Minggu, 10 Maret 2013

Antara PSB dan Kurikulum 2013


Antara PSB dan Kurikulum 2013
Fitrotul Maulidiyah  ;  Dosen Universitas Muhammadiyah Malang,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang
SUARA KARYA, 09 Maret 2013


Salah satu subjek pengimplementasian Kurikulum 2013 adalah peserta didik, yang diperoleh dari sistem penerimaan siswa baru (PSB). Kalau cara yang digunakan dalam PSB memberikan tempat bermartabat, humanis, dan demokratis, maka penerapan Kurikulum 2013 tidak akan banyak menemui hambatan. Peserta didik yang mendapatkan perlakuan melalui sistem inklusif dan demokratis, akan menganggap kurikulum sebagai bagian dari sistem edukasi yang memanusiakan.

Sebaliknya, jika sistem PSB menempatkan (calon) peserta didik sebagai objek, dan bukan subjek, maka Kurikulum 2013 akan menemui batu sandungan besar. Peserta didik maupun masyarakat, tidak akan menempatkan Kurikulum 2013 sebagai jalan membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, tetapi sekedar produk 'yang perlu ada'.

Selama ini, salah satu penyakit atau patologi pendidikan yang nyaris selalu mencuat di "musim" penerimaan siswa baru, adalah pemiskinan atas nama pendidikan. Artinya, ada orangtua siswa yang kondisinya sedang payah secara ekonomi atau masuk bilangan "akar rumput", namun kondisi ketidakberdayaan ini masih juga dijadikan objek sapi perah oleh sekolah atas nama kepentingan pendidikan, masa depan anak didik, infrastruktur, dan sebagainya. Kalangan penyelenggara atau komunitas edukatif yang diberi kepercayaan memanajerial PSB, justru menjadikan momentum setiap tahun ajaran baru sebagai "pasar terbuka dan bebas" untuk mengisi dan memperbanyak pundi-pundi keuangan sekolahan atau uang saku pribadi dan sekelompok orang. Mereka ini barangkali tidak berfikir panjang kalau yang diterapkannya sejak dini pada calon peserta didik bisa berpengaruh besar dalam membentuk pola berfikir dan berperilakunya.

Mereka lupa pada ajaran filosof kenamaan Aristoteles bahwa semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Artinya, ketika seseorang terjerumus mendewakan atau menkulturkan perburuan uang, memperkaya diri, institusi atau korporasi, maka akan banyak pihak yang menjadi korban atau ditumbalkan.

Jika keserakahan ini terjadi di dunia pendidikan, maka otomatis yang menjadi tumbal adalah siswa. Penyelenggara PSB atau penanggung jawab sekolah bisa terjerumus menempatkan siswa bukan sebagai subjek didik yang dimanusiakan secara lahir dan batin, tetapi diperlakukan menjadi objek yang dijarah dan dikuras kemampuan ekonominya.

Kalau itu diberlakukan pada siswa yang secara ekonomi berada di jalur kemiskinan, maka praktik ini layak disebut sebagai dehumanisasi siswa miskin. Dunia pendidikan yang idealnya mengajarkan soal kasih sayang, kepedulian pada komunitas yang tak berdaya, atau doktrin memanusiakan manusia, justru terperangkap pada praktik penindasan.

Pemiskinan dijadikan alat ampuh untuk menciptakan kondisi pasif dan tak berdaya di kalangan orangtua siswa. Mereka ini dibuat tak berkutik menghadapi taring-taring kekejaman diskresi sekolah yang selalu bersifat "menembak" dengan dalih sebagai kewajiban-kewajiban siswa yang harus dipenuhi.

Pemiskinan itu merupakan gambaran dari bentuk "penzaliman" atau pengkriminalisasian masyarakat yang sudah berkutat di jalur ketidakberdayaan akibat kemiskinan yang sudah sekian lama membelenggunya. Meminjam istilah Jalaludin Rahmat, mereka dibentuk atau dipermak menjadi mustahd'afin, manusia (siswa) yang dibuat teraniaya, sengsara, atau semakin tak berdaya.

Dengan jumlah orang miskin yang masih terbilang besar sekitar 28,6 juta jiwa (BPS 2012), otomatis banyak orangtua siswa sedang dihadapkan pada akumulasi kesulitan. Mereka bukan hanya semakin kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, membayar berbagai bentuk "iuran" wajib seperti listrik, telpon, air, pajak, tetapi juga jelas makin tak berdaya jika dikondisikan memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh sekolah.

Katakanlah, meski siswa miskin itu sudah dibebaskan dari membayar SPP berkat dana BOS, tetapi mereka tetap tidak bisa bebas mutlak dari tekanan berbagai bentuk iuran yang didiskresikan oleh sekolah, mulai dari soal buku, seragam, karya wisata, asuransi, kursus-kursus, dan semacamnya.
Sekolah tampaknya masih belum bisa meninggalkan tradisi lamanya yang berpola represif. Yakni, bereksperimen dengan kebijakan baru yang dinilainya bisa mendatangkan uang untuk sekolahan, tanpa mempedulikan kesulitan ekonomi siswa miskin. Sekolah tetap menebar surat edaran yang berisi kewajiban 'ini-itu' yang harus dipenuhi oleh orangtua siswa miskin.

Pola pemiskinan siswa lewat PSB jelas bertentangan dengan jiwa pendidikan nasional. Ia layak digolongkan sebagai praktik penafian atau penihilan hak asasi anak-anak bangsa. Dalam pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Sementara pada Pasal 5 ayat (1) ditegaskan, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Dalam dimensi yuridis itu sudah jelas ditentukan, bahwa penyelenggaraan pendidikan harus didasarkan pada prinsip demokratis (memihak pada kemampuan rakyat), dan bukan pada keserakahan sekolah. Setiap siswa, termasuk siswa miskin wajib dimediasi supaya memperoleh pendidikan bermutu tanpa harus dikorbankan oleh diskresi atau sistem yang memiskinkannya. Calon peserta didik wajib dikenalkan sejak dini tentang model atau sistem PSB yang memanusiakan supaya target Kurikulum 2013 tidak sampai berjalan dalam atmosfer kegagapan dan "kegalauan". ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar