SEMENJAK pemisahan institusi Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1999, yang
merupakan bagian dari tuntutan reformasi di sektor keamanan, masyarakat
berharap anggota Polri dan TNI akan menjadi profesional dan bertanggung
jawab terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Akan tetapi pada kenyataannya, pascapemisahan tersebut, aparat kedua
institusi lebih sering memunculkan ego angkatan masing-masing sehingga
permasalahan yang seharusnya bisa diselesaikan lewat jalan perundingan dan
hukum lebih sering diselesaikan lewat adu fisik atau kekuatan.
Peristiwa perusakan dan pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU)
di Sumatra Selatan oleh sejumlah anggota TNI dari Batalyon Artileri Medan (Yon
Armed) 15/76 Tarik Martapura merupakan peristiwa yang menggambarkan
bagaimana permasalahan ego angkatan belum sepenuhnya dapat dihapuskan dari
kedua institusi. Konflik yang lebih sering diselesaikan lewat adu kekuatan
antarangkatan juga mencerminkan masih ada sebagian aparat yang lebih
mengedepankan hukum rimba.
Kondisi itu tentunya memunculkan citra negatif
masyarakat terhadap kedua angkatan yang seharusnya dapat memberikan contoh
yang baik dalam upaya penegakan hukum.
Rekan Jejak Konflik
Bentrokan TNI–Polri yang terjadi untuk kesekian kalinya di Indonesia
menunjukkan relasi TNI-Polri masih menyimpan sejumlah masalah. Konflik yang
berujung bentrok antara aparat Polri dan TNI pada umumnya terjadi ketika
salah satu anggota dari angkatan tertentu menyinggung anggota dari angkatan
lainnya. Seperti halnya yang terjadi di OKU, ketika seorang anggota TNI
kabarnya menjadi korban penembakan aparat kepolisian yang sedang melakukan
operasi. Peristiwa itu kemudian menyulut emosi sebagian aparat TNI untuk
melakukan penyerangan ke Mapolres OKU.
Bom Waktu
Bentrokan sebelumnya juga pernah terjadi di Maluku Tengah pada 2008.
Peristiwa itu menewaskan masing-masing empat personel dari Polres Malteng
dan TNI dari Yonif 731/Kabaresi. Peristiwa serupa juga pernah terjadi di
Binjai pada 2007, yakni penyerangan anggota Satuan Elite Rider/900 terhadap
sekelompok polisi di Stadion Sepak Bola Mayor Metra.
Peristiwa-peristiwa bentrokan tersebut menunjukkan rekam jejak
negatif hubungan di antara aparat kedua institusi di lapangan. Penulis
pernah memprediksi sebelumnya bahwa pascakejadian di Maluku Tengah, bentrok
serupa bukan mustahil akan kembali terjadi dalam beberapa kurun waktu ke
depan, mengingat masih kuatnya ego tiap angkatan pascapemisahan kedua
institusi.
Rawannya konflik di antara kedua angkatan itu juga pernah diakui
beberapa perwira menengah di jajaran TNI dan Polri. Ada bom waktu yang
kapan saja bisa meledak dan potensi itu bisa terjadi di hampir seluruh
wilayah Indonesia.
Reformasi memang telah berhasil memisahkan Polri dan TNI. Akan
tetapi, tujuan reformasi yang sesungguhnya untuk menciptakan
profesionalitas di kedua angkatan belum bisa tercapai secara penuh,
mengingat bukan musuh yang mereka lawan atau perangi, melainkan saudara
sendiri. Fenomena konflik yang terjadi di Indonesia menunjukkan reformasi
kedua lembaga itu ternyata belum berjalan sesuai dengan harapan.
Di satu sisi, di dalam tubuh TNI masih ada yang berpandangan tentang
senioritas dan junioritas bahwa mereka lebih senior daripada Polri sehingga
sudah sepantasnya Polri harus patuh. Namun di sisi lain, Polri beranggapan
mereka bukan lagi bagian dari militer. Mereka merasa nyaman dengan posisi
saat ini langsung di bawah presiden dan mendapat sejumlah fasilitas yang
jauh lebih baik daripada aparat TNI.
Menghentikan Ego
Di saat militer dan polisi negara-negara lain melangkah maju dan
bersatu dalam menghadapi segala ancaman dan permasalahan yang mungkin
mengancam negara, aparat militer dan kepolisian di Indonesia justru
mengalami kemunduran dengan memelihara ego angkatan dan konflik. Ego
angkatan dan konflik bukan merupakan suatu hal yang patut dipuji.
Sudah bukan saatnya lagi pihak TNI ataupun Polri terus memelihara ego
sektoral. Mereka harus membenahi diri guna meminimalisasi konflik yang
terjadi.
Untuk menghentikan pertikaian tersebut, diperlukan campur tangan
pemerintah sebagai pihak yang memfasilitasi komunikasi di antara kedua
pihak. Untuk mengantisipasi terjadinya konflik yang berkepanjangan,
diperlukan mekanisme pengaturan hubungan kedua lembaga `kakak-beradik' itu
dalam suatu rumusan UU Keamanan Nasional.
Untuk mengatasi hambatan terjadinya bentrokan, diperlukan rambu-rambu
lain berupa sanksi yang diberikan kepada aparat yang bertikai. Itu sebabnya
pembahasan RUU Peradilan Militer menjadi sangat perlu untuk segera
dirampungkan.
Penghentian pertikaian antara TNI dan Polri secara umum akan
menciptakan harmonisasi hubungan yang berdampak pada peningkatan
profesionalitas kerja tiap angkatan. Ketika telah terbangun, hal tersebut
akan berpengaruh juga terhadap terciptanya kondisi keamanan nasional yang
lebih baik.
Keadaan atau kondisi keamanan nasional yang baik tentunya berdampak
pada besarnya apresiasi yang diberikan masyarakat ke pada kedua instansi
tersebut sehingga kebanggaan TNI dan Polri bukan terletak pada ego angkatan
masing-masing, melainkan dari hasil kerja keras dan penilaian masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar