Minggu, 24 Maret 2013

Khitah Agama, Khitah Negara


Khitah Agama, Khitah Negara
Asep Salahudin  ;  Esais, Pengamat Kebudayaan, Dosen di UIN dan IAILM
MEDIA INDONESIA, 23 Maret 2013

  
AGAMA, diakui atau tidak, dalam praktiknya acap kali menampilkan wajah paradoksal. Di satu sisi, orang memasuki agama dan tekun mengerjakan seluruh ritus yang diajarkannya untuk mencari kedamaian, ketenangan, bahkan juga kebahagiaan eskatologis. Agama memompakan motivasi ihwal hidup yang tertib, saling menghargai, dan menginjeksikan motivasi tentang keharusan mengembangkan ketajaman nalar dan kehalusan pekerti untuk membangun peradaban luhur.

Agama menanamkan haluan tentang mencari dan mengisi hidup dengan penuh ketenangan. Ketenangan yang diacukan ke gerak dialektis transendental ketuhanan yang kemudian implikasinya merembes dalam sejarah pengalaman keseharian. Berdamai dengan Tuhan, berdamai dengan bumi, serupa dengan apa yang sampaikan salah seorang Nabi Tuhan, Muhammad SAW,  “Siapa yang dapat berdamai dengan langit, maka dia pasti bisa berdamai dengan bumi.“

Agama diturunkan selalu sebagai counter kultur terhadap budaya manusia yang telah tersekap hedonisme-konsumerisme, terkerangkeng oleh pola hidup dan keyakinan yang menyimpang dari fitrah kemanusiaan. Ia mengajak manusia melalui risalah yang disampaikan para nabinya untuk merayakan hidup yang bertopang pada kekuatan akal budi, kehangatan spiritual, kesantunan dalam membangun relasi kemanusiaan yang dalam konteks Islam dirumuskan dengan ungkapan rahmatan lil alamin.

Namun, di sisi lain, tragisnya kita juga menyaksikan agama sering kali menjadi pemantik munculnya berbagai bentuk kekerasan. Agama yang ditafsirkan secara serampangan menjadi pembenaran ilahiah untuk melakukan segala bentuk kejahatan. Agama dibajak kepentingan politik dan sekelompok laskar untuk tujuan yang tidak jelas arahnya, kecuali sekadar nafsu meneguhkan hasrat primitif kejemawaan akan `keakuan' dan politik sempit perkauman. Itulah yang kita sebut dengan kekerasan simbolis.
Orang melakukan kekerasan bukan hanya merasa tidak bersalah, bahkan beranggapan bahwa kekerasan itu menjadi pintu masuk meraih pahala Tuhan. Surga dalam keyakinannya dibarter dengan sikap heroisme memberangus hal ihwal yang dianggap berseberangan dengan pemahamannya, bertentangan dengan haluan agamanya.

Tuhan pun dihadirkan tidak lagi sebagai zat yang penyayang, tapi lebih sebagai sosok pendendam, penghukum, dan pemilik azab. Seolah Tuhan dengan teks-teks wahyu-Nya me rekomendasikan kekerasan. Kekerasan menjadi seakan kehendak Tuhan, seolah sahih kalau sudah mengatasnamakan agama.

Penafsiran Keliru

Fenomena kedua inilah yang akhir-akhir ini acap kali muncul ke permukaan . Tentu tidak ada yang salah dengan agama dan teks keagamaan apalagi seandainya kesalahan itu dinisbahkan secara metafisik kepada Tuhan. Kekeliruan itu sepenuhnya terletak pada cara penafsiran kita terhadap teks itu. Penafsiran yang dicerabut dari konteks sosial, ahistoris, dan sama sekali mengabaikan dinamika sosial dan elan vital pesan universal dari wahyu itu.

Akibatnya sangat fatal, ayat-ayat tentang jihad, misalnya, ditafsirkan secara serampangan. Fantasinya bukan ke depan, melainkan sejarah masa silam dengan membangun imajinasi realitas sosial yang dianggap `ideal', autentik, dan sesuai dengan yang diinginkan Tuhan.

Yang muncul dari tafsir seperti itu, alih-alih sikap dan penghayatan keberagamaan yang mencerahkan (iluminasi), membawa perubahan yang manusiawi (transformatif ), dan membebaskan dari perbudakan hawa nafsu dan nafsu kuasa-kebendaan (liberasi), justru sebaliknya ialah `involusi teks'.
Terpenjara dalam kungkungan teks yang sebermula telah diinterpretasikannya secara parsial, harfiah, ahistoris, dan pada sikap susulannya menganggap kebenaran itu homogen. Melihat yang lain sebagai keliru dan harus diluruskan, hatta lewat jalan kekerasan sebagai satu bentuk panggilan Tuhan dan otomatis tindakan suci.

Seperti ditulis Haryatmoko (2010), tindakan kekerasan, salah satunya, dapat dilihat sebagai proses mental, yaitu gerak perubahan mulai cara melihat `yang lain', lalu menstigmatisasi, merendahkan, menghancurkan, dan akhirnya membunuh. Suatu kelompok cenderung mempertahan kan kemurnian identitas mereka melawan du nia yang tidak murni penyebab dekadensi moral. Pembenaran simbolis agama meneguhkan tekad, memperta jam permusuhan, dan memistis kan motif men jadi perjuangan membela iman dan kebenaran.

Ricoeur (Haryatmoko, 2010) mengurai alasan mengapa agama memperteguh moti vasi. Pertama, agama memberikan identitas karena akta pendirian suatu kelompok diaktu alisasikan kembali dengan representasi diri. Kedua, agama menumbuhkan keya kinan bahwa orang berada dalam kontak dengan makna terdalam hidupnya. Ketiga, acuan ke tujuan terakhir memberi pembenaran dan mendasari sikap kritis terhadap tatanan yang ditolaknya.

Peran Negara

Dalam konteks inilah negara sebagai `institusi sekuler' yang telah mendapatkan mandat dari khalayak harus tampil menyelesaikan hal ihwal kekerasan di ruang publik, termasuk kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Negara ialah `payung' masyarakat yang wajib memberikan rasa teduh kepada semua penghuni `rumah bangsa', menjamin rasa aman semua pengisinya di atas jaminan konstitusional dan haluan realitas sosial yang plural dengan tetap mendistribusikan rasa keadilan yang merata dan hukum yang tidak pandang bulu.

Binneka Tunggal Ika sesungguhnya satu bentuk galian yang sangat berharga oleh leluhur kita soal cara mengelola keragaman agar menjadi energi positif. Para leluhur itu dengan sangat tajam tidak hanya mampu memotret realitas bangsa yang heterogen, multietnik, dan multikultural dengan semangat persatuan dan kesatuan, tetapi juga dengan jernih menawarkan tata kelola negara yang seharusnya digerakkan para penyelenggaranya.

Sayang hari ini, awal abad ke21, dengan pendidikan yang lebih maju dan perguruan tinggi yang menjamur, akses informasi yang mudah dan pergaulan sosial yang semakin global, kita ternyata tidak lebih cerdas daripada leluhur kita.

Hari ini justru sebagian anak bangsa baik yang berada dalam sebagian institusi keagamaan atau politik dan keormasan itu melakukan lompatan menikung. Mereka tidak hanya menafikan realitas pluralisme, tetapi juga acap kali memaksakan kehendak mereka dengan cara-cara yang jauh dari keadaban.
Tragisnya, negara tidak hadir ketika hal itu terjadi dengan telanjang di depan mata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar