Sabtu, 09 Maret 2013

Chavez dan Sosialisme


Chavez dan Sosialisme
Ismatillah A Nu’ad  ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas Paramadina, Jakarta
REPUBLIKA, 08 Maret 2013


Kematian Hugo Chavez menyisakan kepedihan yang sangat mendalam bagi rakyat Venezuela dan dunia. Ratusan orang berkumpul di depan rumah sakit militer di Karakas, tempat terakhir Chavez dirawat. Chavez sebelumnya berada dalam kondisi kritis akibat menderita kanker ganas yang dialaminya. Pada Oktober 2012, Chavez baru memenangi perpanjangan masa jabatan melalui Pemilu Presiden.

Bagaimanapun, masyarakat dunia berharap kepemimpinan yang berani seperti Chavez atau sekelasnya untuk menandingi kecongkakan Negeri Paman Sam. Mantan pemimpin anti-Amerika itu bahkan berjanji akan "memperkuat sosialisme pada abad 21". Pada ranah politik global, Chavez adalah kutub penyeimbang bagi hegemoni kapitalisme dan Amerika Serikat. Sebuah kekuatan tunggal yang merasuk ke dalam akar-akar globalisme tetaplah tidak sehat bagi keseimbangan tata pemerintahan dunia. 

Dibawah kepemimpinan Chavez, perusahaan minyak nasional Venezuela Petroleos de Venezuela SA (PDVSA) pernah memenangkan gugatan pada pengadilan internasional atas proyek-proyek minyak di negeri itu dengan perusahaan minyak multinasional ExxonMobil, perusahaan minyak AS.
Pemerintah Venezuela berani membayar 255 juta dolar AS sebagai ganti rugi aset-aset ladang minyak yang dinasionalisasi. Sebelumnya, beberapa ladang minyak di Venezuela dimiliki ExxonMobil. Dengan keputusan pengadilan internasional itu, Venezuela seakan mendepak ExxonMobil dari negeri itu.

Pemerintah Indonesia harusnya berani mengambil langkah penting, seperti Venezuela untuk mendepak perusahaan-perusahaan asing dan menasionalisasikannya. Seperti kita tahu, di negeri ini banyak perusahaan asing yang telah mengeruk kekayaan alam Indonesia, sebaliknya tak memberi arti cukup penting bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan domestik. Tak hanya minyak, seperti ExxonMobil yang ada di Papua Barat, tapi juga pertambangan. Ada banyak perusahaan asing di Indonesia, baik di pertambangan, telekomunikasi, maupun perkebunan.

Keberanian Venezuela mendepak perusahaan-perusahaan asing tak lain karena sikap tegas Hugo Chavez yang menolak menandatangani sejumlah traktat penting kerja sama ekonomi antara perusahaan-perusahaan milik AS di Venezuela. Alasannya, karena selama ini perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk sumber daya alam saja dan tak memedulikan dampak lingkungan serta tak memberi kesejahteraan pada penduduk lokal. 

Kebijakan Chavez yang antiliberal bukanlah tindakan individu dia sebagai seorang pemimpin. Tapi, kebijakan itu didukung sepenuhnya oleh mayoritas rakyat Venezuela. Hal itu menyimbolkan bahwa kuatnya arus antiliberalisme sudah tak terbendung lagi. Di sisi lain, fenomena itu juga menyimbolkan kekuatan sosialisme baru di Venezuela, sebuah kekuatan people power yang dikendalikan dan diarahkan oleh seorang pemimpin negara yang prorakyat. 

Sosialisme baru (neososialisme) itu berbeda dengan fenomena sosialisme yang sebelumnya juga pernah terjadi di negara-negara Amerika latin pada umumnya. Di Cile, misalnya, pada dekade 90-an dipimpin oleh Presiden yang berideologi sosialis, tapi cenderung bersifat top down. Sosialisme pada tataran itu banyak menimbulkan pertumpahan darah dan bermunculannya sejumlah fenomena kekerasan yang melibatkan rakyat Cile sendiri. Karena kebijakan itu dipaksakan dan tidak sesuai dengan keinginan bersama, sehingga menimbulkan huru-hara sosial.

Selain itu, contoh lain sosialisme yang bersifat top down yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan terdapat dalam gerakan-gerakan sosial di Amerika Latin. Mereka bergerak diluar komponen negara atau dengan kata lain mereka menjadi oposisi negara yang terlibat dalam perselingkuhan dengan praktik ekonomi liberal. 

Karena cenderung digerakan oleh rakyat, gerakan sosialisme selama ini memang terstigma negatif disebabkan telah terjadi arus gerakan perlawanan terhadap tirani penguasa maupun eko nomi yang berbasis pada land re- form. Sosialisme identik dengan cara-cara kekerasan, konservatisme sosial, antidiplomasi. Ia juga identik tidak prodemokratisasi. Tapi, dalam perkembangan sosialisme kontemporer (neososialisme), sosialisme mulai ditafsir kembali menjadi prodemokratisasi (sosial demokrat), prohumanisme, dan mencintai persaudaraan serta perdamaian. 

Pelajaran bagi Indonesia

Ditengah gencarnya gerakan neososialis, terutama kini yang melanda negara-negara Amerika Latin, pada saat bersamaan kita melihat fenomena yang berlainan di negara kita sendiri Indonesia. Saat ini, pemerintah Indonesia sudah membuka kebijakan deregulasi ekonomi, sebuah program ekonomi pemerintah yang membuka selebar-lebarnya pasar dan investor asing. 

Padahal, kita melihat sendiri perusahaan-perusahaan asing itu persis apa yang sudah ditolak di Venezuela karena telah merusak ekosistem dan pada saat bersamaan perusahaan-perusahaan itu tak banyak memberi manfaat dan kesejahteraan pada masyarakat lokal. Mestinya, kini pemerintah mempertimbangkan lagi eksistensi perusahaan-perusahaan asing itu, bukan malah ingin menambah kuota, seperti dalam kebijakan deregulasi ekonomi dengan cara membuka kemungkinan pasar yang seluas-luasnya.

Kini, bangsa Indonesia tinggal menunggu hasil dari kebijakan deregulasi ekonomi dalam pemerintahan SBY yang jelas akan merugikan, baik bagi negara maupun rakyat. Karena, sebelumnya kebijakan serupa sudah dicoba tim ekonomi Orde Baru yang terkenal dengan Mafia Berkeley Sumitro cs. Ketika itu, kesejahteraan tidak terjadi. Justru utang yang menumpuk, kerusakan ekosistem, dan rakyat tertindas akibat pembangunan. Tapi, mengapa pemerintahan kini mau mengulang kesalahan masa lalu? Bukannya mengambil pelajaran positif darinya untuk masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik lagi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar