cimanuk, ia dikenal sebagai sosok penari Pandji yang selalu elusi ubun-ubun para demonstran seraya bermacapat taksaka nyebrang Cimanuk. 

“Dharma Ayu kembali makmur tak ada suatu hambatan/Tandanya jika ada ular menyeberangi Sungai Cimanuk/ Sumur kejayaan mengalir deras/ Lampu menyala tanpa mi nyak/ Rakyat hidup makmur seluruh negara mengalami kemakmuran sirna tanpa karna.“

Adakah dramaturgi kudeta api dari pusaran sejarah lampau kini meniwikrama Indonesia? Tentu hanya waktu yang akan memberi tanda. Sebab api dalam akar pikir menusa Jawa ialah pijar kudeta. Tiap kali ada pijar api di tiranisme istana, tafsir pun berpijar pada garis takdir yang tidak bisa dipelintir.

Menusa Jawa meyakini lidah api itu ialah jilatan penyuci luka kultural para penguasa bergincu culas. Suara aneh api diisyaratkan sebagai suara risau yang tuturkan tentang ilalang kering. Ketika kemarau tiba, dengan sedikit percikan api, Indonesia tiranisme tinggal asap, abu, dan debu di ruang peradaban tanpa jenis kelamin.

Indonesia pun ada di pusaran tafsir itu. Simak di sudut-sudut ruang yang muram, selalu saja ada amarah yang tumbuh dari akar perseteruan antarelite (factionalized elites). Yang malang, tiap kali ada perseteruan antarelite, yang terkalahkan selalu saja anak-anak akar rumput. Indonesia sedang menapaki takdir yang ia ciptakan sendiri. Nilai bisa dimaknai sebagai peranti akal. Etika bergerak di ruang nurani. Nafsu menari di pusaran tata krama.

Sinergi nan tiga itu, holistisme nan tiga itu, masih jauh panggang dari api. Nyaris di semua lini, yang terjadi ialah paternalisme dan feodalisme! Politik identitas berbasis primordialisme etnik dan golongan masih cukup kuat. Tokoh-tokoh budayawan tidak lagi terposisikan sebagai sosok sang pencerah.
Pun demikian dengan cendekiawan, seperti diungkap James Baldwin dalam Notes of a Native Son, telah terjerat dalam sejarah dan sejarah terjerat dalam diri mereka. Tidak aneh manakala sejarah kadang bagai album penuh debu. Sindrom disorientasi telah mencakar manusia hingga ke akar paling primordial. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar