Rabu, 13 Maret 2013

Anomali Daya Tahan Media Tradisional


Anomali Daya Tahan Media Tradisional
Kris Moerwanto   Senior Editor Jawa Pos
JAWA POS, 13 Maret 2013

  
PAPARAN hasil survei Nielsen Indonesia bertajuk Uncommon Sense of the Consumer yang dirilis pada 6 Maret 2013 layak menjadi pembelajaran. Beragam uncommon insight dan anomali ada dalam paparan Nielsen tersebut. Banyak fakta mengejutkan yang ditemukan. Menariknya, banyak di antara temuan itu yang ternyata berlawanan dengan keyakinan publik. 

Asumsi bahwa berita di media tradisional kini dibaca secara digital, sehingga (disebut-sebut) mengakibatkan media tradisional terancam gulung tikar (karena kehilangan pembacanya), ternyata tak tampak dalam data survei tersebut. Paparan Nielsen justru menemukan, bagi audiens Indonesia, internet bukan media untuk membaca berita. Pun bukan platform utama pengakses dan pencari berita.

Alasan utama audiens Indonesia berinternet adalah memakainya sebagai platform membangun jejaring sosial/pertemanan, hiburan, dan kesenangan -ketimbang berbisnis urusan kantor. Selain berjejaring, internet digunakan untuk browsing atau surfing, main games, mendengarkan musik, serta mengunduh files atau peranti lunak. Di antara 10 aktivitas berinternet, membaca berita justru berada di urutan pertama dan kedua terbawah.

Berita yang dipasok media tradisional seperti TV dan koran adalah yang terbanyak, yakni 19 persen, dan ternyata tetap dicari serta dikonsumsi audiens. Waktu untuk mengonsumsi pun cenderung lebih lama dibanding periode setahun sebelumnya.

Di majalah, misalnya, pembaca naik dari 5 persen ke 7 persen dengan durasi konsumsi naik 44 menit. Pembaca tabloid tumbuh menjadi 8 persen dan koran 13 persen dengan peningkatan waktu konsumsi 31 menit dan 39 menit.

Gaya hidup digital memang menaikkan penggunaan internet di Indonesia menjadi 30 persen. Namun, alokasi untuk belanja digital hingga saat ini masih belum signifikan, di bawah 5 persen. Yang mendominasi masih tetap media tradisional: TV mengambil porsi terbesar (64 persen) serta koran (33 persen) dan majalah (3 persen).

Itu senada dengan hasil survei di 26 negara, termasuk Indonesia, yang bertajuk Edelman Trust Barometer 2013. Survei itu membandingkan tingkat kepercayaan publik terhadap empat institusi: pemerintah, bisnis, LSM, dan media. Media tradisional, untuk kali kesekian, masih dianggap sebagai institusi terpercaya di mata publik. Sebaliknya, kepercayaan kepada pemerintah, walau angkanya membaik, dari 40 persen ke 47 persen, masih tidak dipercaya publik.

Sementara itu, angka kepercayaan publik kepada LSM dan bisnis mencapai 51 persen dan 74 persen. Tidak tanggung-tanggung, kepercayaan terhadap media di Indonesia sebesar 77 persen, padahal standar dunia hanya 57 persen. Bahkan, koran tetap paling dipercaya oleh 75 persen responden di Indonesia jika dibanding kepercayaan publik kepada media sosial (seperti Twitter dan Facebook), yakni 68 persen. Sementara itu, kategoriowned-media (website, blog, dan milis) hanya dipercaya 67 persen responden.

Tentu saja, peningkatan kepercayaan itu membawa berkah terdongkraknya total billing iklan di media tradisional. Total belanja iklan di majalah dari produk dan merek kategori toiletries, kosmetik, dan makanan-minuman, misalnya, menurut survei Nielsen, tumbuh 7 persen. Sementara itu, di koran, pertumbuhannya mencapai 14 persen dan di TV 24 persen.

Pesatnya pertumbuhan kelas menengah Indonesia -menurut data Bank Indonesia populasinya mencapai 160 juta dengan pertambahan rata-rata 9 juta orang per tahun- ternyata juga membawa rezeki bagi media tradisional. Survei Nielsen mencatat, kategori snack, biscuit, cookies, dan cake setahun terakhir membubung. Total belanja iklannya di media tradisional pada 2012 mencapai Rp 2.140.989. Naik 59 persen dibanding setahun sebelumnya.

Mudah ditebak, sesuai dengan karakter produk dan merek kategori fast moving consumer goods, belanja iklan kudapan/snack gaya hidup tersebut paling banyak memanfaatkan TV sebagai medium berpromosi. Kenaikan billing yang dikontribusikan mencapai 60 persen. Tapi, koran dan majalah pun naik 36 persen dan 23 persen.

Seberapa pun perubahan lanskap media berkembang ke arah digitalisasi, cara audiens bermedia, dan cara konten media digunakan tetap bermuara pada dua aspek: kepercayaan dan keterandalan.
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar