Jumat, 08 Maret 2013

Dana Talangan Haji Riba


Dana Talangan Haji Riba
Muhammad Khaerul Muttaqien  ;  Pemerhati Sosial Keagamaan
SUARA KARYA, 08 Maret 2013
  

Sudah rahasia umum bahwa penyelenggaraan ibadah haji merupakan lahan empuk bagi banyak pihak mengandung aspek bisnis. Banyak pihak berebut mengelola tabungan, talangan dana, pengurusan, pemberangkatan dan pemondokan haji. Nampaknya, perbankan domestik baik bank syariah maupun konvensional mencoba menjajaki bisnisnya melalui program pembiayaan seperti dana talangan haji untuk memfasilitasi keuangan nasabah dalam memudahkan administrasi haji.

Apalagi semenjak DSN-MUI merekomendasikan fatwa Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002, perbankan atau lembaga keuangan (LK) diperbolehkan memberikan dana talangan haji kepada jamaah sesuai dengan prinsip al-ijarah dan al-qardh. Mekanismenya pihak bank memberikan dananya kepada calon haji untuk dibayarkan kepada pihak penyelenggara haji kemudian peminjam mengembalikannya secara mencicil.

Namun, beberapa kalangan ormas Islam kelihatannya keberatan atas akad al-ijarah dan al-qard yang ditawarkan pihak perbankan. Bagaimana mekanisme akad al-qardh dan al-ijarah yang semestinya dipraktikkan oleh perbankan?

Syafi'i Antonio (2001) mendefinisikan al-qardh sebagai pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali, atau meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Qardh dikategorikan sebagai akad tabarru' (orientasi sosial), bukan transaksi komersil.

Sedangkan al-ijarah adalah pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, hanya berbeda pada objek transaksinya. Akad jual beli objeknya berupa barang, sedangkan ijarah objeknya adalah barang maupun jasa (Dialog Jum'at Republika, 01/02/2013).

Ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah mengungkapkan pendapatnya tentang dana talangan haji. NU misalnya, mengacu pada keputusan hasil musyawarah nasional (munas) alim ulama dan koferensi besar (konbes) NU 2012, menyatakan haram terhadap praktik dana talangan haji. Secara akad, dana talangan haji tidak tepat bilamana menggunakan akad al-qardh (utang) yang disertai al-ijarah (sewa).

Walaupun tidak ada penegasan tentang larangan haji dengan dana utang, persoalannya adalah pelunasan utang yang disertai tambahan. Akad tersebut mengandung riba bilamana pelunasannya terdapat selisih. Fakta di lapangan adalah calon haji diwajibkan membayar utang beserta tambahan uang dengan besaran yang berbeda-beda, cicilan yang sama, dan pelunasan dengan tenor yang sama. Konsekuensi utang piutang adalah berorientasi sosial (tabarru') bukan transaksi komersial. Jadi, akad al-qard tidak diperbolehkan disertai tambahan apalagi selisih.

Sebenarnya, pengkategorian ijarah yang dimaksudkan DSN itu apa, dan pihak bank menerima ujrah (fee) atas jasa apa? Apakah atas jasa bank karena menalangkan dananya kepada nasabah, jasa apa yang dilakukan pihak bank? Toh, yang mengurusi proses pendaftaran, dan pengurusan lainnya adalah calon haji pribadi bukan pihak bank.

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menyarankan agar masyarakat menghindari praktik dana talangan haji. Pasalnya, ijarah (sewa-menyewa) itu apabila objeknya berupa barang yang digunakan secara berulang. Praktik dalam dana talangan haji, uang sebagai objek ijarah padahal bersifat mal al isti'mal. Ijarah dengan objek berupa uang tidak dibenarkan.

Mayoritas ulama dan fuqaha menafsirkan kadar kemampuan berhaji baik ulama klasik maupun kontemporer, mengerucutkan makna isthitha'ah filhaj (kemampuan berhaji) sebagai kemampuan dalam segala hal baik fisik maupun finansial. Menurut M Ziyad Ulhaq, kriteria mampu dalam kajian fiqih klasik mengharuskan memenuhi sejumlah tolok ukur, yaitu transportasi, perbekalan yang cukup, dan persyaratan administratif, (Republika, 01/02/2013).

Nampaknya niat baik Fatwa DSN berupa kebolehan dana talangan haji menimbulkan ikhtilaf karena beberapa praktiknya berseberangan dengan fatwa. Di sisi lain kondisi antrean haji semakin memanjang, agar meraih kemashlahatan tanpa menggeser makna ishtitha'ah hendaknya pihak LK dan stakeholders terkait melakukan seleksi nasabah penerima dana talangan haji dengan pertimbangan kemampuan finansial berdasarkan standar penghasilan, persetujuan suami/istri, serta tenor pembiayaan.

Sebab itu, umat muslim tidak sepatutnya memaksakan diri menunaikan ibadah haji dengan melakukan berbagai macam cara bilamana belum terpenuhi syarat sah haji untuk tidak dianjurkan mendapatkan dana talangan haji. Bagi nasabah penerima dana tidak boleh menunaikan ibadah haji sebelum melunasi utangnya kepada LK yang bersangkutan.

Jadi, dana talangan haji merupakan bentuk ikhtiar calon haji untuk menunaikan ibadah haji. Perlu upaya intensif dari seluruh stakeholders untuk menyosialisasikan dan mengedukasi nasabah (calhaj) terkait makna isthitha'ah yang subtantif, serta pengawasan DSN MUI melalui DPS terhadap praktik pembiayaan dana talangan haji oleh perbankan agar tidak terjadi praktik riba dibalik dana talangan haji.

Pasalnya, berdasarkan data dan pendapat ormas Islam itu terdapat indikasi praktik riba di dalamnya. Terkecuali realisasi dalam menalangi biaya haji menggunakan prinsip qard. Bilamana pihak bank membantu pengurusan dalam mendapatkan kursi haji, maka pihak bank diperbolehkan meraih ujrah sebagai imbalannya.

Pergeseran makna isthitha'ah yang ditengarai kemampuan secara material, spiritual, menjadi kemampuan mencicil dan melunasi utang, maka seyogyanya umat Islam yang mendambakan beribadah ke Baitullah untuk menabung sedikit demi sedikit. Apabila telah tiba saatnya, yakinlah Allah Swt akan memang'gilnya ke Baitullah. Sebab, subtansi haji adalah memenuhi panggilan Allah SWT. Wallahu a'lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar