Diluncurkannya
Kartu Jakarta Sehat (KJS) oleh Pemda DKI merupakan salah satu upaya Gubernur
Joko Wi dodo dan Wakil Gubernur Basuki T Purnama untuk mewujudkan kesehatan
bagi seluruh penduduk Jakarta. Langkah serupa sepatutnya diikuti oleh
pemerintahan daerah lain di Indonesia.
Hal ini mengingat tidak semua penduduk mampu mengakses layanan kesehatan.
Padahal, dalam perubahan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Pasal 28 bagian
H ayat 1 ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Selanjutnya, Pasal 34 ayat 3 menyebutkan bahwa negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Namun,
upaya Jokowi-Ahok untuk mewujudkan kesehatan penduduk Jakarta itu tampaknya
masih memerlukan proses panjang. Hal ini setelah melihat kenyataan, meski
KJS telah diluncurkan, tidak seluruh pemegang kartu itu dapat mengakses
layanan kesehatan. Meninggalnya remaja Ana Mudrika merupakan salah satu
contoh sulitnya mendapatkan akses layanan karena rumah sakit penuh.
Keterbatasan Infrastruktur
Dalam
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tetang Rumah Sakit, Pasal 9(b) di
antaranya menyebutkan bahwa rumah sakit memberikan pelayanan dan
perlindungan dan keselamatan bagi semua orang, termasuk penyan- dang cacat,
anak-anak, dan usia lanjut.
Tapi, meski dalam pasal itu dinyatakan memberikan pelayanan untuk semua,
rumah sakit memiliki keterbatasan layanan dan tempat tidur. Padahal,
permintaan layanan kesehatan kerap melebihi kapasitas tampung rumah sakit.
Fakta ini sekaligus mengisyaratkan terjadi ketidakseimbangan antara
penyediaan dan permintaan layanan kesehatan.
Penduduk
Jakarta sebanyak 9.607 ribu orang menurut hasil Sensus Penduduk 2010 memang
tidak mudah untuk dilayani. Di Jakarta Barat, misalnya, menurut
penghitungan Indartoyo CSA dan Wiyantara W, untuk melayani penduduk
sebanyak 2.278.825 idealnya diperlukan 4.558 tempat tidur. Padahal,
ketersedian tempat tidur di wilayah itu hanya 2.529 unit atau terdapat
kekurangan 2.029 tempat tidur. Adapun, penghitungan kebutuhan ideal tempat
tidur itu didasarkan atas acuan badan kesehatan dunia/WHO yang mensyaratkan
untuk setiap 500 orang perlu satu tempat tidur (1:500).
Fakta
itu sepatutnya dapat menginspirasi Pemda DKI untuk segera memperbanyak
tempat tidur agar masyarakat dapat terlayani, baik dengan perluasan rumah
sakit dan atau pembangunan rumah sakit baru melalui anggaran pemerintah dan
swasta. Meski memerlukan proses yang cukup lama, hal itu perlu segera
diwujudkan. Sebab, jika mengandalkan rumah sakit yang ada sast ini,
tampaknya ketersediaan tempat tidur kerap tidak mencukupi.
Pemeliharaan Kesehatan
Dalam
jangka panjang, untuk mewujudkan kesehatan masyarakat Jakarta tidak cukup
dengan pendekatan kuratif dan rehabilitatif. Pemda DKI perlu mengupayakan
pendekatan preventif untuk mencegah penyakit. Secara faktual, penduduk
Jakarta rentan terkena penyakit akibat pencemaran, buruknya sanitasi
lingkungan, dan rendahnya penyediaan air bersih. Hasil Susenas 2011,
misalnya, menunjukkan bahwa hanya sekitar 24,29 persen rumah tangga di
Jakarta yang dapat mengakses sumber air bersih. Bahkan, aksesibilitas
terhadap air bersih di Ibu Kota menunjukkan kecenderungan menurun karena
pada 2009 rumah tangga yang dapat mengakses air bersih masih berkisar 34,81
persen. Menurunnya persentase rumah tangga yang dapat mengakses sumber air
bersih itu terutama karena faktor pencemaran dan intrusi air laut yang kian
jauh memasuki daratan Jakarta.
Sementara,
hasil Sensus Penduduk dan Perumahan 2010 menunjukkan bahwa dari 2.508.869
rumah tangga di DKI Jakarta, yang memiliki jamban sendiri berjumlah
1.918.540 rumah tangga. Sedangkan, sisanya menggunakan jamban bersama,
yakni sebanyak 473.621 rumah tangga, jamban umum sebanyak 96.768 rumah
tangga, dan tidak memiliki jamban sebanyak 19.940 rumah tangga.
Celakanya,
kepemilikan jamban sendiri untuk masyarakat Jakarta bukannya tanpa
persoalan. Sebab, dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keberadaan
sebagian jamban itu terpaksa berdekatan dengan sumur, pompa, dan mata air,
sehingga hal itu akan mencemarkan ketersediaan sumber air bersih. Adapun,
jarak aman agar terhindar dari pencemaran adalah 10 meteran tara jamban
(toilet dan saluran pembuangan akhir) dengan sumur, pompa, atau mata air.
Di Jakarta,
menurut Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), sekitar 41
persen sumur galian yang digunakan rumah tangga memiliki jarak kurang dari
10 meter. Ini sekaligus menegaskan bahwa kondisi air bersih yang berasal
dari sumur dan pompa di Ibu Kota rawan terkontaminasi pencemaran dan bibit
penyakit. Lebih jauh, Unicef (2012) menyebutkan bahwa kurang
memadainya sanitasi lingkungan, perilaku buruk terhadap kebersihan lingkungan,
tingginya kepadatan penduduk, dan terkontaminasinya air bersih berpotensi
menyebabkan berbagai jenis penyakit, seperti disentri, kolera, diare,
tipus, hepatitis, malaria, demam, leptospirosis, demam berdarah, kudis,
penyakit pernapasan, dan infeksi usus. Secara global, sekitar 88 persen
kematian anak terjadi akibat diare yang disebabkan sanitasi lingkungan dan
perilaku buruk terhadap kebersihan minum air yang tidak aman dikonsumsi
(Unicef, 2012).
Maka,
atas dasar itu, diperlukan ber bagai upaya untuk mewujudkan kesehatan
masyarakat Jakarta. Hal itu diyakini bisa terwujud jika ada sinergi dari ketiga
pilar sekaligus, yakni pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha untuk membangun
infrastruktur layanan kesehatan yang seimbang dengan kebutuhan masyarakat
dan infrastruktur penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan secara
memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar