Bangsa
Indonesia sedang mengalami krisis negarawan. Para elite politiknya belum
memberikan teladan dalam berbagai praktik politiknya. Sepeti politik dagang
sapi dan politik tebang pilih (kasih). Kepentingan pribadi dan kelompok
masih menjadi prioritas, mengalahkan kepentingan bang sa dan negara.
Reformasi
masih miskin sosok negarawan, sehingga tidak salah kalau Buya Syafi 'i Ma'arif
melihat praktik politik kaum elite saat ini terjebak dalam jalan politik
"mati rasa". Politisi tak lagi peduli dengan kesulitan rakyat
kecil, karena mereka sibuk dengan praktik politik penuh tipu daya.
Di
samping itu, suksesi kepemimpinan di berbagai daerah belum menjanjikan
harapan lebih baik di masa depan. Suksesi seringkali menghadirkan konflik
horizontal yang semakin memperkeruh krisis kebangsaan. Suksesi hanya
menjadi ritual pesta demokrasi, bukan untuk mencerahkan masyarakat.
Tragisnya, lahirlah apatisme demokrasi grass
root, kecewa dengan praktik demokrasi para pemimpin. Apatisme terbukti
dengan semakin miskinnya kepercayaan publik kepada pemimpin.
Inilah
tragedi krisis kepemimpinan yang perlu kita refleksikan. Para founding fathers bangsa di awal abad
ke-20 telah mencontohkan bahwa kepemimpinan adalah kenegarawanan dan keteladanan.
Pemimpin adalah mereka yang dekat dengan rakyat, membaur, mengayomi,
menyelami keluh kesah, dan bertindak lebih dulu dalam berbagai kebijakan
kemasyarakatan. Mestinya, sang pemimpin harus berdiri lebih dulu di garda
depan memimpin warganya dalam memberikan keteladanan. Memberantas korupsi,
mengentaskan kemiskinan, mencegah kecurangan, dan lainnya.
Para
pemimpin itu begitu tulus dan gigih memperjuangkan Indonesia.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, mereka tidak berebut kue
kekuasaan. Mereka legowo, kembali ke daerah masing-masing untuk
memperjuangkan nasib warga lokalnya yang belum berdaya. Sementara, mereka
yang mendapatkan amanat kekuasaan, maka kuasa itu dijalankan dengan sepenuh
khidmat: demi menegakkan Indonesia. Potret kepemimpinan inilah yang
banyak dipraktikkan oleh Soekarno, Moh Hatta, Syahrir, Hasyim Asy'ari,
Ahmad Dahlan, Soedirman, dan lainnya. Terlepas dari berbagai kekurangan
mereka, tetapi sumbangsihnya dalam mencipta konsep kepemimpinan di
Indonesia amatlah besar.
Jalan
kepemimpinan yang ditahbiskan oleh para founding
fathers telah menitahkan mereka sebagai manusia yang, dalam istilah
Gede Prama, mendapatkan berkah agung: "Memandang
perbedaan sebagai keindahan, melindungi diri dengan perisai kesabaran,
kekayaannya adalah rasa kecukupan, hidupnya diterangi mata- hari kesabaran,
dan kalau terpaksa mengeluarkan pedang, ia mengeluarkan pedang kebijaksanaan."
Meminjam
istilah Karen Amstrong (2007), para pemimpin mampu bertindak sebagai
pembela rasa: rasa yang berbuah keadilan, kesederajatan, kesetaraan, dan
kedamaian. Jalan inilah, oleh Amstrong, yang pernah dilakukan oleh Musa,
Yesus, Muhammad, Konfusius, Sidharta, dan para kaum bijak di zaman aksial.
Kini,
titah para pemimpin besar itu tak lagi tertancap dalam benak nurani
pemimpin bangsa hari ini. Yang hadir justru keserakahan, intrik
kepentingan, dan miskinnya kepekaan di tengah penderitaan kaum marginal.
Mereka tercerabut dari pemikiran founding
fathers yang telah tertanam kuat di bumi pertiwi.
Bahkan,
mereka mencabut sendiri akar-akar kepemimpinan itu, sehingga tidak lagi
terngiang dan membebaskan diri untuk bertindak seenaknya sesuai dengan
intrik kepentingan. Jangan tanya kalau krisis berkepanjangan yang menerpa
Indonesia sejak 1997 akan terus langgeng, selanggeng tercerabutnya
akar-akar adiluhung yang
ditancapkan para pemimpin besar masa lalu.
Retak
dan tercerabut dari akar falsafah kepemimpinan akan terus langgeng,
manakala, pertama, setiap suksesi kepe- mimpinan hanya dimaknai sebagai
ruang menggapai kuasa. Kalau itu terjadi, maka ragam kebijakan seorang
pemimpin ha- nya lahir untuk memuaskan syahwat politik kelompok tertentu
saja. Terjadilah kemudian fragmentasi kepentingan yang terus melakukan
tarik-ulur dalam berbagai gerak langkah kebijakan.
Syahwat
politik aliran, partai politik, organisasi massa, kharisma tokoh, dan
berbagai perangkat lainnya akan terus digelorakan untuk memenangkan frag-
mentasi kepentingan tersebut. Lahirlah politik dagang sapi, politik kambing
hitam, politik tebang pilih (kasih), dan istilah metaforis lainnya.
Kedua,
pembagian kekuasan (power description)
hanya diperuntukkan untuk penopang suksesnya kepemimpinannya. Yang
duduk dalam pengambil kebijakan adalah para aktor politik yang ambisi
pragmatisme begitu tinggi, sehingga dana jutaaan, miliaran, dan triliunan
seringkali masuk saku kepentingan kelompok. Rakyat hanya mendengar ada
proposal pemberdayaan kaum miskin, tetapi hanya kabar saja. Tak pernah ada
realisasi yang terwujud. Ini terbukti dengan berbagai headline media massa yang selalu menampilkan gagasan
pemberdayaan dan pengentasan kaum miskin, tetapi gagasan itu hanya ada
dalam koran, televisi, dan berita radio; selebihnya nihil, kosong.
Inilah
bukti pemimpin gagal memanage aset dan potensi bangsa. Juga bukti miskinnya
intelektualitas dan profesionalitas dalam bekerja. Label bangsa yang miskin
kepemimpinan akan terus melekat, dan situasi ke-Indonesia-an mulai dari
elite sampai grass root akan
pincang. Tidak ada set up gerakan
kepemimpinan yang bisa mengubah secara revolusioner terhadap falsafah,
etik, dan kerangka konseptual. Inilah tragedi buruk yang sedang menimpa
Indonesia.
Sudah
saatnya bangsa ini tidak terjebak dalam pemaknaan bernegara yang seremonial
saja. Harus ada manifestasi nilai keluhuran yang diajarkan para guru bijak
dan para pendiri bangsa, yang telah mengajarkan bangsa ini untuk berbuat
penuh kebajikan dan kebenaran. Pemimpin harus melayani rakyatnya dengan sepenuh
hati. Transformasi kepemimpinan yang melayani inilah yang mesti digerakkan
bangsa Indonesia, sehingga akan lahir negarawan-negarawan baru yang menjadi
pemimpin Indonesia masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar