Salah satu subjek
pengimplementasian Kurikulum 2013 adalah peserta didik, yang diperoleh dari
sistem penerimaan siswa baru (PSB). Kalau cara yang digunakan dalam PSB
memberikan tempat bermartabat, humanis, dan demokratis, maka penerapan
Kurikulum 2013 tidak akan banyak menemui hambatan. Peserta didik yang
mendapatkan perlakuan melalui sistem inklusif dan demokratis, akan
menganggap kurikulum sebagai bagian dari sistem edukasi yang memanusiakan.
Sebaliknya, jika sistem PSB
menempatkan (calon) peserta didik sebagai objek, dan bukan subjek, maka
Kurikulum 2013 akan menemui batu sandungan besar. Peserta didik maupun
masyarakat, tidak akan menempatkan Kurikulum 2013 sebagai jalan membangun
dan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, tetapi sekedar produk 'yang
perlu ada'.
Selama ini, salah satu
penyakit atau patologi pendidikan yang nyaris selalu mencuat di
"musim" penerimaan siswa baru, adalah pemiskinan atas nama
pendidikan. Artinya, ada orangtua siswa yang kondisinya sedang payah secara
ekonomi atau masuk bilangan "akar rumput", namun kondisi
ketidakberdayaan ini masih juga dijadikan objek sapi perah oleh sekolah
atas nama kepentingan pendidikan, masa depan anak didik, infrastruktur, dan
sebagainya. Kalangan penyelenggara atau komunitas edukatif yang diberi
kepercayaan memanajerial PSB, justru menjadikan momentum setiap tahun
ajaran baru sebagai "pasar terbuka dan bebas" untuk mengisi dan
memperbanyak pundi-pundi keuangan sekolahan atau uang saku pribadi dan
sekelompok orang. Mereka ini barangkali tidak berfikir panjang kalau yang
diterapkannya sejak dini pada calon peserta didik bisa berpengaruh besar
dalam membentuk pola berfikir dan berperilakunya.
Mereka lupa pada ajaran
filosof kenamaan Aristoteles bahwa semakin tinggi penghargaan manusia
terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap
nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Artinya,
ketika seseorang terjerumus mendewakan atau menkulturkan perburuan uang,
memperkaya diri, institusi atau korporasi, maka akan banyak pihak yang
menjadi korban atau ditumbalkan.
Jika keserakahan ini terjadi
di dunia pendidikan, maka otomatis yang menjadi tumbal adalah siswa.
Penyelenggara PSB atau penanggung jawab sekolah bisa terjerumus menempatkan
siswa bukan sebagai subjek didik yang dimanusiakan secara lahir dan batin,
tetapi diperlakukan menjadi objek yang dijarah dan dikuras kemampuan
ekonominya.
Kalau itu diberlakukan pada
siswa yang secara ekonomi berada di jalur kemiskinan, maka praktik ini
layak disebut sebagai dehumanisasi siswa miskin. Dunia pendidikan yang
idealnya mengajarkan soal kasih sayang, kepedulian pada komunitas yang tak
berdaya, atau doktrin memanusiakan manusia, justru terperangkap pada
praktik penindasan.
Pemiskinan dijadikan alat
ampuh untuk menciptakan kondisi pasif dan tak berdaya di kalangan orangtua
siswa. Mereka ini dibuat tak berkutik menghadapi taring-taring kekejaman
diskresi sekolah yang selalu bersifat "menembak" dengan dalih
sebagai kewajiban-kewajiban siswa yang harus dipenuhi.
Pemiskinan itu merupakan
gambaran dari bentuk "penzaliman" atau pengkriminalisasian
masyarakat yang sudah berkutat di jalur ketidakberdayaan akibat kemiskinan
yang sudah sekian lama membelenggunya. Meminjam istilah Jalaludin Rahmat,
mereka dibentuk atau dipermak menjadi mustahd'afin, manusia (siswa) yang
dibuat teraniaya, sengsara, atau semakin tak berdaya.
Dengan jumlah orang miskin
yang masih terbilang besar sekitar 28,6 juta jiwa (BPS 2012), otomatis
banyak orangtua siswa sedang dihadapkan pada akumulasi kesulitan. Mereka
bukan hanya semakin kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan,
membayar berbagai bentuk "iuran" wajib seperti listrik, telpon,
air, pajak, tetapi juga jelas makin tak berdaya jika dikondisikan memenuhi
kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh sekolah.
Katakanlah, meski siswa miskin
itu sudah dibebaskan dari membayar SPP berkat dana BOS, tetapi mereka tetap
tidak bisa bebas mutlak dari tekanan berbagai bentuk iuran yang
didiskresikan oleh sekolah, mulai dari soal buku, seragam, karya wisata,
asuransi, kursus-kursus, dan semacamnya.
Sekolah tampaknya masih belum
bisa meninggalkan tradisi lamanya yang berpola represif. Yakni,
bereksperimen dengan kebijakan baru yang dinilainya bisa mendatangkan uang
untuk sekolahan, tanpa mempedulikan kesulitan ekonomi siswa miskin. Sekolah
tetap menebar surat edaran yang berisi kewajiban 'ini-itu' yang harus
dipenuhi oleh orangtua siswa miskin.
Pola pemiskinan siswa lewat
PSB jelas bertentangan dengan jiwa pendidikan nasional. Ia layak
digolongkan sebagai praktik penafian atau penihilan hak asasi anak-anak
bangsa. Dalam pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Sementara pada Pasal 5 ayat (1) ditegaskan, bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Dalam dimensi yuridis itu
sudah jelas ditentukan, bahwa penyelenggaraan pendidikan harus didasarkan
pada prinsip demokratis (memihak pada kemampuan rakyat), dan bukan pada
keserakahan sekolah. Setiap siswa, termasuk siswa miskin wajib dimediasi supaya
memperoleh pendidikan bermutu tanpa harus dikorbankan oleh diskresi atau
sistem yang memiskinkannya. Calon peserta didik wajib dikenalkan sejak dini
tentang model atau sistem PSB yang memanusiakan supaya target Kurikulum
2013 tidak sampai berjalan dalam atmosfer kegagapan dan
"kegalauan". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar