Jumat, 08 Maret 2013

Konflik Batin Perempuan Migran


Konflik Batin Perempuan Migran
Siti Nuryati  ;  Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB
SUARA KARYA, 08 Maret 2013



Memperingati Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret, kondisi kelam masih membalut nasib sebagian perempuan Indonesia. Kemiskinan, sulitnya lapangan kerja, atau minimnya pendapatan suami (bagi yang sudah menikah) telah mendorong perempuan menentukan pilihan. Menjadi buruh migran adalah pilihan mudah bagi sebagian perempuan.

Ironisnya, pilihan ini tak jarang membawa dampak memilukan. Jika tidak menjadi korban trafficking (perdagangan perempuan) seperti prostitusi online yang baru-baru ini terkuak dan mengagetkan publik, kemungkinan lainnya adalah menjadi korban kekerasan seperti perlakuan kasar majikan, ataupun korban 'konflik batin' akibat pilihannya meninggalkan suami dan anak di kampung halaman karena mengejar lapangan kerja sebagai buruh migran.

Trafficking berawal ketika banyak perempuan bekerja di luar negeri, baik sebagai pekerja rumah tangga (PRT) maupun buruh pabrik. Gelombang pengiriman tenaga kerja wanita (TKW), terutama yang dilakukan secara ilegal telah menyuburkan praktik perdagangan perempuan ini. Jika dicermati, mengapa trafficking dapat dengan mudah terjadi pada perempuan, hal ini disebabkan beberapa faktor. 

Disain tawaran yang sangat menggiurkan dari para pemburu korban trafficking tak jarang berhasil menjebak perempuan untuk mencobanya. Biasanya mereka mengiming-imingi calon korban berupa pekerjaan dengan gaji besar.

Kondisi perekonomian keluarga yang morat-marit, cekikan kemiskinan dan kemelaratan menjadi alasan dasar guna mencari penghasilan dan penghidupan yang lebih baik. Di samping itu, meluasnya pemalsuan dokumen oleh para calo telah turut menjerat perempuan sehingga jatuh menjadi korban sebagai komoditas perdagangan.

Selain menjadi korban trafficking ataupun korban kekerasan/penganiayaan, derita lain yang mendera para perempuan pekerja migran adalah terjadinya 'konflik batin' berupa perasaan was-was, perasaan bersalah (merasa berdosa) atas hilangnya perhatian untuk suami dan anak-anak.

Selama ini kebijakan dan strategi penempatan tenaga kerja lebih banyak berkutat pada persoalan-persoalan administratif seperti prosedur, persyaratan, mekanisme keberangkatan, ataupun ranah penempatan di sektor formal atau informal. Pembentukan Badan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BPPTKI) pun hanya berkonsentrasi pada ranah perlindungan dan penempatan. Belum ada perhatian khusus untuk melakukan pencermatan terhadap kondisi rumah tangga para pekerja migran, terutama ketika yang menjadi pekerja ke negeri orang adalah wanita yang posisinya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya.

Jika yang berangkat sebagai pekerja migran adalah laki-laki sebagai kepala rumah tangga, mungkin dampaknya bagi anak-anak tidak sehebat ketika yang berangkat adalah sang istri. Ini mengingat seorang ibu ada lah tiang utama proses pengasuhan (caring) bagi anak.

Penelitian Tanziha (2009) menggambarkan bahwa istri yang menjadi TKW akan menggeser peran dalam pencarian nafkah. Dalam keluarga yang menganut peran nafkah ada di tangan suami, kepergian istri menjadi TKW telah menurunkan jumlah suami yang tetap berperan dalam hal nafkah sebesar dari 83,6% (sebelum istri menjadi TKW) menjadi 4,6% (setelah istri menjadi TKW). Ini berarti 79% suami kehilangan peran dalam hal nafkah karena peran tersebut telah digantikan istrinya yang menjadi TKW.
Situasi seperti ini jika tidak dikelola dengan baik bisa berdampak pada munculnya berbagai konflik antara suami dan istri. Belum lagi, terjadinya kecenderungan penurunan kekuatan sosial akibat berkurangnya komunikasi di antara anggota keluarga yang ditinggal menjadi TKW.

Kondisi ini diharapkan dapat menyadarkan semua pihak, baik pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan TKW agar tak hanya berkonsentrasi kepada hal-hal yang sifatnya administratif belaka. Yang penting, justru perlunya mulai dipikirkan upaya-upaya penguatan ketahanan rumah tangga mengingat kepergian seorang wanita sebagai pekerja migran telah menggeser peran suami dari posisinya sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Sekaligus, menggeser peran wanita dari posisinya sebagai ibu yang bertanggung jawab mengasuh dan mendidik anak-anaknya. 

Pergeseran peran ini berpotensi menimbulkan dampak serius seperti konflik suami-istri yang bisa berujung pada perceraian maupun konflik batin seorang ibu yang didera perasaan bersalah karena telah meninggalkan anak-anaknya.

Karena berbagai fenomena trafficking, kekerasan serta munculnya konflik batin di kalangan perempuan pekerja migran ini lantaran kemiskinan yang membelitnya, maka pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah bagaimana menyelesaikan problem kemiskinan itu sendiri. Jika kemiskinan bisa diperangi maka kesejahteraan rakyat dapat terwujud. Kondisi hidup sejahtera tak akan membuat seseorang gampang tertipu dengan berbagai iming-iming gaji besar yang selama ini sering dijadikan modus bagi para trafficker untuk menjerat korbannya.

Pengentasan kemiskinan juga memungkinkan rakyat dapat mengecap pendidikan secara memadai yang pada gilirannya akan membuat masyarakat memiliki daya saring tinggi sehingga tak mudah terkena bujuk rayu menyesatkan seperti yang terjadi dalam berbagai kasus trafficking selama ini. Pendidikan yang memadai pun akan membuat seseorang pintar dalam mengelola informasi.

Demikian juga, pendidikan yang baik akan mampu merubah cara berpikir, juga budaya masyarakat, yang dalam kasus trafficking selama ini, cara berpikir dan budaya masyarakat cenderung membuka celah bagi berlangsungnya aksi-aksi trafficking. Penuntasan problem dasar (kemiskinan) ini menjadi penting agar tidak kontraproduktif dengan upaya-upaya penegakan hukum yang akan dilakukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar