Partai Demokrat (PD) yang merupakan partai pemenang Pemilu 2009 dengan
suara lebih dari 20% akhir-akhir ini dirundung prahara. Menurunnya
popularitas Demokrat hingga hanya tersisa 8% menjadi “palu politik” yang
menghentak Ketua Dewan Pembina, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan akhir
cerita penyelamatan partai. Dalam pertemuan dengan DPD dari 33 Provinsi,
SBY menggaransi tidak ada politisasi (termasuk kepada Ketua Umum) terkait
upaya penyelamatan Demokrat yang tertuang dalam 8 solusi itu.
Sebagai tokoh yang dikenal konstitusionalis, SBY tahu bahwasannya tidak ada
jalan untuk menggusur pimpinan partai melalui tekanan politik. Semua
pertimbangan penyelamatan semata-mata berdasar reasons elektabilitas dan
persepsi publik. SBY bahkan sampai menguji popularitas Demokrat dalam tiga bulan
terakhir melalui 6 hasil survei dari lembaga-lembaga yang berbeda.
Kesimpulannya, krisis di atas harus dicarikan solusi agar Demokrat tak
tinggal kenangan pasca 2014. Sebab kemungkinan itu bisa saja terjadi bila
menilik tren suara dari waktu ke waktu yang cenderung negatif.
Di sini solusi agar Majelis Tinggi Partai (MTP) berperan lebih besar di
partai menjadi opsi yang paling realistis. MTP bukanlah personifikasi SBY,
melainkan badan kolektif yang berisi beberapa tokoh kunci, termasuk Ketua
Umum. Tak menunggu lama, MTP langsung bekerja, di antaranya terlihat dari
sejumlah konsolidasi maraton, baik di Cikeas maupun daerah. Ujung dari
gerakan ini mengarah pada hasil yang happy ending. Ya, memang demikian
keadaannya kala SBY mengatakan dalam jumpa pers pasca Rapimnas Demokrat, 17
Februari 2013.
“Tak ada berita bombastis dari forum
Rapimnas kali ini. Semua kader mendukung langkah penyelamatan MTP, dan ke
depan kita akan kerja bersama”, itulah pernyataan manis SBY pada
penutupan Rapimnas.
Munculnya Prahara
Situasi tampaknya mulai normal. Tanggapan Anas Urbaningrum, Ketua Umum
Demokrat pasca press statement
SBY juga menguatkan aroma kemesraan antar kader PD. “KLB bagi kami adalah Kompak Luar Biasa”. Lalu Anas secara
khusus mengomentari pidato mentornya, SBY sebagai sebuah speech yang TOP! Top itu semacam
kondisi perfect, dan sesuai
dengan ekspektasi semua kader.
Sampai akhirnya “tsunami” itu datang saat Komisi Anti Korupsi (KPK)
menetapkan Anas sebagai tersangka kasus Hambalang. Ia diduga menerima
gratifikasi mobil Toyota Harrier dari kontraktor dan sejumlah kasus lain
yang belum dibuka KPK. Kondisi adem ayem Demokrat sontak mendidih. Anas
hanya dalam beberapa jam setelah penetapan tersangka langsung menggelar
konferensi pers yang menghentak jagat politik nasional. Ia menyatakan
mundur dari Ketua Umum, tetapi itu baru awal dari prahara baru. Beberapa
hal lainnya, Anas ibarat “melempar api” ke SBY dan KPK yang dituduhnya
menyebabkan statusnya saat ini.
Anas juga mengaku sejak awal tak diinginkan SBY di Demokrat yang ia
istilahkan sebagai “bayi yang tak dikehendaki”. Setelah itu sejumlah
ungkapan metafora Anas berdesingan di ruang publik, yang sebagian dapat
diterjemahkan sebagai ancaman terhadap SBY dan KPK. Seperti ungkapan
halaman-halaman buku. “Ini baru
halaman pertama dari buku ke depan. Akan ada halaman-halaman berikutnya
yang akan kita buka bersama”, begitulah kira-kira pesan Anas.
Sebagai lembaga yang selama ini dikenal kokoh dan steril dari tekanan
politik, apa yang dikatakan Anas kepada institusi anti rasuah itu jelaslah
menganggu. Johan Budi, Juru Bicara KPK menegaskan tidak ada intervensi dari
pihak manapun, termasuk Cikeas dalam penetakan tersangka. Ia menngimbau
pihak-pihak yang menduga KPK “main mata” dengan Cikeas agar membuka memori
dan melihat track record komisi ini. Johan menguatkan,
sejatinya langkah KPK menjerat Anas bukanlah sesuatu yang ujug-ujug,
melainkan melalui suatu rangkaian penyelidikan panjang yang komprehensif.
Hukum Bukan Politik
Johan bahkan heran dengan sejumlah pihak yang kelabakan dengan status hukum
baru Anas. Pasalnya tiga bulan lalu, pihak-pihak dimaksud justru berteriak
paling keras mendesak agar Anas ditetapkan tersangka. Itulah politik, di
mana setiap fakta bisa dimaknai dan disikapi berbeda—tergantung kepentingan
saat itu. Padahal dalam rangka mendorong konsolidasi demokrasi, seharusnya
semua stakeholders politik memiliki komitmen sama,
yaitu mendukung penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Kini waktu yang tersedia tidak banyak lagi bagi Demokrat untuk bangkit
jelang pemilu. Setelah kepungan isu negatif beberapa waktu terakhir ini
bisa diurai, saatnya para kader fokus pada gerakan pemenangan bersama.
Beberapa agenda yang harus segera dilakukan antara lain, pertama,
memperkuat sosialisasi capaian-capaian pemerintahan SBY. Ini merupakan
kartu truf yang entah kenapa dalam dua tahun terakhir suaranya “nyaris tak
terdengar”. Seolah ada gap antara PD dengan pemerintah, padahal mereka
adalah the ruling party yang sudah seharusnya mendukung
program-program Presiden.
Sebagai catatan, sejak 2009 sampai dengan 2013, banyak prestasi pemerintah
yang bisa dijadikan senjata bagi PD untuk memperkuat komunikasi dengan
rakyat. Seperti tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang merupakan
terbaik kedua di dunia setelah China (2012) dengan 6,5%. Kita tahu Eropa
dan AS pada kurun tersebut justru masih tertatih akibat efek pasca krisis
ekonomi 2008. Indonesia juga negara dengan PDB nomor 15 di dunia dan
teratas di ASEAN. Belum lagi dengan peringkat investasi kita yang naik
menjadi BBB+ atau layak investasi. Dengan status baru tersebut, volume
investasi meningkat tajam, yang berimplikasi makin terbukanya peluang
kerja.
Dan itu semua bukan “ilusi” ekonomi, melainkan fakta-fakta hasil kerja
keras bersama, baik pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Alangkah
sayangnya bila deretan prestasi nyata itu hanya dipersepsikan publik secara
minim yang linear dengan 8% suara PD. Di sisi lain terdapat paradoks di
mana penurunan suara PD tidak linear dengan indeks kepuasan publik kepada
pemerintah dan Presiden yang mencapai 52% (SMRC, Januari 2013). Yang ingin
penulis tekankan, dengan berbekal rapor biru pemerintah di atas, PD sangat
mungkin mendapat dukungan lebih banyak dari publik.
Asa Itu Masih Ada
Agenda kedua, konsolidasi organisasi harus dilakukan secara total football. Maksudnya,
semua pengurus dari DPP sampai ranting harus memiliki sense of crisisatas apa
yang menimpa Demokrat belakangan ini. Jangan sampai ada kader yang berfikir
bahwa Demokrat sekarang dalam keadaan “biasa-biasa saja”.
Sebaliknya para kader harus menggunakan kacamata krisis, sehingga mereka
termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi. Tak perlu ada pengkotak-kotakan
bahwa kader daerah A loyalis X, atau kader daerah B loyalis tokoh Y.
Episode riuh rendah telah selesai, saatnya semua bekerja dengan kekuatan
penuh. Pembersihan organisasi juga harus dimaknai dan hanya berlaku bagi
kader-kader yang yang tidak bersih, cerdas dan santun, sesuai motto partai
ini, dan bukan ukuran-ukuran lainnya.
Pasalnya perbedaan dalam setiap organisasi—apalagi sebesar partai
politik—pastilah ada, dan itu merupakan hukum alam. Namun perbedaan
tersebut tak boleh menganggu kepentingan partai yang lebih besar, termasuk
menaikkan kepercayaan publik.
Ketiga, memilih figur Ketua Umum baru yang tepat dan diterima semua
kelompok. Ini tantangan tersendiri bagi SBY ataupun forum kongres ke depan.
Ketua baru nanti haruslah figur yang benar-benar diterima semua faksi,
tidak memiliki agenda politik pribadi dan bisa menjadi administrator yang
mumpuni. Mengapa PD butuh yang demikian? Sebab untuk simbol partai, fakta
politik sulit memungkiri pengaruh kuat SBY. Ini artinya Demokrat sudah
memiliki tokoh utama, dan tinggal membutuhkan administrator yang bisa memastikan
semua elemen partai berfungsi baik hingga pemilu mendatang.
Terkait hal tersebut dan dalam upaya menjaga komitmen demokrasi, SBY sudah
membuat garis demarkasi bahwa keluarganya tidak akan bertarung merebut pos
Ketua Umum di atas. Baik itu Ibu Ani Yudhoyono, yang namanya di Demokrat
cukup kuat, maupun Edhie Baskoro, yang saat ini sebagai Sekretaris
Jenderal. Ini sekaligus menggugurkan asumsi adanya skenario pendongkelan
Anas untuk kepentingan Cikeas. Itu juga antitesa adanya dugaan SBY getol membangun
dinasti politik yang bertentangan dengan demokrasi.
Kini kita tunggu apakah Demokrat mampu bangkit dari keterpurukan dan meraih
hasil baik di 2014 mendatang. Waktu yang akan menjawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar