Minggu, 10 Maret 2013

Konflik TNI-Polri Cermin Ego Angkatan


Konflik TNI-Polri Cermin Ego Angkatan
Yusa Djuyandi  ;  Peneliti pada Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Kebanggaan
MEDIA INDONESIA, 09 Maret 2013


SEMENJAK pemisahan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1999, yang merupakan bagian dari tuntutan reformasi di sektor keamanan, masyarakat berharap anggota Polri dan TNI akan menjadi profesional dan bertanggung jawab terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Akan tetapi pada kenyataannya, pascapemisahan tersebut, aparat kedua institusi lebih sering memunculkan ego angkatan masing-masing sehingga permasalahan yang seharusnya bisa diselesaikan lewat jalan perundingan dan hukum lebih sering diselesaikan lewat adu fisik atau kekuatan.

Peristiwa perusakan dan pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) di Sumatra Selatan oleh sejumlah anggota TNI dari Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) 15/76 Tarik Martapura merupakan peristiwa yang menggambarkan bagaimana permasalahan ego angkatan belum sepenuhnya dapat dihapuskan dari kedua institusi. Konflik yang lebih sering diselesaikan lewat adu kekuatan antarangkatan juga mencerminkan masih ada sebagian aparat yang lebih mengedepankan hukum rimba. 
Kondisi itu tentunya memunculkan citra negatif masyarakat terhadap kedua angkatan yang seharusnya dapat memberikan contoh yang baik dalam upaya penegakan hukum.

Rekan Jejak Konflik

Bentrokan TNI–Polri yang terjadi untuk kesekian kalinya di Indonesia menunjukkan relasi TNI-Polri masih menyimpan sejumlah masalah. Konflik yang berujung bentrok antara aparat Polri dan TNI pada umumnya terjadi ketika salah satu anggota dari angkatan tertentu menyinggung anggota dari angkatan lainnya. Seperti halnya yang terjadi di OKU, ketika seorang anggota TNI kabarnya menjadi korban penembakan aparat kepolisian yang sedang melakukan operasi. Peristiwa itu kemudian menyulut emosi sebagian aparat TNI untuk melakukan penyerangan ke Mapolres OKU.

Bom Waktu

Bentrokan sebelumnya juga pernah terjadi di Maluku Tengah pada 2008. Peristiwa itu menewaskan masing-masing empat personel dari Polres Malteng dan TNI dari Yonif 731/Kabaresi. Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Binjai pada 2007, yakni penyerangan anggota Satuan Elite Rider/900 terhadap sekelompok polisi di Stadion Sepak Bola Mayor Metra.

Peristiwa-peristiwa bentrokan tersebut menunjukkan rekam jejak negatif hubungan di antara aparat kedua institusi di lapangan. Penulis pernah memprediksi sebelumnya bahwa pascakejadian di Maluku Tengah, bentrok serupa bukan mustahil akan kembali terjadi dalam beberapa kurun waktu ke depan, mengingat masih kuatnya ego tiap angkatan pascapemisahan kedua institusi.

Rawannya konflik di antara kedua angkatan itu juga pernah diakui beberapa perwira menengah di jajaran TNI dan Polri. Ada bom waktu yang kapan saja bisa meledak dan potensi itu bisa terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Reformasi memang telah berhasil memisahkan Polri dan TNI. Akan tetapi, tujuan reformasi yang sesungguhnya untuk menciptakan profesionalitas di kedua angkatan belum bisa tercapai secara penuh, mengingat bukan musuh yang mereka lawan atau perangi, melainkan saudara sendiri. Fenomena konflik yang terjadi di Indonesia menunjukkan reformasi kedua lembaga itu ternyata belum berjalan sesuai dengan harapan.

Di satu sisi, di dalam tubuh TNI masih ada yang berpandangan tentang senioritas dan junioritas bahwa mereka lebih senior daripada Polri sehingga sudah sepantasnya Polri harus patuh. Namun di sisi lain, Polri beranggapan mereka bukan lagi bagian dari militer. Mereka merasa nyaman dengan posisi saat ini langsung di bawah presiden dan mendapat sejumlah fasilitas yang jauh lebih baik daripada aparat TNI.

Menghentikan Ego

Di saat militer dan polisi negara-negara lain melangkah maju dan bersatu dalam menghadapi segala ancaman dan permasalahan yang mungkin mengancam negara, aparat militer dan kepolisian di Indonesia justru mengalami kemunduran dengan memelihara ego angkatan dan konflik. Ego angkatan dan konflik bukan merupakan suatu hal yang patut dipuji.

Sudah bukan saatnya lagi pihak TNI ataupun Polri terus memelihara ego sektoral. Mereka harus membenahi diri guna meminimalisasi konflik yang terjadi.

Untuk menghentikan pertikaian tersebut, diperlukan campur tangan pemerintah sebagai pihak yang memfasilitasi komunikasi di antara kedua pihak. Untuk mengantisipasi terjadinya konflik yang berkepanjangan, diperlukan mekanisme pengaturan hubungan kedua lembaga `kakak-beradik' itu dalam suatu rumusan UU Keamanan Nasional.

Untuk mengatasi hambatan terjadinya bentrokan, diperlukan rambu-rambu lain berupa sanksi yang diberikan kepada aparat yang bertikai. Itu sebabnya pembahasan RUU Peradilan Militer menjadi sangat perlu untuk segera dirampungkan.

Penghentian pertikaian antara TNI dan Polri secara umum akan menciptakan harmonisasi hubungan yang berdampak pada peningkatan profesionalitas kerja tiap angkatan. Ketika telah terbangun, hal tersebut akan berpengaruh juga terhadap terciptanya kondisi keamanan nasional yang lebih baik.

Keadaan atau kondisi keamanan nasional yang baik tentunya berdampak pada besarnya apresiasi yang diberikan masyarakat ke pada kedua instansi tersebut sehingga kebanggaan TNI dan Polri bukan terletak pada ego angkatan masing-masing, melainkan dari hasil kerja keras dan penilaian masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar