Selasa, 05 Maret 2013

Strategi Menyelesaikan “Unfinished Job”


Strategi Menyelesaikan “Unfinished Job”
Bambang Soesatyo ;  Anggota Tim Pengawas Kasus Century dari DPR,
Presidium KAHMI 2012-2017
SUARA MERDEKA, 05 Maret 2013



PIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya memenuhi janji terkait dengan penuntasan proses hukum megaskandal Bank Century. Setelah menyimak keterangan dari sejumlah saksi, penyidik KPK berencana bertolak ke Washington AS guna memeriksa mantan menkeu/ mantan ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrayani.

Sungguh di luar dugaan, kasus lama itu tiba-tiba kembali menyeruak ke ruang publik. Pasalnya, masyarakat secara tidak langsung mendapatkan janji dari seorang politikus muda yang mengatakan akan membuka ''halaman berikut'' tentang kontroversi dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Century.
Rapat kerja Komisi III DPR dengan KPK pun memunculkan perkembangan baru. Pimpinan KPK memastikan segera memeriksa Sri Mulyani di AS. Jadwal pemeriksaan itu ditetapkan setelah komisi antikorupsi tersebut menyimak keterangan dari sejumlah saksi, terutama mantan kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Anggito Abimanyu.

Pertengahan Februari lalu, kepada KPK Anggito mengaku tidak paham dengan keputusan Bank Indonesia (BI) menetapkan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Komisi antikorupsi tersebut sudah menetapkan Budi Mulya, mantan Deputi IV Pengelolaan Moneter Devisa BI, dan mantan Deputi V Bidang Pengawasan BI Siti Fadjriah, sebagai tersangka. Keduanya diduga menyalahgunakan wewenang dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) sehingga Century mendapat talangan Rp 6,7 triliun pada 2008.

Semua rangkaian peristiwa ini ibarat bunyi lonceng yang mengingatkan rakyat bahwa skandal Century masih berstatus pekerjaan yang belum selesai (unfinished job). Ia juga menjadi semacam isyarat bahwa sampai kapan pun rakyat menghendaki agar kasus tersebut  harus dituntaskan, berapa pun harga yang harus dibayar. Silakan pemerintah menunda-nunda tetapi rakyat akan selalu menagih.

Memang, ekspektasi tinggi publik terlanjur terbentuk. Terlebih sejak proses pengungkapan kasus ini pada forum panitia khusus parlemen hingga sidang paripurna DPR pada Maret 2010, nama sejumlah tokoh atau elite negara sudah disebut, bahkan tertulis dalam dokumen sidang parlemen. Artinya, dari notulen itu rakyat sudah bisa mereka-reka siapa saja tokoh yang layak dimintai pertanggungjawaban.
Wajar jika ada asumsi bahwa skandal ini bermuara pada kewenangan BI yang menjalankan  fungsi pengawasan bank, serta menetapkan standar bahwa sebuah bank itu sehat atau gagal. Bank sentral tersebut juga berwenang memutuskan sebuah bank perlu dibantu atau harus dilikuidasi. Ketika diasumsikan sebuah bank harus dibantu agar kebangkrutannya tak berdampak sistemik, BI juga harus menyajikan alasan yang masuk akal.

Curhat Sri Mulyani

Sejak awal hingga kini, argumen kegagalan Century bisa berdampak sistemik tidak bisa dipahami. Alasan utamanya, Century itu bank kecil. Melikuidasi bank itu pada 2008 tidak akan menimbulkan kepanikan, atau memicu rush di dalam negeri.

Benar bahwa saat itu perekonomian global dibayangi krisis tetapi persoalan itu belum menimbulkan getaran terhadap perekonomian dalam negeri. Wajar jika ekonom sekaliber Anggito pun mengaku tak bisa memahami keputusan BI menetapkan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Penyertaan modal sementara (PMS) Rp 632 miliar ditetapkan pada pertengahan 2008. Lalu, rapat KSSK pada 20 November 2008 memutuskan menangani Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Namun pemutakhiran nilai FPJP menjadi Rp 6,7 triliun tersebut tidak pernah disajikan dalam rapat 20 November 2008. Pertanyaan tentang hal ini harus dialamatkan ke BI mengingat kewenangan FPJP ada pada bank sentral.

Itulah relevansi dari langkah KPK menetapkan Budi Mulya dan Siti Fadjriah sebagai tersangka. Namun, terasa tidak adil jika penyalahgunaan wewenang hanya dituduhkan kepada keduanya. Pertama; keduanya hanya deputi, dan kedua; mereka punya atasan yaitu Gubernur BI, ketiga; nilai FPJP sebesar itu harus diputuskan dalam rapat  Dewan Gubernur BI.

Mantan wapres Jusuf Kalla pernah bertutur mengenai curahan hati mantan ketua KSSK Sri Mulyani. Kepada Kalla, Sri Mulyani mengaku merasa dibohongi oleh BI karena terjadi penggelembungan nilai luar biasa besar bailout, yakni dari  Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.

Curhat Sri Mulyani kepada Jusuf Kalla sudah menghadirkan kejanggalan tentang proses penyelamatan Century. Jika penyidik komisi antikorupsi bisa mengeksplorasi pengakuan Sri kepada JK, rangkaian kejanggalan proses persetujuan dan akurasi nilai FPJP akan terlihat lebih detail, utuh, dan gamblang.
Penyertaan modal sementara dari Rp 632 miliar menjadi fasilitas pendanaan jangka pendek Rp 6,7 triliun adalah lompatan nilai teramat besar. Jawaban atas perubahan penyertaan modal sementara menjadi fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar itu bisa didapatkan KPK dari Budi Mulya dan Siti Fadjriah, termasuk alasan dan data pendukungnya.

Namun, jangan lupa mencari tahu kenapa Gubernur BI saat itu tidak menyajikan angka Rp 6,7 triliun dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada 20 November 2008? Barangkali Sri Mulyani bisa menjawab pertanyaan itu karena waktu itu menjadi ketua. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar