Setiap 8 Maret, komunitas
pergerakan perempuan mengenalnya sebagai Hari Perempuan Internasional. Sebuah
peringatan atas penegakan hak-hak sipil dan politik perempuan yang pernah
diperjuangkan oleh pergerakan perempuan di Amerika dan beberapa negara
Eropa sejak tahun-tahun pertama abad XIX.
Partai Sosialis Amerika boleh disebut pencetus gerakan ini. Partai ini mengusulkan
agar hari terakhir Februari dijadikan hari demonstrasi untuk persamaan hak
politik perempuan, khususnya hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Dari sini, muncul solidaritas global dan aksi yang lebih terorganisasi di
kalangan aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak-hak politik.
Gerakan yang lebih
terorganisasi ini kemudian memunculkan Deklarasi Copenhagen pada 1910.
Isinya, menyerukan bersatunya perempuan sedunia untuk memperjuangkan
persamaan hak-haknya dan anak-anak untuk pembebasan nasional dan
perdamaian.
Satu tahun setelah Deklarasi Copenhagen,
pada 19 Maret 1911 Hari Perempuan Internasional diperingati kali pertama
oleh beberapa negara Eropa, seperti Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss.
Kala itu, lebih dari sejuta perempuan dan laki-laki turun ke jalan menuntut
persamaan hak bagi kaum perempuan, penghapusan diskriminasi, dan persamaan
hak-hak sipil lain.
Mungkin yang paling dramatis
adalah aksi pergerakan perempuan di Rusia pada minggu terakhir Februari
1917. Sebab, empat hari setelah aksi tersebut digelar, Czar (raja)
turun takhta dan pemerintahan sementara mengakui hak perempuan untuk ikut
dalam pemilu. Momentum bersejarah ini jatuh pada 23 Februari di Kalender
Julian yang digunakan di Rusia atau 8 Maret menurut Kalender Gregorian atau
Masehi. Sejak itu, Hari Perempuan Internasional diperingati pada tanggal
tersebut.
Di Tanah Air, Hari Perempuan Internasional
tampaknya tidak terlalu populer kecuali oleh beberapa kelompok aktivis
perempuan. Walaupun PBB pernah menyerukan kepada komunitas internasional
agar membuat satu hari sebagai peringatan Hari PBB untuk Hak Asasi
Perempuan dan Hari Perdamaian Dunia (PBB sejak 1978 menetapkan 8 Maret
dalam daftar hari libur resmi)
tidak ada dalam sistem penanggalan nasional yang memuat peringatan Hari
Perempuan Internasional.
Menurut Susan Basow dalam Gender: Stereotypes and Roles
(1993), pembagian kerja yang kita warisi sejak peradaban agraris, lelaki
mendapatkan peran publik dan perempuan mendapatkan peran domestik.
Masalahnya, ketika perempuan memasuki sektor publik, lalu siapa yang
menggantikannya di sektor domestik? Tidak ada. Betapa pun sibuknya
perempuan di sektor publik, masyarakat tetap menuntut agar ia bertanggung
jawab di sektor domestik.
Menjadi perempuan bukan hanya
berpikir dalam lingkup kecil rumah tangganya, tetapi juga menjadi pemikir
bagi bangsanya. Itulah sebenarnya makna sejati dari perjuangan politik,
berpikir untuk bangsa, rakyat, cita-cita negara, dan untuk keberlangsungan
masyarakat. Kekuatan perempuan bisa menjadi salah satu sayap dari
Garuda, Bhinneka Tunggal Ika, yang terbang membahana membawa citra
cemerlang negara dan bangsanya. Tetapi, sejarah bukan hanya mencatat
perjuangan hebat perempuan. Sejarah juga mencatat masa panjang di mana
kaum perempuan diposisikan kembali dalam peran domestiknya.
Seiring dengan semboyan "Politik No, Ekonomi, Yes,"
hampir seluruh organisasi perempuan menjadi tabu terhadap persoalan
politik. Persatuan dalam federasi menjadi menakutkan karena kekuatan
perempuan akan menjadi nilai tawar tersendiri. Maka, federasi harus
diubah menjadi keanggotaan individu yang diutus oleh organisasi, membuat
mereka tak punya nilai tawar sama sekali.
Pembebasan perempuan selamanya
akan menjadi cita-cita dan tujuan yang hendak direngkuh setiap pergerakan
perempuan, apa pun perspektif dan pendekatannya. Masyarakat boleh saja
menyatakan, kehidupan perempuan saat ini jauh lebih baik dari masa lalu. Artinya,
perempuan telah mendapatkan kebebasan untuk meraih posisi publik.
Ukuran kuantitatif semacam itu
tidak ditolak. Tetapi, tidak pula dibantah bahwa untuk mencapai posisi
tertentu ada yang harus dikorbankan perempuan.
Perempuan hampir pasti dihadapkan kepada pilihan tertentu dan keputusannya
untuk memilih tidak boleh lepas dari peran domestiknya. Sekali perempuan
abai terhadap kewajiban domestiknya, ia harus siap dipersalahkan dan
dicampakkan (Maya Yudayanti, 2006). Secara kultural dan struktural,
perempuan masih berhadapan dengan realitas misoginis yang begitu sistemik dan hegemonik di ranah publik.
Pada tataran praksis, kaum perempuan
tak pernah lelah bergerak memperjuangkan eksistensinya. Sementara, secara
kelembagaan negara telah memberi lahan bagi pemberdayaan perempuan melalui
kementerian pemberdayaan perempuan dan komisi perempuan. Tapi, mengapa
semua landasan itu belum berhasil menjadi pijakan faktual bagi eksistensi
perempuan, justru di tengah reformasi dan demokrasi dirayakan.
John Naisbitt dan Patricia
Aburdene mengatakan bahwa abad XXI adalah abad kebangkitan perempuan atau
pakar manajemen Tom Peters mengatakan, tomorrow
belongs to women. Perempuan harus mampu memainkan peran dan tugas utamanya
sebagai wanita yang sesungguhnya. Tak hanya urusan domestik, tapi juga masa
depan bangsanya. Momentum Hari Perempuan Internasional ini adalah saat yang
tepat untuk berefleksi. Kita berharap agar segera ada perbaikan dalam
tataran keluarga, masyarakat, dan negara. Perempuan bukan sekadar simbol
domestikasi, tetapi sumber inspirasi masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar