PAPARAN hasil survei Nielsen Indonesia bertajuk Uncommon Sense of the
Consumer yang
dirilis pada 6 Maret 2013 layak menjadi pembelajaran. Beragam uncommon insight dan anomali ada dalam paparan
Nielsen tersebut. Banyak fakta mengejutkan yang ditemukan. Menariknya,
banyak di antara temuan itu yang ternyata berlawanan dengan keyakinan
publik.
Asumsi bahwa
berita di media tradisional kini dibaca secara digital, sehingga
(disebut-sebut) mengakibatkan media tradisional terancam gulung tikar
(karena kehilangan pembacanya), ternyata tak tampak dalam data survei
tersebut. Paparan Nielsen justru menemukan, bagi audiens Indonesia,
internet bukan media untuk membaca berita. Pun bukan platform utama pengakses dan pencari
berita.
Alasan utama
audiens Indonesia berinternet adalah memakainya sebagai platform membangun jejaring
sosial/pertemanan, hiburan, dan kesenangan -ketimbang berbisnis urusan
kantor. Selain berjejaring, internet digunakan untuk browsing atau surfing, main games, mendengarkan
musik, serta mengunduh files atau peranti lunak. Di antara 10
aktivitas berinternet, membaca berita justru berada di urutan pertama dan
kedua terbawah.
Berita yang
dipasok media tradisional seperti TV dan koran adalah yang terbanyak, yakni
19 persen, dan ternyata tetap dicari serta dikonsumsi audiens. Waktu untuk
mengonsumsi pun cenderung lebih lama dibanding periode setahun sebelumnya.
Di majalah,
misalnya, pembaca naik dari 5 persen ke 7 persen dengan durasi konsumsi
naik 44 menit. Pembaca tabloid tumbuh menjadi 8 persen dan koran 13 persen
dengan peningkatan waktu konsumsi 31 menit dan 39 menit.
Gaya hidup
digital memang menaikkan penggunaan internet di Indonesia menjadi 30
persen. Namun, alokasi untuk belanja digital hingga saat ini masih belum
signifikan, di bawah 5 persen. Yang mendominasi masih tetap media
tradisional: TV mengambil porsi terbesar (64 persen) serta koran (33
persen) dan majalah (3 persen).
Itu senada
dengan hasil survei di 26 negara, termasuk Indonesia, yang bertajuk Edelman
Trust Barometer 2013. Survei itu membandingkan tingkat kepercayaan publik
terhadap empat institusi: pemerintah, bisnis, LSM, dan media. Media
tradisional, untuk kali kesekian, masih dianggap sebagai institusi
terpercaya di mata publik. Sebaliknya, kepercayaan kepada pemerintah, walau
angkanya membaik, dari 40 persen ke 47 persen, masih tidak dipercaya publik.
Sementara itu,
angka kepercayaan publik kepada LSM dan bisnis mencapai 51 persen dan 74
persen. Tidak tanggung-tanggung, kepercayaan terhadap media di Indonesia
sebesar 77 persen, padahal standar dunia hanya 57 persen. Bahkan, koran
tetap paling dipercaya oleh 75 persen responden di Indonesia jika dibanding
kepercayaan publik kepada media sosial (seperti Twitter dan Facebook), yakni 68
persen. Sementara itu, kategoriowned-media (website,
blog, dan milis) hanya dipercaya 67 persen responden.
Tentu saja,
peningkatan kepercayaan itu membawa berkah terdongkraknya total billing iklan di media
tradisional. Total belanja iklan di majalah dari produk dan merek kategori toiletries, kosmetik, dan makanan-minuman,
misalnya, menurut survei Nielsen, tumbuh 7 persen. Sementara itu, di koran,
pertumbuhannya mencapai 14 persen dan di TV 24 persen.
Pesatnya
pertumbuhan kelas menengah Indonesia -menurut data Bank Indonesia
populasinya mencapai 160 juta dengan pertambahan rata-rata 9 juta orang per
tahun- ternyata juga membawa rezeki bagi media tradisional. Survei Nielsen
mencatat, kategori snack, biscuit, cookies, dan cake setahun
terakhir membubung. Total belanja iklannya di media tradisional pada 2012
mencapai Rp 2.140.989. Naik 59 persen dibanding setahun sebelumnya.
Mudah ditebak,
sesuai dengan karakter produk dan merek kategori fast moving consumer goods, belanja iklan
kudapan/snack gaya
hidup tersebut paling banyak memanfaatkan TV sebagai medium berpromosi.
Kenaikan billing yang
dikontribusikan mencapai 60 persen. Tapi, koran dan majalah pun naik 36
persen dan 23 persen.
Seberapa pun
perubahan lanskap media berkembang ke arah digitalisasi, cara audiens
bermedia, dan cara konten media digunakan tetap bermuara pada dua aspek:
kepercayaan dan keterandalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar