Tak
berlebihan para founding fathers
bangsa ini sejak awal proklamasi menekankan pentingnya membangun bangsa
yang mandiri, bermartabat, adil, dan sejahtera. Mandiri dalam arti berdiri
di atas kaki sendiri, terbebas dari ketergantungan pada bangsa lain secara
berlebihan dan berkelanjutan. Para bapak bangsa yang umumnya merupakan
bagian intelektual masyarakat ketika itu tentu sudah menyadari bahwa bangsa
yang baru saja diproklamasikan memiliki modal yang memadai untuk berdiri di
atas kaki sendiri. Baik modal sumber daya alam (komparatif) maupun kekayaan
penduduk (kompetitif).
Dua
sumber daya tersebut sejatinya merupakan pembentuk sumber daya finansial
yang menentukan untuk mewu- judkan kesejahteraan. Namun, setelah sekitar 60
tahun merdeka, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih nomor 124
dari 187 negara. Artinya, sumber daya kompetitif belum cukup menjadi
andalan sumber daya finansial bagi pembangunan.
Pilihan
tinggal pada sumber daya alam sebagai keunggulan komparatif. Baik sumber daya alam tak terbarukan (non-renewable)
maupun terbarukan (renewable).
Namun, sumber daya alam terbarukan memiliki sifat tidak bisa cepat
menghasilkan uang (non-quick money).
Padahal, pembangunan membutuhkan ketersediaan dana. Lagi-lagi pilihan
mengerucut pada sumber daya alam tak terbarukan.
Bangsa
Indonesia, sebagaimana sudah disadari oleh founding fahters, memiliki kekayaan alam berupa mineral dan
batu bara (minerba) yang memadai untuk dimanfaatkan sebagai sumber daya
finansial bagi pembangunan. Namun, modal ini unik. Sebab, manusia
tidak bisa memilih lokasi dan jumlah cadangannya sehingga agar bisa memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa, perlu pengelolaan terhadap modal
tersebut secara tepat dan benar. Di sini dibutuhkan kombinasi antara
keahlian dan kearifan dalam mengelolanya.
Keahlian
tersebut harus hadir sejak proses pencarian (eksplorasi), penambangan
(eksploitasi), pengolahan, hingga penjualan. Sedangkan kearifan--yang
sering dilupakan--adalah berupa penggunaan manfaat untuk semaksimal mungkin
bagi kesejahteraan. Kombinasi ini penting karena sekali salah dalam
pengelolaan minerba ini, anugerah Tuhan itu tidak akan dapat kembali
diperbaiki. Kesempatan untuk menjadikan sumber kemakmuran pun menjadi
hilang.
Angka
IPM di atas menunjukkan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk minerba,
selama ini belum mampu menyejahterakan masyarakat. Sekarang masih terjadi
salah kaprah dalam menyamakan strategi pengelolan sumber daya alam tak
terbarukan, seperti pada sumber daya alam terbarukan. Selain itu juga,
memang belum ada kebijakan nasional minerba.
Pengelolaan
sumber daya alam berupa minerba, misalnya, masih dilaksanakan secara
eksplosif dan eksploitatif. Seakan-akan sumber daya alam ini tak akan habis,
bahkan berilusi bisa diperbarui. Selain itu, para pengelolanya masih minim
dalam membuat pertimbangan aspek memaksimalkan manfaat untuk kemakmuran.
Sebenarnya,
Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah memberikan fondasi dalam
pengelolaan sumber daya alam. Demikian juga Undang-Undang (UU) Nomor 9
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara telah memberikan panduan pengelolaan
minerba. Sayangnya berbagai peraturan turunannya sebagai pegangan
pengelolaan lambat disiapkan dan tak mampu menyampaikan pesan eksplisit peran
penting minerba bagi kemakmuran.
Akibatnya
muncul kegalauan di kalangan para pengelola. UU yang memiliki jiwa manfaat,
keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas serta berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan tak mampu menghambat munculnya pandangan sesuai `kacamata'
masing-masing dari pemangku kepentingan.
Setidaknya
kondisi itulah yang bisa ditangkap dari keputusan Mahkamah Konstitusi atas
gugatan yang diajukan beberapa kelompok masyarakat terhadap Permen ESDM
Nomor 7/2012. Tak sepenuhnya keliru memang. Namun jika dilandasi oleh sudut
pandang sepihak sesuai interpretasi atau bahkan kepentingan sempit, tentu
ironis.
Di
sinilah perlu Kebijakan Nasional Minerba (KNM) yang bisa menjadi acuan atau
kacamata yang menyatukan pandangan dan kepentingan semua elemen bangsa. KMN
yang saat ini sangat dibutuhkan haruslah memuat secara rinci potensi,
cadangan riil, produksi, pengolahan, hingga strategi penjualan yang
memberikan manfaat maksimal. Selain
itu, kebijakan tersebut juga memuat seluas mungkin aspirasi publik.
Jika UU adalah pegangan pengelolaan minerba, KNM adalah penentu arahnya.
Secara bersama antara UU dan KNM merupakan sarana memanfaatkan minerba
untuk kemakmuran masyarakat sesuai amanat UUD 1945. Perlu hati jernih agar
tak terjadi seperti kata pepatah, `tiba di mata dipicingkan, tiba di perut
dikempiskan' dalam pengelolaan minerba di negeri tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar