Memperingati Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret, kondisi kelam
masih membalut nasib sebagian perempuan Indonesia. Kemiskinan, sulitnya
lapangan kerja, atau minimnya pendapatan suami (bagi yang sudah menikah)
telah mendorong perempuan menentukan pilihan. Menjadi buruh migran adalah
pilihan mudah bagi sebagian perempuan.
Ironisnya, pilihan ini tak
jarang membawa dampak memilukan. Jika tidak menjadi korban trafficking (perdagangan perempuan)
seperti prostitusi online yang baru-baru ini terkuak dan mengagetkan
publik, kemungkinan lainnya adalah menjadi korban kekerasan seperti
perlakuan kasar majikan, ataupun korban 'konflik batin' akibat pilihannya
meninggalkan suami dan anak di kampung halaman karena mengejar lapangan
kerja sebagai buruh migran.
Trafficking
berawal ketika banyak perempuan bekerja di luar negeri, baik sebagai
pekerja rumah tangga (PRT) maupun buruh pabrik. Gelombang pengiriman tenaga
kerja wanita (TKW), terutama yang dilakukan secara ilegal telah menyuburkan
praktik perdagangan perempuan ini. Jika dicermati, mengapa trafficking
dapat dengan mudah terjadi pada perempuan, hal ini disebabkan beberapa
faktor.
Disain tawaran yang sangat menggiurkan dari para pemburu korban trafficking tak jarang berhasil
menjebak perempuan untuk mencobanya. Biasanya mereka mengiming-imingi calon
korban berupa pekerjaan dengan gaji besar.
Kondisi perekonomian keluarga
yang morat-marit, cekikan kemiskinan dan kemelaratan menjadi alasan dasar
guna mencari penghasilan dan penghidupan yang lebih baik. Di samping itu,
meluasnya pemalsuan dokumen oleh para calo telah turut menjerat perempuan
sehingga jatuh menjadi korban sebagai komoditas perdagangan.
Selain menjadi korban
trafficking ataupun korban kekerasan/penganiayaan, derita lain yang mendera
para perempuan pekerja migran adalah terjadinya 'konflik batin' berupa
perasaan was-was, perasaan bersalah (merasa berdosa) atas hilangnya
perhatian untuk suami dan anak-anak.
Selama ini kebijakan dan
strategi penempatan tenaga kerja lebih banyak berkutat pada
persoalan-persoalan administratif seperti prosedur, persyaratan, mekanisme
keberangkatan, ataupun ranah penempatan di sektor formal atau informal.
Pembentukan Badan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
(BPPTKI) pun hanya berkonsentrasi pada ranah perlindungan dan penempatan.
Belum ada perhatian khusus untuk melakukan pencermatan terhadap kondisi
rumah tangga para pekerja migran, terutama ketika yang menjadi pekerja ke
negeri orang adalah wanita yang posisinya sebagai seorang istri dan ibu
bagi anak-anaknya.
Jika yang berangkat sebagai
pekerja migran adalah laki-laki sebagai kepala rumah tangga, mungkin
dampaknya bagi anak-anak tidak sehebat ketika yang berangkat adalah sang
istri. Ini mengingat seorang ibu ada lah tiang utama proses pengasuhan
(caring) bagi anak.
Penelitian Tanziha (2009)
menggambarkan bahwa istri yang menjadi TKW akan menggeser peran dalam
pencarian nafkah. Dalam keluarga yang menganut peran nafkah ada di tangan
suami, kepergian istri menjadi TKW telah menurunkan jumlah suami yang tetap
berperan dalam hal nafkah sebesar dari 83,6% (sebelum istri menjadi TKW)
menjadi 4,6% (setelah istri menjadi TKW). Ini berarti 79% suami kehilangan
peran dalam hal nafkah karena peran tersebut telah digantikan istrinya yang
menjadi TKW.
Situasi seperti ini jika tidak
dikelola dengan baik bisa berdampak pada munculnya berbagai konflik antara
suami dan istri. Belum lagi, terjadinya kecenderungan penurunan kekuatan
sosial akibat berkurangnya komunikasi di antara anggota keluarga yang
ditinggal menjadi TKW.
Kondisi ini diharapkan dapat
menyadarkan semua pihak, baik pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait
dalam pengelolaan TKW agar tak hanya berkonsentrasi kepada hal-hal yang
sifatnya administratif belaka. Yang penting, justru perlunya mulai
dipikirkan upaya-upaya penguatan ketahanan rumah tangga mengingat kepergian
seorang wanita sebagai pekerja migran telah menggeser peran suami dari
posisinya sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Sekaligus, menggeser
peran wanita dari posisinya sebagai ibu yang bertanggung jawab mengasuh dan
mendidik anak-anaknya.
Pergeseran peran ini berpotensi menimbulkan dampak
serius seperti konflik suami-istri yang bisa berujung pada perceraian
maupun konflik batin seorang ibu yang didera perasaan bersalah karena telah
meninggalkan anak-anaknya.
Karena berbagai fenomena
trafficking, kekerasan serta munculnya konflik batin di kalangan perempuan
pekerja migran ini lantaran kemiskinan yang membelitnya, maka pekerjaan
rumah yang harus diselesaikan adalah bagaimana menyelesaikan problem
kemiskinan itu sendiri. Jika kemiskinan bisa diperangi maka kesejahteraan
rakyat dapat terwujud. Kondisi hidup sejahtera tak akan membuat seseorang
gampang tertipu dengan berbagai iming-iming gaji besar yang selama ini
sering dijadikan modus bagi para trafficker
untuk menjerat korbannya.
Pengentasan kemiskinan juga
memungkinkan rakyat dapat mengecap pendidikan secara memadai yang pada
gilirannya akan membuat masyarakat memiliki daya saring tinggi sehingga tak
mudah terkena bujuk rayu menyesatkan seperti yang terjadi dalam berbagai
kasus trafficking selama ini.
Pendidikan yang memadai pun akan membuat seseorang pintar dalam mengelola
informasi.
Demikian juga, pendidikan yang
baik akan mampu merubah cara berpikir, juga budaya masyarakat, yang dalam
kasus trafficking selama ini,
cara berpikir dan budaya masyarakat cenderung membuka celah bagi
berlangsungnya aksi-aksi trafficking. Penuntasan problem dasar (kemiskinan)
ini menjadi penting agar tidak kontraproduktif dengan upaya-upaya penegakan
hukum yang akan dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar