Rabu, 13 Maret 2013

Bersatire agar Tak Gila


Bersatire agar Tak Gila
Darminto M Sudarmo   Mantan Pemimpin Redaksi Majalah HumOr
JAWA POS, 13 Maret 2013

  
SALAH satu lelucon paling panas dan menyengat adalah satire. Meski demikian, sepanas dan setajam apa pun, satire tidak akan berpengaruh apa-apa bagi sejumlah elite penguasa maupun pejabat publik bermasalah masa kini. Mereka telah memiliki alat penangkal yang amat canggih dan mustajab. Namanya muka tebal.

''Lelucon menggonggong, masalah tetap berlalu''. Sebab, kenyataannya, masyarakat kita mudah melupakan, mudah terpesona oleh hal-hal yang serbabaru. Mari kita lihat di bidang politik. Mulai pemilukada, konsolidasi partai, lobi-lobi, tawar-menawar posisi, pemetaan ancaman dan peluang, penyiapan strategi, hingga banyak lagi lainnya, semua begitu tumplek bleg jadi satu dan berebut prioritas.

Hiruk-pikuk kasus korupsi, prahara di partai politik, bab-bab lanjutan perang urat saraf antara Anas Urbaningrum dan pihak yang disebutnya para Sengkuni atau Cikeas sekalipun, hingga tuntutan kejelasan siapa pihak di balik kebocoran sprindik kepada KPK ikut riuh. Itu bisa membingungkan dan bikin pening orientasi. Bagi kita, para pencinta humor, kita ramaikan situasi itu dengan tertawa dan menertawakan apa yang ada. Begitu saja, agar kita tidak ikut-ikutan gila!

Sebenarnya, dinamika politik itu sehat. Aneka trik, manuver, dan strategi politisi untuk memikat publik luas juga sah-sah saja, sejauh masih dalam koridor etika kepatutan umum dan asas fairness. Politik menjadi ternoda, kotor, dan dicemooh ketika ingkar dari terminologi dasarnya yang netral. Makin mencemaskan lagi ketika ditengarai kepercayaan masyarakat terlihat mulai surut dan skeptis.

Di berbagai negara maju, kegaduhan politik itu selalu menarik perhatian para humoris. Tak terkecuali di negeri kita. Para penulis opini pendek (status), kolom, kartun opini, foto/gambar opini, dan aneka komentar tajam di berbagai jejaring sosial bertaburan. Ada yang halus (pasemon), ada yang satire (agak dalam dan serius), hingga ada pula yang sangat kasar (sarkastis). Itu termuat secara instan, hanya berselang menit atau detik dari publikasi terbuka di berbagai media umum.

Partisipasi para humoris dan peminat humor tersebut -betapapun sarkastisnya- tetap lebih sehat jika dibanding reaksi anarkistis masyarakat yang mengumbar agresivitas. Sebab, hakikatnya, salah satu fungsi lelucon adalah mengeliminasi agresivitas yang berlebihan. Itu sungguh menarik. Merujuk George Orwell, ''Tujuan lelucon tidak untuk menurunkan derajat manusia, tetapi untuk sekadar mengingatkan bahwa mereka sudah terdegradasi.''

Berbicara tentang politik tentu tidak dapat mengabaikan peran politisi. Sesungguhnya, politisi itu makhluk seperti apa di mata para humoris? Berikut komentar (lelucon) mereka tentang politisi.

''Politisi buruk adalah sekelompok politikus yang hanya sibuk memperkaya diri dan golongannya, sedangkan politisi baik adalah sekelompok politikus yang belum ketahuan kedok atau belangnya.''

Ketika mereka ditanya tentang tokoh-tokoh dan pemimpin besar dalam sejarah, ''Apakah itu berarti mereka juga penjahat yang belum terbuka kedoknya?'', spontan dijawab, ''Mereka bukan politisi baik, tetapi negarawan tulen.''

Sulit dihindari munculnya citra miring tentang politisi karena sepak terjangnya yang khas dan cenderung bebal. ''Politikus itu sama saja dengan popok bayi. Keduanya harus diganti secara teratur untuk tujuan dan alasan yang sama.''

Kasus-kasus korupsi juga menjadi biang kegaduhan politik. Kasus korupsi yang terkait dengan simulator SIM yang membuat Irjen Pol Djoko Susilo menjadi tersangka dan istri mudanya Dipta Anindhita dipanggil KPK langsung menggelitik humoris untuk meluncurkan leluconnya: ''Di balik setiap pria sukses selalu ada seorang wanita di belakangnya. Di balik setiap pria sukses yang jatuh, selalu ada wanita lain di belakangnya.''

Tentang koruptor-koruptor ''religius'', itu juga bukan isu baru. Modus yang mereka pakai juga merupakan fenomena universal di berbagai negara. Salah satu lelucon pendek (oneliner) yang ditulis humoris asing menyiratkan semangat tersebut. Bahwa sejak kecil pun, seorang bocah sekalipun, sudah memulai bersiasat agar kesalahannya terkesan cair dan menjadi sosok yang innocence karena telah melakukan hal yang dianggapnya religius: ''I asked God for a bike, but I know God doesn't work that way. So I stole a bike and asked for forgiveness'' (Saya minta sepeda kepada Tuhan, tapi saya tahu Tuhan tak bisa langsung memberikan. Maka saya curi sepeda dan mohon pengampunan).

Pepatah lama yang menyebut-nyebut ''tikus'' sebagai metafora koruptor menyatakan, ''The early bird might get the worm, but the second mouse gets the cheese.'' (Burung yang datang meraih ulat, tapi tikus kedua dapat keju).

Mengapa para pelaku korupsi dapat bersikap tenang bahkan berani bersumpah secara meyakinkan dengan ekspresi datar tanpa dosa? Tidak perlu kaget. Di sinilah para pelaku korupsi memainkan bahasa tubuh mereka secara rileks dan nyaman, apalagi bila mereka berjenis kelamin laki-laki. Pepatah lama saja menyatakan, ''Women might be able to fake orgasms. But men can fake a whole relationship'' (Wanita mungkin bisa melakukan orgasme palsu, tapi lelaki bisa memalsukan seluruh hubungan).

Nasihat Gene Perret, untuk membangkitkan rasa humor yang baik, kita perlu mengasah tiga hal. Pertama, mengasah kemampuan untuk melihat. Kedua, mengasah kemampuan untuk mengakui. Ketiga, mengasah kemampuan untuk menerima fakta sebagaimana adanya. Dengan demikian, rasa humor dapat menjernihkan pikiran dan membebaskan kita dari prasangka-prasangka yang membebani. 
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar