Kematian Hugo Chavez menyisakan
kepedihan yang sangat mendalam bagi rakyat Venezuela dan dunia. Ratusan
orang berkumpul di depan rumah sakit militer di Karakas, tempat terakhir
Chavez dirawat. Chavez sebelumnya berada dalam kondisi kritis akibat
menderita kanker ganas yang dialaminya. Pada Oktober 2012, Chavez baru
memenangi perpanjangan masa jabatan melalui Pemilu Presiden.
Bagaimanapun, masyarakat dunia
berharap kepemimpinan yang berani seperti Chavez atau sekelasnya untuk
menandingi kecongkakan Negeri Paman Sam. Mantan pemimpin anti-Amerika itu
bahkan berjanji akan "memperkuat
sosialisme pada abad 21". Pada ranah politik global, Chavez adalah
kutub penyeimbang bagi hegemoni kapitalisme dan Amerika Serikat. Sebuah
kekuatan tunggal yang merasuk ke dalam akar-akar globalisme tetaplah tidak
sehat bagi keseimbangan tata pemerintahan dunia.
Dibawah kepemimpinan Chavez,
perusahaan minyak nasional Venezuela Petroleos de Venezuela SA (PDVSA) pernah
memenangkan gugatan pada pengadilan internasional atas proyek-proyek minyak
di negeri itu dengan perusahaan minyak multinasional ExxonMobil, perusahaan
minyak AS.
Pemerintah Venezuela berani membayar 255 juta dolar AS sebagai ganti rugi aset-aset
ladang minyak yang dinasionalisasi. Sebelumnya, beberapa ladang minyak di
Venezuela dimiliki ExxonMobil. Dengan keputusan pengadilan internasional
itu, Venezuela seakan mendepak ExxonMobil dari negeri itu.
Pemerintah Indonesia harusnya
berani mengambil langkah penting, seperti Venezuela untuk mendepak perusahaan-perusahaan
asing dan menasionalisasikannya. Seperti kita tahu, di negeri ini banyak
perusahaan asing yang telah mengeruk kekayaan alam Indonesia, sebaliknya
tak memberi arti cukup penting bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan domestik.
Tak hanya minyak, seperti ExxonMobil yang ada di Papua Barat, tapi juga
pertambangan. Ada banyak perusahaan asing di Indonesia, baik di
pertambangan, telekomunikasi, maupun perkebunan.
Keberanian Venezuela mendepak
perusahaan-perusahaan asing tak lain karena sikap tegas Hugo Chavez yang
menolak menandatangani sejumlah traktat penting kerja sama ekonomi antara
perusahaan-perusahaan milik AS di Venezuela. Alasannya, karena selama ini
perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk sumber daya alam saja dan tak
memedulikan dampak lingkungan serta tak memberi kesejahteraan pada penduduk
lokal.
Kebijakan Chavez yang
antiliberal bukanlah tindakan individu dia sebagai seorang pemimpin. Tapi,
kebijakan itu didukung sepenuhnya oleh mayoritas rakyat Venezuela. Hal itu
menyimbolkan bahwa kuatnya arus antiliberalisme sudah tak terbendung lagi.
Di sisi lain, fenomena itu juga menyimbolkan kekuatan sosialisme baru di
Venezuela, sebuah kekuatan people
power yang dikendalikan dan diarahkan oleh seorang pemimpin negara yang
prorakyat.
Sosialisme baru (neososialisme)
itu berbeda dengan fenomena sosialisme yang sebelumnya juga pernah terjadi
di negara-negara Amerika latin pada umumnya. Di Cile, misalnya, pada dekade
90-an dipimpin oleh Presiden yang berideologi sosialis, tapi cenderung bersifat
top down. Sosialisme pada tataran
itu banyak menimbulkan pertumpahan darah dan bermunculannya sejumlah fenomena
kekerasan yang melibatkan rakyat Cile sendiri. Karena kebijakan itu
dipaksakan dan tidak sesuai dengan keinginan bersama, sehingga menimbulkan
huru-hara sosial.
Selain itu, contoh lain
sosialisme yang bersifat top down
yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan terdapat dalam
gerakan-gerakan sosial di Amerika Latin. Mereka bergerak diluar komponen
negara atau dengan kata lain mereka menjadi oposisi negara yang terlibat
dalam perselingkuhan dengan praktik ekonomi liberal.
Karena cenderung digerakan oleh
rakyat, gerakan sosialisme selama ini memang terstigma negatif disebabkan
telah terjadi arus gerakan perlawanan terhadap tirani penguasa maupun eko
nomi yang berbasis pada land re- form. Sosialisme identik dengan cara-cara
kekerasan, konservatisme sosial, antidiplomasi. Ia juga identik tidak
prodemokratisasi. Tapi, dalam perkembangan sosialisme kontemporer
(neososialisme), sosialisme mulai ditafsir kembali menjadi prodemokratisasi
(sosial demokrat), prohumanisme, dan mencintai persaudaraan serta
perdamaian.
Pelajaran bagi Indonesia
Ditengah gencarnya gerakan
neososialis, terutama kini yang melanda negara-negara Amerika Latin, pada
saat bersamaan kita melihat fenomena yang berlainan di negara kita sendiri
Indonesia. Saat ini, pemerintah Indonesia sudah membuka kebijakan
deregulasi ekonomi, sebuah program ekonomi pemerintah yang membuka selebar-lebarnya
pasar dan investor asing.
Padahal, kita melihat sendiri
perusahaan-perusahaan asing itu persis apa yang sudah ditolak di Venezuela
karena telah merusak ekosistem dan pada saat bersamaan
perusahaan-perusahaan itu tak banyak memberi manfaat dan kesejahteraan pada
masyarakat lokal. Mestinya, kini pemerintah mempertimbangkan lagi
eksistensi perusahaan-perusahaan asing itu, bukan malah ingin menambah
kuota, seperti dalam kebijakan deregulasi ekonomi dengan cara membuka
kemungkinan pasar yang seluas-luasnya.
Kini, bangsa Indonesia tinggal
menunggu hasil dari kebijakan deregulasi ekonomi dalam pemerintahan SBY
yang jelas akan merugikan, baik bagi negara maupun rakyat. Karena,
sebelumnya kebijakan serupa sudah dicoba tim ekonomi Orde Baru yang
terkenal dengan Mafia Berkeley Sumitro cs. Ketika itu, kesejahteraan tidak
terjadi. Justru utang yang menumpuk, kerusakan ekosistem, dan rakyat
tertindas akibat pembangunan. Tapi, mengapa pemerintahan kini mau mengulang
kesalahan masa lalu? Bukannya mengambil pelajaran positif darinya untuk masa
depan bangsa Indonesia yang lebih baik lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar