TIDAK jelas apakah Kepala
BIN Letjen Marciano Nor man sudah mendeteksi akan ada kudeta api ketika
jelang magrib, Kamis (21/3), gedung Sekretariat Negara terbakar. Yang
terlihat dari layar televisi, asap dan api berkelindan melecehkan simbol
negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendekat dalam jarak 30
meter dari pusat api.
Kudeta api memang bisa dipadamkan. SBY
memang mundur dari lokasi kudeta api. Ia berjalan pelan di bawah kepulan
awan hitam. Tidak mustahil, sesaat Presiden terkesiap kamitenggeng ketika
ritual kenegaraan memimpin rapat kabinet terbatas bidang ekonomi di
kantor presiden dihentikan kudeta api.
Juga, bisa jadi di ruang yang disucikan
sejarah entah siapa sedang membaca pikiran Mao Tse-tung, “Bakarlah rumput
dari yang paling kering.“ Yang bisa dituturkan, di sini, ada sinyal
kewibawaan negara terpuruk di ruang tak berbentuk.
Ngabandungan
Kudeta api dalam literasi sejarah
Manuwara (Indramayu-Cirebon) pertengahan abad ke-14 disebut obor belarak.
Adalah tarekat teokultural ketika rakyat Indramayu unjuk nalar membakar
malam dengan nya la obor macapatan sebagai protes terhadap penguasa zalim
Pelabuhan Cimanuk Indraprahasta.
Era itu, emang sih, zaman terperangkap di
simpang gombalisasi global. Konon, di setiap pagi dan menjelang petang,
selalu saja terdengar kemlong ambarang wayang yang kabarkan bahwa armada
Gajahmada akan memasuki Pajajaran melalui Pelabuhan Cimanuk. Jelang
tidur, dituturkan tragedi Bubat, Selasa Wage, sebelum tengah hari, tanggal
13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka.
Ihwal itu membuat penguasa Cimanuk tidak
hanya memproteksi secara ketat pelabuhan dan mengawasi jukung-jukung yang
lalu lalang di mulut laut, tapi juga memberlakukan penimbunan bahan
pangan di Lumbung Pari termasuk pembunuhan sistemis terhadap siapa saja
yang memiliki garis genetika Majapahit.
Kebijakan itu tentu menyengsarakan
rakyat. Jukung tidak lagi melaut. Andaipun melaut, jukung tak lagi pulang
membawa ikan sebab ombak laut melipat banyak mayat. Kudeta api rakyat
kere gemple itu berlangsung tiap hari, terus-menerus, terusterusan,
sehingga hanya dalam rentang waktu singkat peserta obor belarak memadati
tanggul-tanggul Cimanuk. Mereka berharap Kalikeling membuka wuwungan atas
lumbung padi dan membagikan kepada rakyat seikat dua ikat padi. Harapan
itu tinggal hanya harapan. Kalikeling kian arogan. Bahkan, pada
malam-malam tertentu kaki tangan
Kalikeling diam-diam menculik sesepuh
kudeta api. Pun esok hari, saat matahari membuka mata lapar rakyat, mereka
lihat sesepuh itu sudah tertancap di ujung bambu, di dermaga pelabuhan.
Bahkan, tiga abad kemudian, dari ruang
sejarah Cirebon sekitar 1628 M, kudeta api itu juga dicatat sebagai
artefak pedih yang kerap menjadi lakon muram pergelaran sandiwara rakyat,
Masres. Ada fragmen ketika tokoh Ki Bindeng seraya membawa obor belarak
memasuki balairung kerajaan. Bendrong alon.
Dengan suara tak jelas, Ki Bindeng yang
mewakili rakyat kere gemple bertutur, “Wali
itu adalah assaabiquun almuqarrabuun. Yang terdepan dan yang terdekat
dengan Gusti Allah. Wali itu sepasang sayap bernama iman dan takwa. Wali
itu sepasang sungai bermakna al-wilayah sekaligus al-walayah bermakna
berkuasa tapi tak. Wong Cerbon menyebut hal ini sebagai jukung dempet.”
Jukung dempet atau dua perahu
yang dirapatkan bagi Ki Bindeng-seperti terdeskripsi pada artefak sastra
Serat Tangkup Prahara--ialah ibu budaya bandanira (harta).
Sepasang malaikat
yang berada pada ruang bercahaya ilahiah sekaligus sosok yang kerap
ditautkan dengan frasa Manuwara Indramayu
Ngabandeng iku bedeng bendung jeh.
Kudeta
Mulus
Dari sini ada relasi kultural antara
wejangan Sastra Jendra Hayuningrat dan dramaturgi tarekat politik
kekuasaan. Tidak jelas apakah ada kaitan antara tuturan pengelana Cirebon
Ki Bindeng dan ungkapan kuno Pasundan `Nga-Bandungan
Banda Indung' yang bermakna `kesaksian Sang Hyang Wisesa sebagai
pemilik bumi, air, tanah, api, tumbuhan, hewan, manusia, dan segala isi
perut bumi'. Yang diharapkan pengusung kudeta api ialah sejatining
penguasa adalah pemilik watak jukung
dempet.
Konon, kudeta api Ki Bindeng berjalan
mulus. Pun demikian juga kudeta api Manuwara pertengahan abad ke-14.
Terbetik cerita, dalam kemelut tak berbentuk itu, muncullah tokoh Ki
Mardiah! Dari berbagai artefak yang ditemukan di garis barzah Pelabuhan Cimanuk, ia
dikenal sebagai sosok penari Pandji yang selalu elusi ubun-ubun para
demonstran seraya bermacapat taksaka
nyebrang Cimanuk.
“Dharma Ayu
kembali makmur tak ada suatu hambatan/Tandanya jika ada ular menyeberangi
Sungai Cimanuk/ Sumur kejayaan mengalir deras/ Lampu menyala tanpa mi
nyak/ Rakyat hidup makmur seluruh negara mengalami kemakmuran sirna tanpa
karna.“
Adakah dramaturgi kudeta api dari pusaran
sejarah lampau kini meniwikrama Indonesia? Tentu hanya waktu yang akan
memberi tanda. Sebab api dalam akar pikir menusa Jawa ialah pijar kudeta.
Tiap kali ada pijar api di tiranisme istana, tafsir pun berpijar pada
garis takdir yang tidak bisa dipelintir.
Menusa
Jawa meyakini lidah api itu ialah
jilatan penyuci luka kultural para penguasa bergincu culas. Suara aneh
api diisyaratkan sebagai suara risau yang tuturkan tentang ilalang
kering. Ketika kemarau tiba, dengan sedikit percikan api, Indonesia tiranisme
tinggal asap, abu, dan debu di ruang peradaban tanpa jenis kelamin.
Indonesia pun ada di pusaran tafsir itu.
Simak di sudut-sudut ruang yang muram, selalu saja ada amarah yang tumbuh
dari akar perseteruan antarelite (factionalized
elites). Yang malang, tiap kali ada perseteruan antarelite, yang
terkalahkan selalu saja anak-anak akar rumput. Indonesia sedang menapaki
takdir yang ia ciptakan sendiri. Nilai bisa dimaknai sebagai peranti
akal. Etika bergerak di ruang nurani. Nafsu menari di pusaran tata krama.
Sinergi nan tiga itu, holistisme nan tiga
itu, masih jauh panggang dari api. Nyaris di semua lini, yang terjadi
ialah paternalisme dan feodalisme! Politik identitas berbasis
primordialisme etnik dan golongan masih cukup kuat. Tokoh-tokoh budayawan
tidak lagi terposisikan sebagai sosok sang pencerah.
Pun demikian dengan cendekiawan, seperti
diungkap James Baldwin dalam Notes
of a Native Son, telah terjerat dalam sejarah dan sejarah terjerat
dalam diri mereka. Tidak aneh manakala sejarah kadang bagai album penuh
debu. Sindrom disorientasi telah mencakar manusia hingga ke akar paling
primordial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar