Minggu, 17 Maret 2013

Dua Tahun Revolusi Suriah


Dua Tahun Revolusi Suriah
Muhammad Nadjib  ;   Ketua Kaukus Parlemen Indonesia untuk Timur Tengah, Komisi I DPR
REPUBLIKA, 16 Maret 2013


Hepat 15 Maret tahun ini genap dua tahun berlangsungnya perlawanan rakyat Suriah terhadap pemerintahan yang berkuasa. Ditandai dengan dimulainya unjuk rasa damai rakyat menuntut pergantian rezim Bashar al-Assad, yang kemudian bereskalasi menjadi revolusi paling berdarah dan menelan lebih dari 70 ribu korban jiwa, satu juta pengungsi di Turki, Irak, Lebanon, dan Yordania, serta hancurnya infrastruktur di seantero negeri.

Respons negara-negara besar, seperti Cina dan Rusia, mendukung rezim Assad, sementara Amerika dan Uni Eropa mendukung oposisi. Negara-negara tetangganya di Timur Tengah juga terpolarisasi dalam dua kutub, mendukung eksistensi Bashar dan menganggap kaum revolusioner sebagai pemberontak yang harus dibasmi. Namun, dalam perkembangan berikutnya, konflik berdarah di Suriah itu bergeser pada isu terorisme jaringan Al-qaidah dan pertarungan Sunni dan Syiah. PM Irak Nuri Almaliki, seperti di kutip laman Aljazirahpada 27 Februari, misalnya, mengatakan, kemenangan oposisi Suriah akan memicu keberlanjutan konflik sektarian di Irak dan Lebanon dan menciptakan lahan baru bagi Alqaidah. 

Kedua pihak yang berseteru, lanjut Maliki, tidak akan mungkin mengalahkan lawannya, namun jika oposisi yang menang, akan menyuburkan konflik sektarian di Lebanon, Yordania, dan Irak. Dengan semangat yang sama, Menteri Transportasi Irak Hadi al-Amiri (ketua ormas Badr, milisi Syiah Irak yang mendukung Iran dalam perang Irak-Iran pada 1980-1888), mengatakan, support Turki dan Qatar terhadap oposisi Suriah bisa meningkatkan tensi politik di Irak. 

Dilema Iran

Omar Koush, analis politik Aljazirah, menilai, upaya Iran menjadi negara poros utama di Timteng dengan program nuklirnya yang bernuansa menantang Barat, khususnya Amerika, dan sikap anti-Israel yang tegas, telah menarik simpati mayoritas rakyat di Timur Tengah dan berbagai kelompok perlawanan yang tumbuh subur di sana. Namun, sejak Arab Spring muncul, anomali Iran dalam menyikapi berbagai pergolakan yang ada. 

Meski Iran negara pertama yang me yambut antusias revolusi Tunisia dan Mesir dengan menyebutnya sebagai `perpanjangan' Revolusi Islam Iran pada 1979, sikap Iran menjadi paradoks ketika gelombang revolusi Arab mengancam rezim sekutu kuatnya di Suriah. Iran juga mengkhawatirkan dampak Arab Spring bagi pamor regionalnya, selain tekanan dalam negeri yang juga menuntut reformasi politik. 

Satu per satu kekhawatiran Iran mulai terbukti. Pertama, dengan keluarnya Hamas dari poros aliansi Iran-Suriah dan masuk ke pangkuan Mesir yang sukses mengupayakan pakta rekonsiliasi nasional dengan Fatah dan kesepakatan pertukaran tawanan dengan Israel. Kedua, dengan naiknya faksi-faksi Islam politik di Mesir, Libya, dan Tunisia ke panggung kuasa yang menjauh dari poros aliansi Iran di kawasan sehingga memupus harapan Iran untuk mendapatkan sekutu-sekutu baru yang strategis di Timteng.

Di Mesir, setelah faksi Ikhwanul Mus limin (IM) berkuasa, tampak mustahil beraliansi dengan Iran yang disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, di dalam negeri, IM berkoalisi dengan faksi Salafi, yaitu Partai Annur, yang umumnya menolak beraliansi dengan Syiah. Kedua, hubungan ekonomi yang kuat dengan Arab Saudi dan negara-negara Teluk penyumbang devisa terbesar dengan arus tenaga kerja Mesir yang diserap oleh negara tersebut.
Ketiga, sikap Presiden Mursi yang menegaskan Mesir berdiri bersama rakyat Suriah yang menuntut perubahan rezim yang kejam.

Sementara, di Turki, sikap Erdogan yang garang terhadap Israel dan sikapnya yang tegas menentang rezim Assad, di samping membuat Iran semakin kurang menarik, dan dalam wak tu bersamaan, rakyat di Timur Tengah seperti mendapatkan idola-idola baru. Mohammed Syinqiti, analis politik Arab, menulis, teramat disayangkan Iran dan Hizbullah yang sempat menjadi idola dan harapan bangsa Arab Muslim, justru dalam kasus Suriah mengambil peran membela dan melindungi diktator karena alasan taktis ideologis semata.

Buang Logika Sektarian

Kekuatan politik Syiah di Timteng, menurut saya, telah melakukan kesalahan besar dalam membaca 
arus perubahan karena terlalu berorientasi pada mazhab, tidak sesuai dengan semangat persatuan Islam seperti yang selama ini didengungkannya. Selain sikap Teheran yang membela secara membabi buta rezim Assad, juga sikap Baghdad yang mendiskriminasi masyarakat Sunni di Irak telah membuka orientasi politik Teheran selama ini.

Rasanya, belum terlambat bagi Teheran untuk menyadari kekeliruan ini, masih terbuka lebar kesempatan untuk mengoreksi, mengingat perjalanan yang masih panjang bagi banyak negara di Timteng dalam membangun demokrasi dan aliansi strategis. Isu persatuan umat Islam dengan mengabaikan apakah ia Sunni atau Syiah, dapat hidup kembali jika Iran dan sekutunya konsisten dalam tindakan.

Dengan kalimat yang lebih lugas, dapat dikatakan respons yang benar dan cerdas adalah membuang logika sektarianisme Sunni-Syiah dan konsisten menegakkan keadilan, kebebasan, kemuliaan bangsa Muslim, dan melawan rezim diktator tanpa memandang mazhabnya. Jika respons yang benar dan cerdas itu didukung semua elemen yang bertikai di Timteng, kita optimistis akan melihat era baru kebangkitan Islam, baik Sunni maupun Syiah, yang bersatu menolong kaum tertindas dan melawan kebatilan serta kezaliman. Hal ini sekaligus akan menjadi rekonsiliasi historis terbesar dalam sejarah umat Islam. Sikap politik Indonesia sudah benar yang ditunjukkan oleh Presiden SBY yang mengimbau agar Presiden Bashar al-Assad menyadari bahwa kini sudah bukan zamannya lagi menggunakan pendekatan represif yang diwariskan dari ayahnya, Hafez Assad. 

Mundurnya Assad adalah langkah terbaik agar darah yang tertumpah segera berhenti, begitu juga tangis pilu para pengungsi segera bisa diakhiri. Selanjutnya, Suriah perlu melakukan transisi kekuasaan secara damai, rekonsiliasi nasional, dan rekonstruksi sektor infrastruktur yang hancur. Jika rakyat mencintai, Assad bisa saja naik kembali ke tampuk kuasa melalui pemilu yang demokratis, jujur, dan adil. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar