Sungguh
merinding dan miris hati ini ketika mendengar berita ada seorang anak
berinisial FF, 5 tahun, putra pasangan R dan MH, warga Ciracas, Jakarta Timur,
disodomi oleh dua pria dewasa. Pelakunya beinisial E dan IE yang salah
seorangnya adalah ajudan seorang pejabat kepolisian di Markas Besar Polri.
Menurut hukum pidana Islam, sodomi disebut dengan liwath, seakar kata dengan kaum Nabi Luth yang masyarakatnya
memiliki kelainan seksual dan cenderung tertarik dengan sesama jenis.
Disorientasi
seks seperti ini apakah masuk dalam sebuah penyimpangan dan pelanggaran
atau justru dianggap sebagi sebuah jenis penyakit? Jika dilihat dari sisi
pelanggaran semata-mata, sudah selayaknya pelakunya diberi sanksi hukum
yang setimpal atas pelanggarannya. Namun, jika dianggap sebagai penyakit,
bisa jadi justru karena pelaku dianggap sebagai orang yang sakit, dalam
memberikan sanksi hukum harus menjadi bahan pertimbangan.
Kasus
kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia tampaknya bukan hanya pernah
terjadi, tetapi sering sekali terjadi. Bahkan, ada yang bukan sekadar
memperkosa korban yang umumnya anak-anak dengan cara disodomi, malah
korbannya dibunuh secara sadis karena dijerat dengan seutas tali plastik
dari arah belakang.
Sungguh
mengerikan apa yang dilakukan oleh sebagian penderita disorientasi seks
ini. Sebut saja kasus Robot Gedek dan Babe yang pernah menggemparkan dunia
kriminalitas beberapa tahun lalu. Menurut para ahli, orang semacam Robot
Gedek dan Babe sebagai penderita kelas berat penyakit ini biasanya memiliki
pengalaman yang pahit pada masa lalunya.
Kasus
sodomi terhadap FF (5) di Ciracas, Jaktim itu, jika dibandingkan dengan
kasus-kasus serupa pada masa lalu memang masih belum menghebohkan. Namun,
mengingat kasus yang sama pernah terjadi, seyogianya pihak yang berwajib
meneliti, menyidik, dan menyelidiki secara saksama dan mendalam agar
kejahatan serupa bisa ditekan dan diantisipasi sedini mungkin.
Hal
lain yang membuat hati ini teriris- iris tidak lain karena salah seorang
pelakunya adalah seorang oknum polisi yang bertugas di Mabes Polri
berpangkat Bri gadir EK (34). Seorang polisi yang mestinya melindungi dan
mangayomi masyarakat, dalam kasus ini, justru menzalimi anak tak ber dosa.
Sungguh tidak adil jika sudah terbukti kedua pelakunya tidak dihukum dengan
sanksi yang setimpal dengan ke jahatannya.
Di
sisi lain, kecenderungan seksual menyimpang seperti ini juga dinikmati oleh
sebagian komunitas masyarakat. Adanya kelompok kaum gay di kota-kota
besar yang cenderung menyukai sesama jenis, baik antar laki-laki maupun
antar perempuan, juga menjadi sesuatu yang perlu dikemukakan dan dicermati.
Sebab, diakui atau tidak, mereka jelas-jelas tetap eksis. Ada yang secara
fulgar menampakkan kejanggalan seksualnya dan ada pula yang tidak terlalu
tampak jelas dari performa luarnya.
Bahkan,
hal aneh pernah terjadi pada 19 September 2010. Seorang pria menikahi
pasangannya yang kemudian diketahui berjenis kelamin sama.
Dalam hukum pidana Islam memang diakui adanya beberapa jenis penyimpangan
seksual, seperti homoseksual, lesbian, pelampiasan hasrat seksualnya kepada
binatang, bahkan kepada mayat. Di samping itu, masih terdapat sederet jenis
penyimpangan seksual, seperti senang menciumi pakaian dalam wanita dan
gemar mempertontonkan alat kelaminnya sendiri, onani dan masturbasi.
Menurut
hukum Islam, mayoritas ulama menganggap haram seorang pria onani dan
seorang wanita masturbasi. Kalaupun ada pendapat yang memperbolehkan,
hal itu hanya dalam kondisi sangat terpaksa seperti dalam medan peperangan
atau karena takut berzina. Sedangkan menurut dunia kedokteran, setidaknya
menurut pendapat beberapa seksiolaog bahwa onani dan masturbasi dianggap
sebagai sesuatu yang sangat wajar dan boleh dilakukan karena tidak akan
mengganggu kesehatan pelakunya.
Kekerasan
seksual pada anak akhir-akhir ini memang menjadi bahan pembicaraan banyak
kalangan. Terlebih lagi kasus terakhir melibatkan seorang oknum polisi. Orang
tua FF (5) MH (26) dan suaminya R (32) yang mencari keadilan bagi anaknya
ternyata tidak berjalan mulus. Langkah mereka bukan hanya butuh
perjuangan keras, melainkan harus menghadapi intimidasi.
Bahkan anehnya, hasil visum dari RS Polri menunjukkan negatif dari
kekerasan seksual, terutama pada bagian anusnya. Hasil visum RS Polri ini
jauh berbeda dengan hasil visum RSCM yang hasil pemeriksaannya menunjukkan
positif sang anak mengalami kekerasan seksual pada bagian anusnya.
Sungguh
memprihatinkan. Penegakan hukum masih tebang pilih dan hukum hanya tajam ke
bawah, tetapi tumpul ke atas. Setelah hasil visum RSCM ini positif, barulah
kaus ini bisa dilanjutkan penyidikannya oleh Polres Jaktim.
Sekadar sebagai bahan pertimbangan dalam menuntut pelaku pada kasus sodomi
paksa ini, menurut Hukum Pidana Islam, melalui hadis Rasulullah SAW dari
Ibnu Abbas ditegaskan bahwa barang siapa menemukan seseorang melakukan
aktivitas seksual seperti kaum Nabi Luth, tuntutlah dengan hukuman mati
kepada kedua pelakunya, baik sebagai subjek maupun objek.
Hal
yang perlu direnungi, dalam kasus suka-sama suka saja pelaku sodomi harus
dihukum keras, apalagi dalam kasus FF (5) yang disodomi paksa oleh
pelaku. Sangat naif jika sanksinya ringan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar