Minggu, 24 Maret 2013

Bawang Merah, Bawang Putih


Bawang Merah, Bawang Putih
Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia  
KORAN SINDO, 24 Maret 2013
  

Di masa sekolah rakyat ibu saya menyelenggarakan sebuah sandiwara anak-anak “Bawang Merah, Bawang Putih”. Di kota kecil Tegal pada waktu itu, ibu saya punya banyak teman. 

Namanya juga kota kecil, jadi hampir semua saling mengenal. Para ibu itu pun mengerahkan anakanak masing-masing untuk menjadi pemain, dan kami, anak-anak pun, berlatih dengan riang di rumah orang tua saya yang kebetulan luas dan lokasinya di tengah kota. Di zaman itu tentunya belum ada sponsor Teh Kotak atau jamu Mustika Perawan. Saya tidak tahu dari mana ibu-ibu itu mendapat dana, tetapi saya duga dari kantong masing-masing, dan bergotong-royong, bekerja sama. 

Belum ada katering, jadi ibu-ibu bikin kue-kue sendiri. Tetapi yang jelas, pertunjukan yang diadakan di Gedung Samudra (gedung pertemuan yang paling hebring di Tegal pada waktu itu), berlangsung meriah. Hampir semua anak Tegal menonton pertunjukan yang diadakan dua shift itu. Sampai sekarang pun anak-anak Tegal dari generasi itu (yang masih hidup) yang sesekali bertemu dengan saya, masih ingat akan pertunjukan sandiwara yang “spektakuler” tersebut. 

Buat yang belum tahu, dongeng “Bawang Merah, Bawang Putih” ini berasal dari tanah Melayu (Deli) dan mengisahkan dua orang gadis cantik, bersaudara tiri, yang berperangai sangat berbeda. Bawang Putih adalah gadis yang rajin bekerja, halus perasaan, dan berbakti kepada orang tua. Ayahnya sudah meninggal, sehingga Bawang Putih tinggal bersama ibu tiri dan adik tirinya, Bawang Merah, yang sama cantiknya, tetapi perangainya manja, malas bekerja, dan pendengki. 

Apalagi ibunya sangat memanjakannya. Keduanya, ibu dan anak ini, memperlakukan Bawang Putih lebih kejam dari TKW di Arab Saudi. Pada suatu ketika Bawang Putih mencuci di sungai, salah satu kain ibu tirinya hanyut. Karena takut dimarahi Bawang Putih pun menyusuri sungai seraya bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya apakah melihat kain ibunya yang hanyut. Akhirnya Bawang Putih sampai ke suatu gua yang ditunggui seorang nenek. 

Si nenek tahu di mana kain yang hilang itu, tetapi dia minta supaya Bawang Putih bekerja dulu untuknya. Dasar memang rajin, Bawang Putih menerima tawaran nenek, dan sorenya dia pulang dengan membawa kain dan sebuah labu kecil pemberian nenek. Ketika dia ditawari nenek untuk membawa labu yang lebih besar, Bawang Putih menolak, “Cukup yang kecil saja”, katanya dan dia pun pulang dengan bahagia. 

Tetapi, setiba di rumah Bawang Putih justru didamprat oleh ibu dan saudara tirinya, karena pulang terlambat. Ketika Bawang Putih bercerita tentang nenek dan labu, dia makin dimarahi, karena memilih labu yang kecil. Maka labu pun dibanting, praaak...! Labu pun pecah berantakan. Tetapi, yang keluar dari labu adalah perhiasan intan permata yang tak ternilai harganya (biasa, namanya juga dongeng). 

Akhir cerita pasti bisa ditebak (tidak jauh-jauh dari sinetron yang juga gampang ditebak). Bawang Merah pun pergi ke gua dan minta labu. Dia tidak mau kerja, tetapi mau labu yang besar. Nenek yang baik hati memberikan juga labu besar dan Bawang Merah membawa pulang labu untuk ditunjukkan ke ibunya. Maka labu besar pun dibanting juga, praaak! Labu pun pecah berantakan. 

Tetapi, yang keluar dari labu adalah puluhan ular dan binatang berbisa (tidak usah heran, namanya juga dongeng). Moral dongeng Melayu ini sama dengan moral dongeng Cinderella, karangan novelis Prancis Charles Perrault pada 1697, yang belakangan sangat populer melalui film kartun Walt Disney. Keduanya menggambarkan kejujuran, kebaikan hati, dan rajin bekerja, sebagai moral yang mulia. 

Bedanya, di akhir cerita Cinderella bertemu dan dipersunting oleh pangeran, sedangkan di versi Melayu, tidak ada cinta-cintaan atau pangeran imut, tabu! Jadi berlian dan ularlah ganjaran buat si baik dan si jahat. 
Sesudah peristiwa masa kecil itu puluhan tahun lamanya saya tidak peduli pada bawang-bawangan. Saya memang doyan makan, tetapi makanan adalah urusan ibu saya, istri saya, atau restoran. 

Karena itu sekarang, ketika bawang merah dan bawang putih mencuat sebagai berita, saya baru ngeh bahwa hidup kita bukan hanya tergantung pada nasi (sudah sering sekali jadi isu nasional), tetapi juga pada bawang-bawangan. Saya tidak bisa membayangkan, misalnya bagaimana rasanya martabak telur tanpa bawang. 

Selain itu entah berapa juta orang yang dirugikan karena langkanya bawang merah dan putih ini. Pedagang, pengusaha restoran, distributor, bahkan petani pun ikut rugi karena lahan pertanian tidak bisa dipaksa berproduksi banyak seperti mesin pabrik. Di masa bawang mahal, petani belum panen, atau panen gagal, maka petani tetap gigit jari. Ironisnya, pada saat yang sama, 42,5 ton bawang merah selundupan, di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara, akan dimusnahkan. 

Pada saat banyak orang butuh bawang, kok ada bawang-bawang yang mau dimusnahkan? Terlepas dari peraturan dan undang-undang yang berlaku, saya jadi tidak mengerti, bingung (dalam bahasa psikologi: disonan), speechless deh pokoknya. Tetapi setiap disonansi akan mendorong orang untuk berpikir mencari penjelasan. 

Saya yang teringat pada dongeng “Bawang Merah, Bawang Putih” langsung berpikir bahwa di balik semua kisruh perdagangan bawang (dan semua kisruh lain di Indonesia ini) penyebabnya adalah pelaku-pelaku yang tidak bermoral Bawang Putih(?), pedagang tidak jujur (menimbun, menyelundup), pegawai pemerintah malas bekerja (malas turun ke lapangan, ABS), pengusaha membangun tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan, sehingga lahan pertanian banjir, puso, dan ketika ditanya wartawan semua bicara yang baik-baik saja (aman dan terkendali), padahal semua hanya baik di omongan atau di permukaan saja.

Jadi, terlalu banyak orang yang omongannya Bawang Putih, tetapi kelakuannya Bawang Merah, alias munafik atau hipokrit. Kalau setiap pemimpin dan tokoh Indonesia bisa bermental Bawang Putih, dijamin bangsa ini tidak akan semorat-marit seperti sekarang. Apalagi kalau Bawang Putih benar-benar ada dan kita pilih jadi presiden. Nahitubaru... maknyoos!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar