Hepat
15 Maret tahun ini genap dua tahun berlangsungnya perlawanan rakyat Suriah
terhadap pemerintahan yang berkuasa. Ditandai dengan dimulainya unjuk rasa
damai rakyat menuntut pergantian rezim Bashar al-Assad, yang kemudian
bereskalasi menjadi revolusi paling berdarah dan menelan lebih dari 70 ribu
korban jiwa, satu juta pengungsi di Turki, Irak, Lebanon, dan Yordania,
serta hancurnya infrastruktur di seantero negeri.
Respons
negara-negara besar, seperti Cina dan Rusia, mendukung rezim Assad,
sementara Amerika dan Uni Eropa mendukung oposisi. Negara-negara tetangganya
di Timur Tengah juga terpolarisasi dalam dua kutub, mendukung eksistensi
Bashar dan menganggap kaum revolusioner sebagai pemberontak yang harus
dibasmi. Namun, dalam perkembangan berikutnya, konflik berdarah di
Suriah itu bergeser pada isu terorisme jaringan Al-qaidah dan pertarungan Sunni
dan Syiah. PM Irak Nuri Almaliki, seperti di kutip laman Aljazirahpada 27
Februari, misalnya, mengatakan, kemenangan oposisi Suriah akan memicu keberlanjutan
konflik sektarian di Irak dan Lebanon dan menciptakan lahan baru bagi
Alqaidah.
Kedua
pihak yang berseteru, lanjut Maliki, tidak akan mungkin mengalahkan
lawannya, namun jika oposisi yang menang, akan menyuburkan konflik sektarian
di Lebanon, Yordania, dan Irak. Dengan semangat yang sama, Menteri
Transportasi Irak Hadi al-Amiri (ketua ormas Badr, milisi Syiah Irak yang
mendukung Iran dalam perang Irak-Iran pada 1980-1888), mengatakan, support
Turki dan Qatar terhadap oposisi Suriah bisa meningkatkan tensi politik di
Irak.
Dilema Iran
Omar
Koush, analis politik Aljazirah, menilai, upaya Iran menjadi negara poros
utama di Timteng dengan program nuklirnya yang bernuansa menantang Barat,
khususnya Amerika, dan sikap anti-Israel yang tegas, telah menarik simpati
mayoritas rakyat di Timur Tengah dan berbagai kelompok perlawanan yang
tumbuh subur di sana. Namun, sejak Arab Spring muncul, anomali Iran dalam
menyikapi berbagai pergolakan yang ada.
Meski
Iran negara pertama yang me yambut antusias revolusi Tunisia dan Mesir dengan
menyebutnya sebagai `perpanjangan' Revolusi Islam Iran pada 1979, sikap
Iran menjadi paradoks ketika gelombang revolusi Arab mengancam rezim sekutu
kuatnya di Suriah. Iran juga mengkhawatirkan dampak Arab Spring bagi pamor
regionalnya, selain tekanan dalam negeri yang juga menuntut reformasi
politik.
Satu per
satu kekhawatiran Iran mulai terbukti. Pertama, dengan keluarnya Hamas dari
poros aliansi Iran-Suriah dan masuk ke pangkuan Mesir yang sukses
mengupayakan pakta rekonsiliasi nasional dengan Fatah dan kesepakatan
pertukaran tawanan dengan Israel. Kedua, dengan naiknya faksi-faksi Islam
politik di Mesir, Libya, dan Tunisia ke panggung kuasa yang menjauh dari
poros aliansi Iran di kawasan sehingga memupus harapan Iran untuk mendapatkan
sekutu-sekutu baru yang strategis di Timteng.
Di
Mesir, setelah faksi Ikhwanul Mus limin (IM) berkuasa, tampak mustahil beraliansi
dengan Iran yang disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, di dalam negeri, IM
berkoalisi dengan faksi Salafi, yaitu Partai Annur, yang umumnya menolak
beraliansi dengan Syiah. Kedua, hubungan ekonomi yang kuat dengan Arab
Saudi dan negara-negara Teluk penyumbang devisa terbesar dengan arus tenaga
kerja Mesir yang diserap oleh negara tersebut.
Ketiga, sikap Presiden Mursi yang menegaskan Mesir berdiri bersama rakyat
Suriah yang menuntut perubahan rezim yang kejam.
Sementara,
di Turki, sikap Erdogan yang garang terhadap Israel dan sikapnya yang tegas
menentang rezim Assad, di samping membuat Iran semakin kurang menarik, dan
dalam wak tu bersamaan, rakyat di Timur Tengah seperti mendapatkan
idola-idola baru. Mohammed Syinqiti, analis politik Arab, menulis, teramat
disayangkan Iran dan Hizbullah yang sempat menjadi idola dan harapan bangsa
Arab Muslim, justru dalam kasus Suriah mengambil peran membela dan
melindungi diktator karena alasan taktis ideologis semata.
Buang Logika Sektarian
Kekuatan
politik Syiah di Timteng, menurut saya, telah melakukan kesalahan besar
dalam membaca
arus perubahan karena terlalu berorientasi pada mazhab, tidak
sesuai dengan semangat persatuan Islam seperti yang selama ini didengungkannya.
Selain sikap Teheran yang membela secara membabi buta rezim Assad, juga
sikap Baghdad yang mendiskriminasi masyarakat Sunni di Irak telah membuka
orientasi politik Teheran selama ini.
Rasanya,
belum terlambat bagi Teheran untuk menyadari kekeliruan ini, masih terbuka
lebar kesempatan untuk mengoreksi, mengingat perjalanan yang masih panjang
bagi banyak negara di Timteng dalam membangun demokrasi dan aliansi
strategis. Isu persatuan umat Islam dengan mengabaikan apakah ia Sunni atau
Syiah, dapat hidup kembali jika Iran dan sekutunya konsisten dalam
tindakan.
Dengan
kalimat yang lebih lugas, dapat dikatakan respons yang benar dan cerdas
adalah membuang logika sektarianisme Sunni-Syiah dan konsisten menegakkan
keadilan, kebebasan, kemuliaan bangsa Muslim, dan melawan rezim diktator
tanpa memandang mazhabnya. Jika respons yang benar dan cerdas itu didukung
semua elemen yang bertikai di Timteng, kita optimistis akan melihat era
baru kebangkitan Islam, baik Sunni maupun Syiah, yang bersatu menolong kaum
tertindas dan melawan kebatilan serta kezaliman. Hal ini sekaligus akan
menjadi rekonsiliasi historis terbesar dalam sejarah umat Islam. Sikap
politik Indonesia sudah benar yang ditunjukkan oleh Presiden SBY yang
mengimbau agar Presiden Bashar al-Assad menyadari bahwa kini sudah bukan
zamannya lagi menggunakan pendekatan represif yang diwariskan dari ayahnya,
Hafez Assad.
Mundurnya
Assad adalah langkah terbaik agar darah yang tertumpah segera berhenti,
begitu juga tangis pilu para pengungsi segera bisa diakhiri. Selanjutnya,
Suriah perlu melakukan transisi kekuasaan secara damai, rekonsiliasi
nasional, dan rekonstruksi sektor infrastruktur yang hancur. Jika rakyat
mencintai, Assad bisa saja naik kembali ke tampuk kuasa melalui pemilu yang
demokratis, jujur, dan adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar