Selasa, 05 Maret 2013

Asa Demokrat Pasca Prahara


Asa Demokrat Pasca Prahara
Zaenal A Budiyono ;  Direktur Eksekutif
Developing Countries Studies Center (DCSC) Indonesia, Jakarta
DETIKNEWS, 04 Maret 2013



Partai Demokrat (PD) yang merupakan partai pemenang Pemilu 2009 dengan suara lebih dari 20% akhir-akhir ini dirundung prahara. Menurunnya popularitas Demokrat hingga hanya tersisa 8% menjadi “palu politik” yang menghentak Ketua Dewan Pembina, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan akhir cerita penyelamatan partai. Dalam pertemuan dengan DPD dari 33 Provinsi, SBY menggaransi tidak ada politisasi (termasuk kepada Ketua Umum) terkait upaya penyelamatan Demokrat yang tertuang dalam 8 solusi itu. 

Sebagai tokoh yang dikenal konstitusionalis, SBY tahu bahwasannya tidak ada jalan untuk menggusur pimpinan partai melalui tekanan politik. Semua pertimbangan penyelamatan semata-mata berdasar reasons elektabilitas dan persepsi publik. SBY bahkan sampai menguji popularitas Demokrat dalam tiga bulan terakhir melalui 6 hasil survei dari lembaga-lembaga yang berbeda.

Kesimpulannya, krisis di atas harus dicarikan solusi agar Demokrat tak tinggal kenangan pasca 2014. Sebab kemungkinan itu bisa saja terjadi bila menilik tren suara dari waktu ke waktu yang cenderung negatif. 

Di sini solusi agar Majelis Tinggi Partai (MTP) berperan lebih besar di partai menjadi opsi yang paling realistis. MTP bukanlah personifikasi SBY, melainkan badan kolektif yang berisi beberapa tokoh kunci, termasuk Ketua Umum. Tak menunggu lama, MTP langsung bekerja, di antaranya terlihat dari sejumlah konsolidasi maraton, baik di Cikeas maupun daerah. Ujung dari gerakan ini mengarah pada hasil yang happy ending. Ya, memang demikian keadaannya kala SBY mengatakan dalam jumpa pers pasca Rapimnas Demokrat, 17 Februari 2013. 

“Tak ada berita bombastis dari forum Rapimnas kali ini. Semua kader mendukung langkah penyelamatan MTP, dan ke depan kita akan kerja bersama”, itulah pernyataan manis SBY pada penutupan Rapimnas.

Munculnya Prahara

Situasi tampaknya mulai normal. Tanggapan Anas Urbaningrum, Ketua Umum Demokrat pasca press statement SBY juga menguatkan aroma kemesraan antar kader PD. “KLB bagi kami adalah Kompak Luar Biasa”. Lalu Anas secara khusus mengomentari pidato mentornya, SBY sebagai sebuah speech yang TOP! Top itu semacam kondisi perfect, dan sesuai dengan ekspektasi semua kader.

Sampai akhirnya “tsunami” itu datang saat Komisi Anti Korupsi (KPK) menetapkan Anas sebagai tersangka kasus Hambalang. Ia diduga menerima gratifikasi mobil Toyota Harrier dari kontraktor dan sejumlah kasus lain yang belum dibuka KPK. Kondisi adem ayem Demokrat sontak mendidih. Anas hanya dalam beberapa jam setelah penetapan tersangka langsung menggelar konferensi pers yang menghentak jagat politik nasional. Ia menyatakan mundur dari Ketua Umum, tetapi itu baru awal dari prahara baru. Beberapa hal lainnya, Anas ibarat “melempar api” ke SBY dan KPK yang dituduhnya menyebabkan statusnya saat ini.

Anas juga mengaku sejak awal tak diinginkan SBY di Demokrat yang ia istilahkan sebagai “bayi yang tak dikehendaki”. Setelah itu sejumlah ungkapan metafora Anas berdesingan di ruang publik, yang sebagian dapat diterjemahkan sebagai ancaman terhadap SBY dan KPK. Seperti ungkapan halaman-halaman buku. “Ini baru halaman pertama dari buku ke depan. Akan ada halaman-halaman berikutnya yang akan kita buka bersama”, begitulah kira-kira pesan Anas.

Sebagai lembaga yang selama ini dikenal kokoh dan steril dari tekanan politik, apa yang dikatakan Anas kepada institusi anti rasuah itu jelaslah menganggu. Johan Budi, Juru Bicara KPK menegaskan tidak ada intervensi dari pihak manapun, termasuk Cikeas dalam penetakan tersangka. Ia menngimbau pihak-pihak yang menduga KPK “main mata” dengan Cikeas agar membuka memori dan melihat track record komisi ini. Johan menguatkan, sejatinya langkah KPK menjerat Anas bukanlah sesuatu yang ujug-ujug, melainkan melalui suatu rangkaian penyelidikan panjang yang komprehensif.

Hukum Bukan Politik

Johan bahkan heran dengan sejumlah pihak yang kelabakan dengan status hukum baru Anas. Pasalnya tiga bulan lalu, pihak-pihak dimaksud justru berteriak paling keras mendesak agar Anas ditetapkan tersangka. Itulah politik, di mana setiap fakta bisa dimaknai dan disikapi berbeda—tergantung kepentingan saat itu. Padahal dalam rangka mendorong konsolidasi demokrasi, seharusnya semua stakeholders politik memiliki komitmen sama, yaitu mendukung penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Kini waktu yang tersedia tidak banyak lagi bagi Demokrat untuk bangkit jelang pemilu. Setelah kepungan isu negatif beberapa waktu terakhir ini bisa diurai, saatnya para kader fokus pada gerakan pemenangan bersama. Beberapa agenda yang harus segera dilakukan antara lain, pertama, memperkuat sosialisasi capaian-capaian pemerintahan SBY. Ini merupakan kartu truf yang entah kenapa dalam dua tahun terakhir suaranya “nyaris tak terdengar”. Seolah ada gap antara PD dengan pemerintah, padahal mereka adalah the ruling party yang sudah seharusnya mendukung program-program Presiden.

Sebagai catatan, sejak 2009 sampai dengan 2013, banyak prestasi pemerintah yang bisa dijadikan senjata bagi PD untuk memperkuat komunikasi dengan rakyat. Seperti tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang merupakan terbaik kedua di dunia setelah China (2012) dengan 6,5%. Kita tahu Eropa dan AS pada kurun tersebut justru masih tertatih akibat efek pasca krisis ekonomi 2008. Indonesia juga negara dengan PDB nomor 15 di dunia dan teratas di ASEAN. Belum lagi dengan peringkat investasi kita yang naik menjadi BBB+ atau layak investasi. Dengan status baru tersebut, volume investasi meningkat tajam, yang berimplikasi makin terbukanya peluang kerja. 

Dan itu semua bukan “ilusi” ekonomi, melainkan fakta-fakta hasil kerja keras bersama, baik pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Alangkah sayangnya bila deretan prestasi nyata itu hanya dipersepsikan publik secara minim yang linear dengan 8% suara PD. Di sisi lain terdapat paradoks di mana penurunan suara PD tidak linear dengan indeks kepuasan publik kepada pemerintah dan Presiden yang mencapai 52% (SMRC, Januari 2013). Yang ingin penulis tekankan, dengan berbekal rapor biru pemerintah di atas, PD sangat mungkin mendapat dukungan lebih banyak dari publik.

Asa Itu Masih Ada

Agenda kedua, konsolidasi organisasi harus dilakukan secara total football. Maksudnya, semua pengurus dari DPP sampai ranting harus memiliki sense of crisisatas apa yang menimpa Demokrat belakangan ini. Jangan sampai ada kader yang berfikir bahwa Demokrat sekarang dalam keadaan “biasa-biasa saja”. 

Sebaliknya para kader harus menggunakan kacamata krisis, sehingga mereka termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi. Tak perlu ada pengkotak-kotakan bahwa kader daerah A loyalis X, atau kader daerah B loyalis tokoh Y. Episode riuh rendah telah selesai, saatnya semua bekerja dengan kekuatan penuh. Pembersihan organisasi juga harus dimaknai dan hanya berlaku bagi kader-kader yang yang tidak bersih, cerdas dan santun, sesuai motto partai ini, dan bukan ukuran-ukuran lainnya.

Pasalnya perbedaan dalam setiap organisasi—apalagi sebesar partai politik—pastilah ada, dan itu merupakan hukum alam. Namun perbedaan tersebut tak boleh menganggu kepentingan partai yang lebih besar, termasuk menaikkan kepercayaan publik.

Ketiga, memilih figur Ketua Umum baru yang tepat dan diterima semua kelompok. Ini tantangan tersendiri bagi SBY ataupun forum kongres ke depan. 

Ketua baru nanti haruslah figur yang benar-benar diterima semua faksi, tidak memiliki agenda politik pribadi dan bisa menjadi administrator yang mumpuni. Mengapa PD butuh yang demikian? Sebab untuk simbol partai, fakta politik sulit memungkiri pengaruh kuat SBY. Ini artinya Demokrat sudah memiliki tokoh utama, dan tinggal membutuhkan administrator yang bisa memastikan semua elemen partai berfungsi baik hingga pemilu mendatang.

Terkait hal tersebut dan dalam upaya menjaga komitmen demokrasi, SBY sudah membuat garis demarkasi bahwa keluarganya tidak akan bertarung merebut pos Ketua Umum di atas. Baik itu Ibu Ani Yudhoyono, yang namanya di Demokrat cukup kuat, maupun Edhie Baskoro, yang saat ini sebagai Sekretaris Jenderal. Ini sekaligus menggugurkan asumsi adanya skenario pendongkelan Anas untuk kepentingan Cikeas. Itu juga antitesa adanya dugaan SBY getol membangun dinasti politik yang bertentangan dengan demokrasi.

Kini kita tunggu apakah Demokrat mampu bangkit dari keterpurukan dan meraih hasil baik di 2014 mendatang. Waktu yang akan menjawabnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar