Sabtu, 02 Maret 2013

Bangsa yang Krisis Negarawan


Bangsa yang Krisis Negarawan
Muhammadun ;  Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
REPUBLIKA, 28 Februari 2013


Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis negarawan. Para elite politiknya belum memberikan teladan dalam berbagai praktik politiknya. Sepeti politik dagang sapi dan politik tebang pilih (kasih). Kepentingan pribadi dan kelompok masih menjadi prioritas, mengalahkan kepentingan bang sa dan negara.

Reformasi masih miskin sosok negarawan, sehingga tidak salah kalau Buya Syafi 'i Ma'arif melihat praktik politik kaum elite saat ini terjebak dalam jalan politik "mati rasa". Politisi tak lagi peduli dengan kesulitan rakyat kecil, karena mereka sibuk dengan praktik politik penuh tipu daya. 

Di samping itu, suksesi kepemimpinan di berbagai daerah belum menjanjikan harapan lebih baik di masa depan. Suksesi seringkali menghadirkan konflik horizontal yang semakin memperkeruh krisis kebangsaan. Suksesi hanya menjadi ritual pesta demokrasi, bukan untuk mencerahkan masyarakat.

Tragisnya, lahirlah apatisme demokrasi grass root, kecewa dengan praktik demokrasi para pemimpin. Apatisme terbukti dengan semakin miskinnya kepercayaan publik kepada pemimpin. 

Inilah tragedi krisis kepemimpinan yang perlu kita refleksikan.  Para founding fathers bangsa di awal abad ke-20 telah mencontohkan bahwa kepemimpinan adalah kenegarawanan dan keteladanan. Pemimpin adalah mereka yang dekat dengan rakyat, membaur, mengayomi, menyelami keluh kesah, dan bertindak lebih dulu dalam berbagai kebijakan kemasyarakatan. Mestinya, sang pemimpin harus berdiri lebih dulu di garda depan memimpin warganya dalam memberikan keteladanan. Memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan, mencegah kecurangan, dan lainnya.

Para pemimpin itu begitu tulus dan gigih memperjuangkan Indonesia.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, mereka tidak berebut kue kekuasaan. Mereka legowo, kembali ke daerah masing-masing untuk memperjuangkan nasib warga lokalnya yang belum berdaya. Sementara, mereka yang mendapatkan amanat kekuasaan, maka kuasa itu dijalankan dengan sepenuh khidmat: demi menegakkan Indonesia. Potret kepemimpinan inilah yang banyak dipraktikkan oleh Soekarno, Moh Hatta, Syahrir, Hasyim Asy'ari, Ahmad Dahlan, Soedirman, dan lainnya. Terlepas dari berbagai kekurangan mereka, tetapi sumbangsihnya dalam mencipta konsep kepemimpinan di Indonesia amatlah besar.

Jalan kepemimpinan yang ditahbiskan oleh para founding fathers telah menitahkan mereka sebagai manusia yang, dalam istilah Gede Prama, mendapatkan berkah agung: "Memandang perbedaan sebagai keindahan, melindungi diri dengan perisai kesabaran, kekayaannya adalah rasa kecukupan, hidupnya diterangi mata- hari kesabaran, dan kalau terpaksa mengeluarkan pedang, ia mengeluarkan pedang kebijaksanaan.

Meminjam istilah Karen Amstrong (2007), para pemimpin mampu bertindak sebagai pembela rasa: rasa yang berbuah keadilan, kesederajatan, kesetaraan, dan kedamaian. Jalan inilah, oleh Amstrong, yang pernah dilakukan oleh Musa, Yesus, Muhammad, Konfusius, Sidharta, dan para kaum bijak di zaman aksial.

Kini, titah para pemimpin besar itu tak lagi tertancap dalam benak nurani pemimpin bangsa hari ini. Yang hadir justru keserakahan, intrik kepentingan, dan miskinnya kepekaan di tengah penderitaan kaum marginal. Mereka tercerabut dari pemikiran founding fathers yang telah tertanam kuat di bumi pertiwi.

Bahkan, mereka mencabut sendiri akar-akar kepemimpinan itu, sehingga tidak lagi terngiang dan membebaskan diri untuk bertindak seenaknya sesuai dengan intrik kepentingan. Jangan tanya kalau krisis berkepanjangan yang menerpa Indonesia sejak 1997 akan terus langgeng, selanggeng tercerabutnya akar-akar adiluhung yang ditancapkan para pemimpin besar masa lalu.

Retak dan tercerabut dari akar falsafah kepemimpinan akan terus langgeng, manakala, pertama, setiap suksesi kepe- mimpinan hanya dimaknai sebagai ruang menggapai kuasa. Kalau itu terjadi, maka ragam kebijakan seorang pemimpin ha- nya lahir untuk memuaskan syahwat politik kelompok tertentu saja. Terjadilah kemudian fragmentasi kepentingan yang terus melakukan tarik-ulur dalam berbagai gerak langkah kebijakan.

Syahwat politik aliran, partai politik, organisasi massa, kharisma tokoh, dan berbagai perangkat lainnya akan terus digelorakan untuk memenangkan frag- mentasi kepentingan tersebut. Lahirlah politik dagang sapi, politik kambing hitam, politik tebang pilih (kasih), dan istilah metaforis lainnya.

Kedua, pembagian kekuasan (power description) hanya diperuntukkan untuk penopang suksesnya kepemimpinannya. Yang duduk dalam pengambil kebijakan adalah para aktor politik yang ambisi pragmatisme begitu tinggi, sehingga dana jutaaan, miliaran, dan triliunan seringkali masuk saku kepentingan kelompok. Rakyat hanya mendengar ada proposal pemberdayaan kaum miskin, tetapi hanya kabar saja. Tak pernah ada realisasi yang terwujud. Ini terbukti dengan berbagai headline media massa yang selalu menampilkan gagasan pemberdayaan dan pengentasan kaum miskin, tetapi gagasan itu hanya ada dalam koran, televisi, dan berita radio; selebihnya nihil, kosong. 

Inilah bukti pemimpin gagal memanage aset dan potensi bangsa. Juga bukti miskinnya intelektualitas dan profesionalitas dalam bekerja. Label bangsa yang miskin kepemimpinan akan terus melekat, dan situasi ke-Indonesia-an mulai dari elite sampai grass root akan pincang. Tidak ada set up gerakan kepemimpinan yang bisa mengubah secara revolusioner terhadap falsafah, etik, dan kerangka konseptual. Inilah tragedi buruk yang sedang menimpa Indonesia.

Sudah saatnya bangsa ini tidak terjebak dalam pemaknaan bernegara yang seremonial saja. Harus ada manifestasi nilai keluhuran yang diajarkan para guru bijak dan para pendiri bangsa, yang telah mengajarkan bangsa ini untuk berbuat penuh kebajikan dan kebenaran. Pemimpin harus melayani rakyatnya dengan sepenuh hati. Transformasi kepemimpinan yang melayani inilah yang mesti digerakkan bangsa Indonesia, sehingga akan lahir negarawan-negarawan baru yang menjadi pemimpin Indonesia masa depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar