Minggu, 10 Maret 2013

Kembalikan Sekolah Rakyat


Kembalikan Sekolah Rakyat
Rindu Rumapea  ;  Guru di Sekolah Berbasis Karakter di Medan, Anggota Perkamen
SUARA KARYA, 09 Maret 2013


Mengingat Indonesia adalah bangsa yang besar dan pemerataan pembangunan serta perekonomian masih menjadi persoalan rumit, tak heran kalau kehidupan sehari-hari bak hidup di hutan. Yang kuat jadi pemenang, yang lemah harus siap kalah. Inilah era baru dunia pendidikan yang memunculkan fenomena imperialisme pendidikan. Maraknya sekolah-sekolah eksklusif berbiaya mahal, menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi suatu sistem yang dirancang untuk memperoleh kekuasaan dan keuntungan besar.

Jika kita menginjakkan kaki di sekolah saat ini, maka mulai dari ujung kaki (sepatu) hingga kepala (topi) harus memiliki nilai sesuai standar sekolah. Hal ini tentu menjadi batasan bagi anak-anak Indonesia yang ingin sekolah, namun tidak memiliki biaya.

Memang benar, ada dana bantuan operasi sekolah (BOS), namun apakah dana tersebut mampu memfasilitasi anak-anak untuk memperoleh hak bersekolah? Banyak sekolah memang yang menggratiskan biaya sekolah, namun apakah kualitas pendidikan yang diberikan bernilai mahal? Atau, jangan-jangan malah kualitasnya pun kualitas gratisan? Di sekilah-sekolah tertentu, setiap ada kesempatan nemungut biaya pendidikan, malah menjadi lahan basah untuk memperkaya diri pihak-pihak tertentu. Dana BOS bahkan menjadi pendapatan atau bonus bagi penyelenggara sekolah.

Lainnya lagi, dunia sekolah malah menjadi tempat strategis untuk menjadi penguasa daerah. Mari kita saksikan sekolah-sekolah binaan di provinsi, kabupaten, dan kota, sekarang ini. Pemerintah malah leluasa melakukan politiknya untuk menguasai pendidikan. Akhirnya, nasib kepala sekolah bergantung kepada menang atau tidaknya calon gubernur, bupati atau walikota yang diusungnya.

Jika seorang kepala daerah menang dalam pilkada, maka langgenglah jabatan kepala sekolah di sekolah binaan tersebut. Jika kalah maka sang kepala sekolah akan menerima konsekuensi mutasi ke sekolah lain. Dhus, penguasa memanfaatkan sistem birokrasi agar kepala sekolah tunduk kepada penguasa demi jabatan yang dipegangnya.

Kepentingan-kepentingan seperti itulah yang merusak citra pendidikan kita. Pendidikan yang sejatinya alat mencerdaskan siswa malah menjadi mesin politik yang sarat akan intrik dan kebohongan. Dengan semakin besarnya perputaran uang di sekolah, maka oknum-oknum tertentu bisa menyalahgunakannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mewujudkan sekolah yang benar-benar tidak berorientasi pada biaya atau uang.

Kembalikan sekolah rakyat, mungkin itulah salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi semakin eksklusifnya dunia pendidikan yang malah dijadikan barang komoditas. Dulu, sekolah dasar dikenal sebagai sekolah rakyat. Setiap rakyat Indonesia memiliki peluang yang sama untuk bisa sekolah. 

Namun, kini berubah menjadi sekolah dasar, di mana dasar-dasar pendidikan diberikan kepada siswa.
Perbedaan ini jelas menggambarkan perbedaan arah pendidikan dasar, jika sekolah rakyat corongnya untuk menjamin semua rakyat sekolah. Namun tidak demikian dengan sekolah dasar yang arahnya untuk menjamin anak didik bisa membaca, menulis, dan berhitung. Untuk mampu menguasai ketiga keterampilan tersebut maka pendidikan bernilai jual. Pendidikan yang dibayar dengan murah akan lama waktu bagi siswa untuk menguasai atau bisa membaca, menulis, dan berhitung. Dan, sebaliknya jika dibayar dengan biaya mahal, maka guru akan bekerja lebih ekstra untuk mengajari siswa secara intensif sehingga dalam jangka waktu yang singkat siswa sudah menguasai ketiga hal tersebut.

Guru sekolah rakyat benar-benar penuh perjuangan dalam mengajar peserta didik. Banyaknya siswa yang tinggal kelas di era sekolah rakyat menjadi bukti keseriusan pendidikan untuk melahirkan manusia unggul. Lain halnya dengan keadaan saat ini, ketika peserta didik tinggal kelas, malah guru yang ditegur dan dianggap mengajar tidak becus sehingga guru pun malah tidak berani menyatakan secara tegas bahwa kualitas peserta didiklah yang lemah. Akhirnya, tidak ada satu pun orangtua atau siswa yang siap menerima kalau anaknya tinggal kelas karena memang sangat jarang siswa yang tidak naik kelas. 

Kuatnya imperialisme dalam dunia pendidikan, menyimpangkan corong pendidikan di Indonesia. Maka, pemerintah perlu kembali menekankan bahwa pendidikan adalah untuk semua. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama tanpa harus dibatasi biaya sekolah, perlengkapan diri, atau penampilan pribadi untuk bisa bersekolah. Anak didik pun jangan sampai melihat atau merasa bahwa sepatu koyak atau baju sekolah bekas menjadi penghalang untuk belajar di kelas. Anak didik pun harus bisa merasa bahwa sekolah itu adalah jati dirinya, bukan rumah mewah.

Kita patut bersyukur bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan hal ini termaktub dalam UUD 1945. Tujuan tersebut jelas menjadi landasan utama arah pembangunan bangsa. Namun, kenyataannya memang sedikit berbeda, kian hari masyarakat malah semakin sulit untuk bisa menempatkan anaknya duduk di bangku sekolah dasar yang berkualitas. Ini menjadi persoalan serius, karena hal tersebut terjadi secara sistemik.

Banyak regulasi dan kebijakan yang dibuat akhir-akhir ini malah mendiskriminasi kaum miskin dalam pendidikan. Padahal, gaung wajib belajar sembilan tahun telah lama terdengar. Oleh karena itu, rakyat sangat mengidam-idamkan sekolah yang merakyat. Sekolah yang setiap anak-anak rakyat Indonesia bisa menikmatinya tanpa embel-embel apa pun.

Seragam sekolah memang indah dipandang mata, namun membuat putus asa bagi anak-anak yang tidak mampu membelinya. Biaya sekolah memang untuk menjamin kualitas, namun menjadi momok bagi masyarakat yang tidak mampu. Dhus, sudah saatnya wujudkan sekolah rakyat untuk semua rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar