Pendidikan Hati
Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan;
Pengajar di Universitas
Multimedia Nusantara
|
KOMPAS,
11 September 2015
Pembentukan karakter
dan budi pekerti menjadi prioritas kebijakan pendidikan yang ingin
dikembangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Namun,
kebijakan ini hanya efektif apabila pengembangan budi pekerti—meminjam
istilah Blaise Pascal—menyentuh rasionalitas hati.
Ujaran Pascal yang
terkenal, ”Hati memiliki akalnya sendiri, di mana akal tidak mengenalnya”,
masih relevan.
Hati memang memiliki
akal yang mengatasi rasionalitas logika manusia yang mendasarkan diri pada
hukum-hukum formal. Hidup manusia terlalu dangkal apabila hanya dinilai
semata-mata dari dimensi formalnya. Pendidikan karakter yang abai terhadap
dimensi rasionalitas hati bisa jatuh sekadar pada formalisme. Jika ini
terjadi, pendidikan karakter tidak akan berhasil sebab setiap indoktrinasi
bukan saja melemahkan akal, melainkan sekaligus mematikan nurani.
Fondasi kemanusiaan
Hati dan nurani adalah
dua fondasi dasar kemanusiaan yang mampu melahirkan pemimpin besar. Pemimpin
besar melihat dengan hati dan bertindak dengan nurani, baru kemudian dengan
akal dan keterampilannya mendesain tatanan dunia baru yang lebih baik.
Apabila pendidikan kita mau melahirkan para pemimpin bangsa yang besar,
pendidikan hati dan nurani merupakan prioritas yang perlu diambil agar
pendidikan mampu melahirkan para pembaru sejarah.
Telah lama, konon,
katanya, pendidikan kita sangat timpang dan fokus pada pendidikan akal.
Ironisnya, kajian-kajian internasional menunjukkan anak-anak Indonesia justru
lemah dalam penggunaan akal. Anak-anak Indonesia ternyata kuat hanya dalam
hal menghafal. Jika diminta menjawab pertanyaan dari bahan bacaan, anak
Indonesia akan terlihat sangat pintar. Namun, begitu diminta menerapkan isi
bacaan dalam persoalan nyata di kehidupan, anak-anak Indonesia mulai terlihat
agak lambat. Kualitas penggunaan akal anak-anak Indonesia termasuk dalam pola
berpikir tingkat rendah.
Pola berpikir tingkat
rendah, seperti menghafal, memang harus dilalui siapa pun yang mau belajar.
Bahkan, kekuatan menghafal ini, apabila diterapkan secara baik, bisa jadi
sumber kekuatan pribadi yang luar biasa. Ia bisa menjadikan seorang jadi ahli
bahasa. Kemampuan berbahasa sering kali terbantu apabila seseorang punya
kekuatan menghafal yang luar biasa.
Ketika kemampuan
berbahasa ini meningkat, otomatis konstruksi pemikiran logis dalam diri anak
juga akan terbentuk. Jadi, kelirulah kita mengatakan bahwa pendidikan kita yang
masih pada level menghafal ini adalah buruk.
Menghafal adalah salah
satu tahapan dalam proses pendidikan. Namun, masih ada banyak tahapan lain,
tantangan lain, yaitu cara berpikir tingkat tinggi yang perlu dikembangkan
oleh siswa agar ia memiliki kemampuan berpikir kritis, analitis, sehingga
mampu membangun sebuah sintesis dalam mengonstruksi realitas.
Cara berpikir tingkat
tinggi yang sering digembar-gemborkan sebagai proses pendidikan yang unggul
pun sebenarnya hanya salah satu dimensi proses pendidikan. Pascal jauh-jauh
hari sudah mengingatkan bahwa hati memiliki akalnya sendiri yang tak dikenal
oleh akal manusia. Ungkapan Pascal zaman itu merupakan tanggapan dari pola
pendidikan sarat beban akal yang berpuncak pada ungkapan Descartes: Cogito ergo sum (Aku berpikir maka aku
ada). Descartes contoh paling gamblang di mana eksistensi manusia hanya
diredusir pada otaknya semata. Akibatnya, kehancuran demi kehancuran yang
kemudian muncul. Puncak kehancuran dari rasionalitas manusia tampil nyata
dalam peristiwa Perang Dunia II yang meluluhlantakkan kemanusiaan.
Perang Dunia II
membawa manusia bertanya tentang arti kemajuan dan apa fungsi akal mereka.
Sebab, pasti ada yang kurang apabila akal ternyata justru menyingkirkan
nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Tersingkirnya nilai-nilai kemanusiaan
akibat pendidikan yang berat ke akal mengajak kita kembali melihat hati
sebagai bagian penting dalam proses pendidikan.
Keterbatasan akal
Bagi kita adalah
sangat menarik mencermati bagaimana publik dahulu mengidolakan pasangan Joko
Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai sosok pemimpin yang genial,
memiliki keunikan dan kekhasan yang memberikan harapan. Mereka adalah sosok
pemimpin yang mau memimpin dengan hati. Lahirnya dua sosok pemimpin ini
membuat harapan kita tumbuh, bahwa akhirnya kita memiliki sosok pemimpin yang
tegas dan berani, yang kata-katanya keras, dan kebijakannya tegas dalam
membela hak-hak rakyat.
Mengapa harapan ini
memudar belakangan ini? Karisma Joko Widodo, sosok harapan rakyat, ternyata
harus berhadapan dengan kultur politik yang membelenggu, yang membuatnya
tidak lagi bebas mengekspresikan mata hatinya kepada rakyat. Bahkan, Basuki
Tjahaja Purnama pun, meskipun tetap tegas dan keras, sekarang lebih suka
berlindung di balik alasan legal formal, terutama dalam kasus penggusuran
warga Kampung Pulo, ketimbang memandang wajah-wajah warga kotanya dengan mata
hati dan nurani.
Harus segera ada
proses pendidikan yang melengkapi kekurangan ini. Penumbuhan budi pekerti
yang menyentuh hati dan merawat nurani perlu didukung. Sebab, persis inilah
saat ini yang defisit dalam pendidikan kita. Anak-anak kita perlu belajar
tentang persoalan sosial di ruang-ruang yang steril dari bau keringat dan
peluh orang-orang yang bergulat dan berjuang demi mempertahankan sepetak
tanah dan mendapatkan sesuap nasi.
Pendidikan hati dan
nurani perlu jadi salah satu alternatif eksposur, selain model formal yang
sudah diinisiasi, seperti kewajiban upacara bendera dan menyanyikan
”Indonesia Raya”. Anak-anak Indonesia yang sedang belajar tidak akan mengenal
siapa sesama mereka, sesama warga bangsa yang memiliki pengalaman berbeda
jika mereka selama hidupnya tak pernah bertemu-berjumpa dengan sisi-sisi
kemanusiaan yang lain, yang wajah-wajahnya hilang dalam banjir imaji dan citra
media.
Pendidikan
rasionalitas hati hanya bisa tumbuh sejak dini apabila anak-anak memiliki
pengalaman berjumpa dengan wajah-wajah manusia lain yang terpinggirkan dan
termarjinalkan yang hidup di pinggiran kali ataupun di tumpukan sampah.
Benar kata Pascal,
hati memang memiliki akalnya sendiri yang tidak dikenal oleh akal manusia.
Hanya melalui pengalaman perjumpaan mendalam terhadap kemanusiaan seperti
ini, pendidikan kita mampu melahirkan pemimpin besar yang bisa memimpin bukan
hanya dengan kekuatan akal, dan keberanian untuk bertindak, melainkan juga
dengan hati. Karena wajah mereka yang tertindas, terpinggirkan, dan
diperlakukan tidak adil adalah wajah mereka juga, wajah kemanusiaan Indonesia
yang sedang meneriakkan keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar