Pekan lalu saya secara pendek
membahas idiom nyamuk pers dalam kolom bahasa ini. Walaupun Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa tidak memberi penilaian atas
termulia-tidaknya ucapan ini, saya mengizinkan diri berkesimpulan bahwa
nyamuk pers jarang dipakai untuk menghormati para wartawan.
Sebaliknya, ini adalah idiom yang agaknya merendahkan kaum pewarta.
Namun, para jurnalis tidak perlu
berkecil hati karena adanya ucapan ini sebab masih banyak ucapan lain yang
secara gamblang merendahkan kaum-kaum yang berbeda. Menariknya, tidak
jarang ada hewan yang terlibat, seperti dalam ucapan nyamuk pers tadi. Kata
politikus (yakni poli-tikus) barangkali bisa disebut sebagai ”kebetulan
bahasa” (yang lucu), tapi kami boleh bertemu dengan sepupunya: tikus-tikus
kantor. Iwan Fals sudah menggambarkan golongan ini dengan cukup tepat
sebagai hewan/orang yang ”suka ingkar janji”, ”berenang di sungai kotor”,
”tak kenal kenyang”, dan ”cepat ganti muka”. Rupanya bukan kalangan
terhormat ini, dan mungkin sebagian pembaca jadi teringat kepada lagu Fals
berjudul ”Wakil Rakyat”. Kami juga kenal ucapan seperti kupu-kupu malam,
kambing hitam, ular kepala dua, dan buaya darat. Idiom-idiom ini memiliki
fungsi yang serupa: merendahkan martabat seseorang atau kaum dengan bantuan
hewan. Selain itu, orang yang ingin kami cela dapat kami juga panggil
monyet atau, lebih parah lagi, anjing.
Nah, ada apa dengan ucapan-ucapan
ini? Sepertinya mereka tidak memiliki asal-muasal yang sama. Kambing hitam,
misalnya, adalah penerjemahan langsung dari bahasa asing. Ucapan ini dapat
ditemukan dalam beberapa bahasa Eropa (termasuk bahasa Swedia, Perancis,
Spanyol, dan Jerman). Selain kambing hitam berbeda dengan kambing-kambing
lain yang pada umumnya berwarna putih (dan dengan demikian tidak cocok
dalam golongannya), kambing hitam juga selalu disalahkan (secara tidak
wajar). Dalam bahasa Inggris, istilah lain untuk kambing hitam ini adalah
scapegoat yang dengan lebih jelas menunjukkan bahwa kambing-kambing hitam
dapat dijadikan tumpuan segala kesalahan. Barangkali bahasa Indonesia cukup
unik dengan kata kerjanya mengambinghitamkan yang sinonimnya adalah
mempersalahkan atau menuduh.
Ucapan-ucapan lain, seperti buaya
darat, mungkin dapat kami perkirakan mencerminkan sebuah ketakutan terhadap
alam dan satwa liar, yang setiap saat dapat menyusahkan atau malah
menyengsarakan kehidupan umat manusia. Ke dalam kelompok ini dapat kami
juga masukkan ular kepala dua, yakni orang munafik. Namun, ke manakah
kupu-kupu malam? Ini rupanya bukan terjemahan langsung dari bahasa asing
(sebab kupu-kupu malam dalam bahasa-bahasa Eropa adalah identik dengan
ngengat), dan susah juga bayangkan bahwa kupu-kupu memantulkan ketakutan
terhadap alam dan hewan liar. Barangkali ini hanya puisi bahasa, yang kerap
kali muncul dalam bahasa Indonesia.
Adapun sejumlah nama hewan yang
rupanya hanya bertujuan untuk menghina yang mereka mirip. Salah satu contoh
adalah monyet belanda yang jadi nama lokal di Kalimantan untuk monyet
Nasalis larvatus (bahasa Indonesianya adalah bekantan). Monyet ini memang
memiliki hidung besar dan mancung (dan juga kelihatan agak lucu), jadi
barangkali tidak salah kalau disebut monyet belanda. Secara tidak sengaja
saya pernah mempermalukan pembawa kapal di sungai-sungai Kalimantan Selatan
waktu saya bertanya-tanya mengenai monyet-monyet belanda ini. Barangkali ia
pikir bahwa saya orang Belanda dan tidak begitu nyaman dengan istilah
tersebut. Ngomong-ngomong tentang Belanda dan hewan, tahukah para pembaca
apakah kucing belanda itu? Kelinci,
ternyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar