Sudah rahasia umum bahwa penyelenggaraan ibadah haji
merupakan lahan empuk bagi banyak pihak mengandung aspek bisnis. Banyak
pihak berebut mengelola tabungan, talangan dana, pengurusan, pemberangkatan
dan pemondokan haji. Nampaknya, perbankan domestik baik bank syariah maupun
konvensional mencoba menjajaki bisnisnya melalui program pembiayaan seperti
dana talangan haji untuk memfasilitasi keuangan nasabah dalam memudahkan
administrasi haji.
Apalagi semenjak DSN-MUI merekomendasikan fatwa Nomor
29/DSN-MUI/VI/2002, perbankan atau lembaga keuangan (LK) diperbolehkan
memberikan dana talangan haji kepada jamaah sesuai dengan prinsip al-ijarah
dan al-qardh. Mekanismenya pihak bank memberikan dananya kepada calon haji
untuk dibayarkan kepada pihak penyelenggara haji kemudian peminjam
mengembalikannya secara mencicil.
Namun, beberapa kalangan ormas Islam kelihatannya
keberatan atas akad al-ijarah dan al-qard yang ditawarkan pihak perbankan.
Bagaimana mekanisme akad al-qardh dan al-ijarah yang semestinya
dipraktikkan oleh perbankan?
Syafi'i Antonio (2001) mendefinisikan al-qardh sebagai
pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali,
atau meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Qardh dikategorikan sebagai
akad tabarru' (orientasi sosial), bukan transaksi komersil.
Sedangkan al-ijarah adalah pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Prinsip ijarah sama dengan
prinsip jual beli, hanya berbeda pada objek transaksinya. Akad jual beli
objeknya berupa barang, sedangkan ijarah objeknya adalah barang maupun jasa
(Dialog Jum'at Republika, 01/02/2013).
Ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah mengungkapkan
pendapatnya tentang dana talangan haji. NU misalnya, mengacu pada keputusan
hasil musyawarah nasional (munas) alim ulama dan koferensi besar (konbes)
NU 2012, menyatakan haram terhadap praktik dana talangan haji. Secara akad,
dana talangan haji tidak tepat bilamana menggunakan akad al-qardh (utang)
yang disertai al-ijarah (sewa).
Walaupun tidak ada penegasan tentang larangan haji
dengan dana utang, persoalannya adalah pelunasan utang yang disertai
tambahan. Akad tersebut mengandung riba bilamana pelunasannya terdapat
selisih. Fakta di lapangan adalah calon haji diwajibkan membayar utang
beserta tambahan uang dengan besaran yang berbeda-beda, cicilan yang sama,
dan pelunasan dengan tenor yang sama. Konsekuensi utang piutang adalah
berorientasi sosial (tabarru') bukan transaksi komersial. Jadi, akad
al-qard tidak diperbolehkan disertai tambahan apalagi selisih.
Sebenarnya, pengkategorian ijarah yang dimaksudkan DSN
itu apa, dan pihak bank menerima ujrah (fee) atas jasa apa? Apakah atas
jasa bank karena menalangkan dananya kepada nasabah, jasa apa yang
dilakukan pihak bank? Toh, yang mengurusi proses pendaftaran, dan
pengurusan lainnya adalah calon haji pribadi bukan pihak bank.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menyarankan agar
masyarakat menghindari praktik dana talangan haji. Pasalnya, ijarah
(sewa-menyewa) itu apabila objeknya berupa barang yang digunakan secara
berulang. Praktik dalam dana talangan haji, uang sebagai objek ijarah
padahal bersifat mal al isti'mal. Ijarah dengan objek berupa uang tidak
dibenarkan.
Mayoritas ulama dan fuqaha menafsirkan kadar kemampuan
berhaji baik ulama klasik maupun kontemporer, mengerucutkan makna
isthitha'ah filhaj (kemampuan berhaji) sebagai kemampuan dalam segala hal
baik fisik maupun finansial. Menurut M Ziyad Ulhaq, kriteria mampu dalam
kajian fiqih klasik mengharuskan memenuhi sejumlah tolok ukur, yaitu
transportasi, perbekalan yang cukup, dan persyaratan administratif,
(Republika, 01/02/2013).
Nampaknya niat baik Fatwa DSN berupa kebolehan dana
talangan haji menimbulkan ikhtilaf karena beberapa praktiknya berseberangan
dengan fatwa. Di sisi lain kondisi antrean haji semakin memanjang, agar
meraih kemashlahatan tanpa menggeser makna ishtitha'ah hendaknya pihak LK
dan stakeholders terkait melakukan seleksi nasabah penerima dana talangan
haji dengan pertimbangan kemampuan finansial berdasarkan standar
penghasilan, persetujuan suami/istri, serta tenor pembiayaan.
Sebab itu, umat muslim tidak sepatutnya memaksakan diri
menunaikan ibadah haji dengan melakukan berbagai macam cara bilamana belum
terpenuhi syarat sah haji untuk tidak dianjurkan mendapatkan dana talangan
haji. Bagi nasabah penerima dana tidak boleh menunaikan ibadah haji sebelum
melunasi utangnya kepada LK yang bersangkutan.
Jadi, dana talangan haji merupakan bentuk ikhtiar calon
haji untuk menunaikan ibadah haji. Perlu upaya intensif dari seluruh
stakeholders untuk menyosialisasikan dan mengedukasi nasabah (calhaj)
terkait makna isthitha'ah yang subtantif, serta pengawasan DSN MUI melalui
DPS terhadap praktik pembiayaan dana talangan haji oleh perbankan agar
tidak terjadi praktik riba dibalik dana talangan haji.
Pasalnya, berdasarkan data dan pendapat ormas Islam itu
terdapat indikasi praktik riba di dalamnya. Terkecuali realisasi dalam
menalangi biaya haji menggunakan prinsip qard. Bilamana pihak bank membantu
pengurusan dalam mendapatkan kursi haji, maka pihak bank diperbolehkan meraih
ujrah sebagai imbalannya.
Pergeseran makna isthitha'ah yang ditengarai kemampuan
secara material, spiritual, menjadi kemampuan mencicil dan melunasi utang,
maka seyogyanya umat Islam yang mendambakan beribadah ke Baitullah untuk
menabung sedikit demi sedikit. Apabila telah tiba saatnya, yakinlah Allah
Swt akan memang'gilnya ke Baitullah. Sebab, subtansi haji adalah memenuhi
panggilan Allah SWT. Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar