Sabtu, 09 Maret 2013

Perempuan Sumber Inspirasi


Perempuan Sumber Inspirasi
Sutrisno  ;  Mahasiswa Pascasarjana (S2)
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
REPUBLIKA, 08 Maret 2013


Setiap 8 Maret, komunitas pergerakan perempuan mengenalnya sebagai Hari Perempuan Internasional. Sebuah peringatan atas penegakan hak-hak sipil dan politik perempuan yang pernah diperjuangkan oleh pergerakan perempuan di Amerika dan beberapa negara Eropa sejak tahun-tahun pertama abad XIX.
Partai Sosialis Amerika boleh disebut pencetus gerakan ini. Partai ini mengusulkan agar hari terakhir Februari dijadikan hari demonstrasi untuk persamaan hak politik perempuan, khususnya hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Dari sini, muncul solidaritas global dan aksi yang lebih terorganisasi di kalangan aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak-hak politik.

Gerakan yang lebih terorganisasi ini kemudian memunculkan Deklarasi Copenhagen pada 1910. Isinya, menyerukan bersatunya perempuan sedunia untuk memperjuangkan persamaan hak-haknya dan anak-anak untuk pembebasan nasional dan perdamaian.

Satu tahun setelah Deklarasi Copenhagen, pada 19 Maret 1911 Hari Perempuan Internasional diperingati kali pertama oleh beberapa negara Eropa, seperti Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss. Kala itu, lebih dari sejuta perempuan dan laki-laki turun ke jalan menuntut persamaan hak bagi kaum perempuan, penghapusan diskriminasi, dan persamaan hak-hak sipil lain.

Mungkin yang paling dramatis adalah aksi pergerakan perempuan di Rusia pada minggu terakhir Februari 1917. Sebab, empat hari setelah aksi tersebut digelar, Czar (raja) turun takhta dan pemerintahan sementara mengakui hak perempuan untuk ikut dalam pemilu. Momentum bersejarah ini jatuh pada 23 Februari di Kalender Julian yang digunakan di Rusia atau 8 Maret menurut Kalender Gregorian atau Masehi. Sejak itu, Hari Perempuan Internasional diperingati pada tanggal tersebut.

Di Tanah Air, Hari Perempuan Internasional tampaknya tidak terlalu populer kecuali oleh beberapa kelompok aktivis perempuan. Walaupun PBB pernah menyerukan kepada komunitas internasional agar membuat satu hari sebagai peringatan Hari PBB untuk Hak Asasi Perempuan dan Hari Perdamaian Dunia (PBB sejak 1978 menetapkan 8 Maret dalam daftar hari libur resmi)
tidak ada dalam sistem penanggalan nasional yang memuat peringatan Hari Perempuan Internasional.

Menurut Susan Basow dalam Gender: Stereotypes and Roles (1993), pembagian kerja yang kita warisi sejak peradaban agraris, lelaki mendapatkan peran publik dan perempuan mendapatkan peran domestik. Masalahnya, ketika perempuan memasuki sektor publik, lalu siapa yang menggantikannya di sektor domestik? Tidak ada. Betapa pun sibuknya perempuan di sektor publik, masyarakat tetap menuntut agar ia bertanggung jawab di sektor domestik.

Menjadi perempuan bukan hanya berpikir dalam lingkup kecil rumah tangganya, tetapi juga menjadi pemikir bagi bangsanya. Itulah sebenarnya makna sejati dari perjuangan politik, berpikir untuk bangsa, rakyat, cita-cita negara, dan untuk keberlangsungan masyarakat. Kekuatan perempuan bisa menjadi salah satu sayap dari Garuda, Bhinneka Tunggal Ika, yang terbang membahana membawa citra cemerlang negara dan bangsanya. Tetapi, sejarah bukan hanya mencatat perjuangan hebat perempuan. Sejarah juga mencatat masa panjang di mana kaum perempuan diposisikan kembali dalam peran domestiknya.

Seiring dengan semboyan "Politik No, Ekonomi, Yes," hampir seluruh organisasi perempuan menjadi tabu terhadap persoalan politik. Persatuan dalam federasi menjadi menakutkan karena kekuatan perempuan akan menjadi nilai tawar tersendiri. Maka, federasi harus diubah menjadi keanggotaan individu yang diutus oleh organisasi, membuat mereka tak punya nilai tawar sama sekali.

Pembebasan perempuan selamanya akan menjadi cita-cita dan tujuan yang hendak direngkuh setiap pergerakan perempuan, apa pun perspektif dan pendekatannya. Masyarakat boleh saja menyatakan, kehidupan perempuan saat ini jauh lebih baik dari masa lalu. Artinya, perempuan telah mendapatkan kebebasan untuk meraih posisi publik.

Ukuran kuantitatif semacam itu tidak ditolak. Tetapi, tidak pula dibantah bahwa untuk mencapai posisi tertentu ada yang harus dikorbankan perempuan.
Perempuan hampir pasti dihadapkan kepada pilihan tertentu dan keputusannya untuk memilih tidak boleh lepas dari peran domestiknya. Sekali perempuan abai terhadap kewajiban domestiknya, ia harus siap dipersalahkan dan dicampakkan (Maya Yudayanti, 2006). Secara kultural dan struktural, perempuan masih berhadapan dengan realitas misoginis yang begitu sistemik dan hegemonik di ranah publik.

Pada tataran praksis, kaum perempuan tak pernah lelah bergerak memperjuangkan eksistensinya. Sementara, secara kelembagaan negara telah memberi lahan bagi pemberdayaan perempuan melalui kementerian pemberdayaan perempuan dan komisi perempuan. Tapi, mengapa semua landasan itu belum berhasil menjadi pijakan faktual bagi eksistensi perempuan, justru di tengah reformasi dan demokrasi dirayakan. 

John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa abad XXI adalah abad kebangkitan perempuan atau pakar manajemen Tom Peters mengatakan, tomorrow belongs to women. Perempuan harus mampu memainkan peran dan tugas utamanya sebagai wanita yang sesungguhnya. Tak hanya urusan domestik, tapi juga masa depan bangsanya. Momentum Hari Perempuan Internasional ini adalah saat yang tepat untuk berefleksi. Kita berharap agar segera ada perbaikan dalam tataran keluarga, masyarakat, dan negara. Perempuan bukan sekadar simbol domestikasi, tetapi sumber inspirasi masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar