Usai rapat dengan Komisi VI
DPR, Aliansi 9 Asosiasi Industri dan Perdagangan melakukan pembahasan
tentang persiapan pemberlakuan CAFTA (China ASEAN Forum Free Trade Area) di
Kemenko Perekonomian tahun 2007. Dalam kesempatan itu, Aliansi 9 Asosiasi
itu mengemukakan hasil kajiannya bahwa dampak pemberlakuan perdagangan
bebas di kawasan China-ASEAN lebih banyak negatifnya daripada positifnya.
Aliansi 9 Asosiasi Industri
dan Perdagangan terdiri dari APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh
Indonesia), AP3MI (Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia),
Aprogakob (Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium), APGAI (Asosiasi
Pemasok Garmen Aksesoris Indonesia), Asrim (Asosiasi Industri Minuman
Ringan), Gabel (Gabungan Industri Elektronik Indonesia), Nampa (Asosiasi
Industri Pengolahan Daging Indonesia) dan PPA-KI (Perhimpunan Perusahaan
dan Asosiasi Kosmetika Indonesia).
Oleh sebab itu, pada
prinsipnya Aliansi 9 Asosiasi menolak pemberlakuan CAFTA tahun 2010, karena
Indonesia dikawatirkan akan terjepit di antara anggota ASEAN dan China yang
kemajuan ekonominya luar biasa. Pertumbuhan ekonomi China saat itu menembus
11,2% dengan cadangan devisa mencapai 1,42 triliun dolar AS. Artinya, China
telah menjadi tiga besar pemain dunia setelah Amerika dan Jepang.
Sedangkan Indonesia mengalami
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3% dengan cadangan devisa 56,9 miliar dolar
AS. (IQ Plus dan BPS, 2007) Dari segi efisiensi dan teknologi, China adalah
paling siap melakukan pembenahan dan perbaikan menjelang pemberlakuan
CAFTA, dibandingkan dengan Indonesia, terutama ekspor-impor non migas.
Analisis terkait dominasi China mulai menggeliat dan sulit dibendung tampak
dari distribusi ekspornya, tidak hanya di kawasan ASEAN, namun juga
menyebar ke seluruh dunia, baik pasar Eropa maupun Jepang dan AS. Hasil
survei pasar terhadap pakaian, tekstil, mainan anak-anak dan asesoris serta
obat-obatan tradisional menemukan banyak barang berlabel made in China.
Tahun 2012 pertumbuhan ekonomi
China 7,6% atau menurun drastis dibandingkan tahun 2007 karena sengaja
direm dan ditekan oleh beberapa negara maju. Yang mencengangkan, cadangan
devisanya justru melesat hampir tiga kali lipat menjadi 3,31 triliun dolar
AS. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia (berkisar 6,23%) dengan
cadangan devisa 112,781 miliar dolar AS atau naik 2 kali lipat dibanding
tahun 2007. Volumenya memang jauh dibanding China, bahkan awal 2013
diperkirakan menurun. Artinya, dari permulaan sebelum perdagangan bebas
kawasan ditandatangani, China sudah mempersiapkan diri menurut patron
konsep liberalisasi yang benar. Hal ini bisa terjadi karena biaya produksi
di negara Tirai Bambu ini sangat efisien. Pemerintah China pun sangat
serius memberikan angin iklim investasi dengan birokrasi yang cepat untuk
investor dalam negeri.
Dengan demikian, produk
unggulan yang diekspor sesuai konsep perdagangan bebas, memiliki harga
kompetitif bahkan lebih murah dari negara mana pun. Sebaliknya produk
negara-negara lain, apabila mau ekspor ke China, banyak peraturan yang
diberlakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap negaranya. Tentu hal
macam ini wajar.
Namun, Indonesia justru
memiliki kelemahan di sini, khususnya dalam melindungi usaha produk dalam
negerinya. Pemerintah RI tidak mendorong tumbuhnya industri olahan usaha
kecil dan menengah (UKM), namun malah menggalakkan impor besar-besaran.
Buktinya, bukan hanya produk elektronik dan pakaian jadi, tetapi bawang
putih saja impor. Khusus bawang putih sempat langka, karena impor terhambat
beberapa hari di pelabuhan.
Makin rusaknya tata niaga
impor karena masing-masing kementerian memiliki keleluasaan dan otonomi
sendiri-sendiri, sehingga sulit dikontrol dan bahkan timbul biaya tinggi di
sana-sini, antara lain karena korupsi. Akibat lebih jauh, industri olahan
dalam negeri semakin tidak terurus. Pasca perdagangan bebas kawasan
ASEAN-China, kinerja perdagangan Indonesia-China menunjukan hal yang kurang
menggembirakan. Neraca Perdagangan RI-China tahun 2011 defisit 3,27 juta
dolar AS dan tahun 2012 defisit 1,6 miliar dolar AS. Dari data BPS yang
diolah oleh Kementerian Perdagangan 2013, hal ini terjadi, konon, karena
faktor migas yang semula positif menjadi defisit.
Melihat fakta yang terjadi,
defisit neraca perdagangan - sebagai indikator kinerja perdagangan -
China-Indonesia, dari tahun ke tahun semakin besar. Cadangan devisa China
kian melaju jauh di depan, sementara Indonesia terkesan kian ketinggalan.
Dengan fakta ini, tidak ada
salahnya, para pemangku kekuasaan dan kementerian terkait perlu melakukan
lobi dan renegosiasi ulang dengan China khususnya. Ini penting mengingat
tahun 2015 akan berlaku perdagangan bebas termasuk SDM di kawasan ASEAN.
Artinya, apabila tidak siap, Negara Indonesia yang luas dan subur dengan
jumlah penduduk cukup besar akan menjadi pasar tujuan ekspor negara-negara
ASEAN lainnya.
Mengalirnya bahan baku, barang
jadi dengan BM nol rupiah dan serbuan tenaga kerja tingkat manajer yang
kompetitif dengan skill dan keuletan yang lebih dibandingkan Philipina dam
Singapura, akan bebas hambatan. Bahkan tenaga kerja level manajer ke atas
dari India yang bukan kawasan ASEAN pun sudah masuk rekrutmen
perusahaan-perusahan besar Indonesia. Ini tentu sangat merisaukan. Oleh
sebab itu, mumpung masih ada waktu, wahai kementerian terkait, berikan
dukungan kemudahan birokrasi, infrastruktur, perizinan untuk industri
pengolahan dalam negeri. Hindari pemberlakuan peraturan yang aneh-aneh
tetapi tidak substansif mendorong industri nasional yang berproduksi di
dalam negeri, mampu bersaing dan meningkatkan ekspor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar