Sabtu, 02 Maret 2013

Kekerasan Seksual pada Anak


Kekerasan Seksual pada Anak
M Nurul Irfan ;  Dosen Hukum Pidana Islam UIN Jakarta
REPUBLIKA, 28 Februari 2013

Sungguh merinding dan miris hati ini ketika mendengar berita ada seorang anak berinisial FF, 5 tahun, putra pasangan R dan MH, warga Ciracas, Jakarta Timur, disodomi oleh dua pria dewasa. Pelakunya beinisial E dan IE yang salah seorangnya adalah ajudan seorang pejabat kepolisian di Markas Besar Polri.
Menurut hukum pidana Islam, sodomi disebut dengan liwath, seakar kata dengan kaum Nabi Luth yang masyarakatnya memiliki kelainan seksual dan cenderung tertarik dengan sesama jenis.

Disorientasi seks seperti ini apakah masuk dalam sebuah penyimpangan dan pelanggaran atau justru dianggap sebagi sebuah jenis penyakit? Jika dilihat dari sisi pelanggaran semata-mata, sudah selayaknya pelakunya diberi sanksi hukum yang setimpal atas pelanggarannya. Namun, jika dianggap sebagai penyakit, bisa jadi justru karena pelaku dianggap sebagai orang yang sakit, dalam memberikan sanksi hukum harus menjadi bahan pertimbangan.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia tampaknya bukan hanya pernah terjadi, tetapi sering sekali terjadi. Bahkan, ada yang bukan sekadar memperkosa korban yang umumnya anak-anak dengan cara disodomi, malah korbannya dibunuh secara sadis karena dijerat dengan seutas tali plastik dari arah belakang.

Sungguh mengerikan apa yang dilakukan oleh sebagian penderita disorientasi seks ini. Sebut saja kasus Robot Gedek dan Babe yang pernah menggemparkan dunia kriminalitas beberapa tahun lalu. Menurut para ahli, orang semacam Robot Gedek dan Babe sebagai penderita kelas berat penyakit ini biasanya memiliki pengalaman yang pahit pada masa lalunya.

Kasus sodomi terhadap FF (5) di Ciracas, Jaktim itu, jika dibandingkan dengan kasus-kasus serupa pada masa lalu memang masih belum menghebohkan. Namun, mengingat kasus yang sama pernah terjadi, seyogianya pihak yang berwajib meneliti, menyidik, dan menyelidiki secara saksama dan mendalam agar kejahatan serupa bisa ditekan dan diantisipasi sedini mungkin.

Hal lain yang membuat hati ini teriris- iris tidak lain karena salah seorang pelakunya adalah seorang oknum polisi yang bertugas di Mabes Polri berpangkat Bri gadir EK (34). Seorang polisi yang mestinya melindungi dan mangayomi masyarakat, dalam kasus ini, justru menzalimi anak tak ber dosa. Sungguh tidak adil jika sudah terbukti kedua pelakunya tidak dihukum dengan sanksi yang setimpal dengan ke jahatannya.

Di sisi lain, kecenderungan seksual menyimpang seperti ini juga dinikmati oleh sebagian komunitas masyarakat.  Adanya kelompok kaum gay di kota-kota besar yang cenderung menyukai sesama jenis, baik antar laki-laki maupun antar perempuan, juga menjadi sesuatu yang perlu dikemukakan dan dicermati.

Sebab, diakui atau tidak, mereka jelas-jelas tetap eksis. Ada yang secara fulgar menampakkan kejanggalan seksualnya dan ada pula yang tidak terlalu tampak jelas dari performa luarnya. 

Bahkan, hal aneh pernah terjadi pada 19 September 2010. Seorang pria menikahi pasangannya yang kemudian diketahui berjenis kelamin sama.

Dalam hukum pidana Islam memang diakui adanya beberapa jenis penyimpangan seksual, seperti homoseksual, lesbian, pelampiasan hasrat seksualnya kepada binatang, bahkan kepada mayat. Di samping itu, masih terdapat sederet jenis penyimpangan seksual, seperti senang menciumi pakaian dalam wanita dan gemar mempertontonkan alat kelaminnya sendiri, onani dan masturbasi. 

Menurut hukum Islam, mayoritas ulama menganggap haram seorang pria onani dan seorang wanita masturbasi. Kalaupun ada pendapat yang memperbolehkan, hal itu hanya dalam kondisi sangat terpaksa seperti dalam medan peperangan atau karena takut berzina. Sedangkan menurut dunia kedokteran, setidaknya menurut pendapat beberapa seksiolaog bahwa onani dan masturbasi dianggap sebagai sesuatu yang sangat wajar dan boleh dilakukan karena tidak akan mengganggu kesehatan pelakunya.

Kekerasan seksual pada anak akhir-akhir ini memang menjadi bahan pembicaraan banyak kalangan. Terlebih lagi kasus terakhir melibatkan seorang oknum polisi. Orang tua FF (5) MH (26) dan suaminya R (32) yang mencari keadilan bagi anaknya ternyata tidak berjalan mulus. Langkah mereka bukan hanya butuh perjuangan keras, melainkan harus menghadapi intimidasi.

Bahkan anehnya, hasil visum dari RS Polri menunjukkan negatif dari kekerasan seksual, terutama pada bagian anusnya. Hasil visum RS Polri ini jauh berbeda dengan hasil visum RSCM yang hasil pemeriksaannya menunjukkan positif sang anak mengalami kekerasan seksual pada bagian anusnya. 

Sungguh memprihatinkan. Penegakan hukum masih tebang pilih dan hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Setelah hasil visum RSCM ini positif, barulah kaus ini bisa dilanjutkan penyidikannya oleh Polres Jaktim.

Sekadar sebagai bahan pertimbangan dalam menuntut pelaku pada kasus sodomi paksa ini, menurut Hukum Pidana Islam, melalui hadis Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas ditegaskan bahwa barang siapa menemukan seseorang melakukan aktivitas seksual seperti kaum Nabi Luth, tuntutlah dengan hukuman mati kepada kedua pelakunya, baik sebagai subjek maupun objek.

Hal yang perlu direnungi, dalam kasus suka-sama suka saja pelaku sodomi harus dihukum keras, apalagi dalam kasus FF (5) yang disodomi paksa oleh pelaku. Sangat naif jika sanksinya ringan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar