SALAH satu lelucon paling panas dan menyengat adalah satire.
Meski demikian, sepanas dan setajam apa pun, satire tidak akan berpengaruh
apa-apa bagi sejumlah elite penguasa maupun pejabat publik bermasalah masa
kini. Mereka telah memiliki alat penangkal yang amat canggih dan mustajab.
Namanya muka tebal.
''Lelucon
menggonggong, masalah tetap berlalu''. Sebab, kenyataannya, masyarakat kita
mudah melupakan, mudah terpesona oleh hal-hal yang serbabaru. Mari kita
lihat di bidang politik. Mulai pemilukada, konsolidasi partai, lobi-lobi,
tawar-menawar posisi, pemetaan ancaman dan peluang, penyiapan strategi,
hingga banyak lagi lainnya, semua begitu tumplek bleg jadi satu dan berebut prioritas.
Hiruk-pikuk
kasus korupsi, prahara di partai politik, bab-bab lanjutan perang urat
saraf antara Anas Urbaningrum dan pihak yang disebutnya para Sengkuni atau
Cikeas sekalipun, hingga tuntutan kejelasan siapa pihak di balik kebocoran
sprindik kepada KPK ikut riuh. Itu bisa membingungkan dan bikin pening
orientasi. Bagi kita, para pencinta humor, kita ramaikan situasi itu dengan
tertawa dan menertawakan apa yang ada. Begitu saja, agar kita tidak
ikut-ikutan gila!
Sebenarnya,
dinamika politik itu sehat. Aneka trik, manuver, dan strategi politisi
untuk memikat publik luas juga sah-sah saja, sejauh masih dalam koridor
etika kepatutan umum dan asas fairness. Politik
menjadi ternoda, kotor, dan dicemooh ketika ingkar dari terminologi
dasarnya yang netral. Makin mencemaskan lagi ketika ditengarai kepercayaan
masyarakat terlihat mulai surut dan skeptis.
Di berbagai
negara maju, kegaduhan politik itu selalu menarik perhatian para humoris.
Tak terkecuali di negeri kita. Para penulis opini pendek (status), kolom,
kartun opini, foto/gambar opini, dan aneka komentar tajam di berbagai
jejaring sosial bertaburan. Ada yang halus (pasemon), ada yang
satire (agak dalam dan serius), hingga ada
pula yang sangat kasar (sarkastis). Itu termuat secara instan, hanya berselang
menit atau detik dari publikasi terbuka di berbagai media umum.
Partisipasi
para humoris dan peminat humor tersebut -betapapun sarkastisnya- tetap
lebih sehat jika dibanding reaksi anarkistis masyarakat yang mengumbar
agresivitas. Sebab, hakikatnya, salah satu fungsi lelucon adalah
mengeliminasi agresivitas yang berlebihan. Itu sungguh menarik. Merujuk
George Orwell, ''Tujuan lelucon tidak untuk menurunkan derajat manusia,
tetapi untuk sekadar mengingatkan bahwa mereka sudah terdegradasi.''
Berbicara
tentang politik tentu tidak dapat mengabaikan peran politisi. Sesungguhnya,
politisi itu makhluk seperti apa di mata para humoris? Berikut komentar
(lelucon) mereka tentang politisi.
''Politisi
buruk adalah sekelompok politikus yang hanya sibuk memperkaya diri dan
golongannya, sedangkan politisi baik adalah sekelompok politikus yang belum
ketahuan kedok atau belangnya.''
Ketika mereka
ditanya tentang tokoh-tokoh dan pemimpin besar dalam sejarah, ''Apakah itu
berarti mereka juga penjahat yang belum terbuka kedoknya?'', spontan
dijawab, ''Mereka bukan politisi baik, tetapi negarawan tulen.''
Sulit dihindari
munculnya citra miring tentang politisi karena sepak terjangnya yang khas
dan cenderung bebal. ''Politikus itu sama saja dengan popok bayi. Keduanya
harus diganti secara teratur untuk tujuan dan alasan yang sama.''
Kasus-kasus
korupsi juga menjadi biang kegaduhan politik. Kasus korupsi yang terkait
dengan simulator SIM yang membuat Irjen Pol Djoko Susilo menjadi tersangka
dan istri mudanya Dipta Anindhita dipanggil KPK langsung menggelitik
humoris untuk meluncurkan leluconnya: ''Di balik setiap pria sukses selalu
ada seorang wanita di belakangnya. Di balik setiap pria sukses yang jatuh,
selalu ada wanita lain di belakangnya.''
Tentang
koruptor-koruptor ''religius'', itu juga bukan isu baru. Modus yang mereka
pakai juga merupakan fenomena universal di berbagai negara. Salah satu
lelucon pendek (oneliner) yang ditulis humoris asing menyiratkan
semangat tersebut. Bahwa sejak kecil pun, seorang bocah sekalipun, sudah
memulai bersiasat agar kesalahannya terkesan cair dan menjadi sosok yang innocence karena telah melakukan hal yang
dianggapnya religius: ''I asked God for a bike, but I know God doesn't work that
way. So I stole a bike and asked for forgiveness'' (Saya minta
sepeda kepada Tuhan, tapi saya tahu Tuhan tak bisa langsung memberikan.
Maka saya curi sepeda dan mohon pengampunan).
Pepatah lama
yang menyebut-nyebut ''tikus'' sebagai metafora koruptor menyatakan, ''The early bird might get
the worm, but the second mouse gets the cheese.'' (Burung yang
datang meraih ulat, tapi tikus kedua dapat keju).
Mengapa para
pelaku korupsi dapat bersikap tenang bahkan berani bersumpah secara
meyakinkan dengan ekspresi datar tanpa dosa? Tidak perlu kaget. Di sinilah
para pelaku korupsi memainkan bahasa tubuh mereka secara rileks dan nyaman,
apalagi bila mereka berjenis kelamin laki-laki. Pepatah lama saja
menyatakan, ''Women might be able to fake orgasms. But men can fake a
whole relationship'' (Wanita mungkin bisa melakukan orgasme
palsu, tapi lelaki bisa memalsukan seluruh hubungan).
Nasihat Gene
Perret, untuk membangkitkan rasa humor yang baik, kita perlu mengasah tiga
hal. Pertama, mengasah kemampuan untuk melihat. Kedua, mengasah kemampuan
untuk mengakui. Ketiga, mengasah kemampuan untuk menerima fakta sebagaimana
adanya. Dengan demikian, rasa humor dapat menjernihkan pikiran dan
membebaskan kita dari prasangka-prasangka yang membebani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar