Minggu, 17 Maret 2013

Fungsi Kekayaan Minerba


Fungsi Kekayaan Minerba
Achmad Ardianto  ;   Ketua Umum Perhimpunan Ahli Eksplorasi,
Penambangan, dan Metalurgi Indonesia (Perhapi)
REPUBLIKA, 14 Maret 2013


Tak berlebihan para founding fathers bangsa ini sejak awal proklamasi menekankan pentingnya membangun bangsa yang mandiri, bermartabat, adil, dan sejahtera. Mandiri dalam arti berdiri di atas kaki sendiri, terbebas dari ketergantungan pada bangsa lain secara berlebihan dan berkelanjutan. Para bapak bangsa yang umumnya merupakan bagian intelektual masyarakat ketika itu tentu sudah menyadari bahwa bangsa yang baru saja diproklamasikan memiliki modal yang memadai untuk berdiri di atas kaki sendiri. Baik modal sumber daya alam (komparatif) maupun kekayaan penduduk (kompetitif).

Dua sumber daya tersebut sejatinya merupakan pembentuk sumber daya finansial yang menentukan untuk mewu- judkan kesejahteraan. Namun, setelah sekitar 60 tahun merdeka, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih nomor 124 dari 187 negara. Artinya, sumber daya kompetitif belum cukup menjadi andalan sumber daya finansial bagi pembangunan.

Pilihan tinggal pada sumber daya alam sebagai keunggulan komparatif. Baik sumber daya alam tak terbarukan (non-renewable) maupun terbarukan (renewable). Namun, sumber daya alam terbarukan memiliki sifat tidak bisa cepat menghasilkan uang (non-quick money). Padahal, pembangunan membutuhkan ketersediaan dana. Lagi-lagi pilihan mengerucut pada sumber daya alam tak terbarukan.

Bangsa Indonesia, sebagaimana sudah disadari oleh founding fahters, memiliki kekayaan alam berupa mineral dan batu bara (minerba) yang memadai untuk dimanfaatkan sebagai sumber daya finansial bagi pembangunan. Namun, modal ini unik. Sebab, manusia tidak bisa memilih lokasi dan jumlah cadangannya sehingga agar bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa, perlu pengelolaan terhadap modal tersebut secara tepat dan benar. Di sini dibutuhkan kombinasi antara keahlian dan kearifan dalam mengelolanya.

Keahlian tersebut harus hadir sejak proses pencarian (eksplorasi), penambangan (eksploitasi), pengolahan, hingga penjualan. Sedangkan kearifan--yang sering dilupakan--adalah berupa penggunaan manfaat untuk semaksimal mungkin bagi kesejahteraan. Kombinasi ini penting karena sekali salah dalam pengelolaan minerba ini, anugerah Tuhan itu tidak akan dapat kembali diperbaiki. Kesempatan untuk menjadikan sumber kemakmuran pun menjadi hilang.

Angka IPM di atas menunjukkan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk minerba, selama ini belum mampu menyejahterakan masyarakat. Sekarang masih terjadi salah kaprah dalam menyamakan strategi pengelolan sumber daya alam tak terbarukan, seperti pada sumber daya alam terbarukan. Selain itu juga, memang belum ada kebijakan nasional minerba.

Pengelolaan sumber daya alam berupa minerba, misalnya, masih dilaksanakan secara eksplosif dan eksploitatif. Seakan-akan sumber daya alam ini tak akan habis, bahkan berilusi bisa diperbarui. Selain itu, para pengelolanya masih minim dalam membuat pertimbangan aspek memaksimalkan manfaat untuk kemakmuran. 

Sebenarnya, Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah memberikan fondasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Demikian juga Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara telah memberikan panduan pengelolaan minerba. Sayangnya berbagai peraturan turunannya sebagai pegangan pengelolaan lambat disiapkan dan tak mampu menyampaikan pesan eksplisit peran penting minerba bagi kemakmuran.

Akibatnya muncul kegalauan di kalangan para pengelola. UU yang memiliki jiwa manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan kepada kepentingan bangsa; partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas serta berkelanjutan dan berwawasan lingkungan tak mampu menghambat munculnya pandangan sesuai `kacamata' masing-masing dari pemangku kepentingan.

Setidaknya kondisi itulah yang bisa ditangkap dari keputusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan yang diajukan beberapa kelompok masyarakat terhadap Permen ESDM Nomor 7/2012. Tak sepenuhnya keliru memang. Namun jika dilandasi oleh sudut pandang sepihak sesuai interpretasi atau bahkan kepentingan sempit, tentu ironis.

Di sinilah perlu Kebijakan Nasional Minerba (KNM) yang bisa menjadi acuan atau kacamata yang menyatukan pandangan dan kepentingan semua elemen bangsa. KMN yang saat ini sangat dibutuhkan haruslah memuat secara rinci potensi, cadangan riil, produksi, pengolahan, hingga strategi penjualan yang memberikan manfaat maksimal. Selain itu, kebijakan tersebut juga memuat seluas mungkin aspirasi publik.

Jika UU adalah pegangan pengelolaan minerba, KNM adalah penentu arahnya. Secara bersama antara UU dan KNM merupakan sarana memanfaatkan minerba untuk kemakmuran masyarakat sesuai amanat UUD 1945. Perlu hati jernih agar tak terjadi seperti kata pepatah, `tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan' dalam pengelolaan minerba di negeri tercinta ini. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar