Polisi, "Ojo Dumeh"
Bambang Widodo Umar ; Guru Besar Sosiologi Hukum FISIP UI;
Pengamat Kepolisian
|
KOMPAS,
21 September 2015
Polisi ojo dumeh, ojo rumongso biso, nanging biso
rumongso (polisi jangan sok, jangan
merasa bisa, tetapi bisalah merasakan). Merasakan dalam arti tidak
meremehkan orang ataupun lingkungannya. Demikian pepatah Jawa mengingatkan.
Setelah Kepala
Bareskrim Komjen Suhardi Alius diganti oleh Komjen Budi Waseso, panggung
media banyak diwarnai oleh "aksi kepolisian". Penangkapan demi
penangkapan dilakukan terhadap koruptor, juga terhadap bandar narkotik,
terorisme, membongkar kasus pembunuhan yang menyita perhatian publik, dan
sebagainya. Suatu perubahan yang mengesankan dari kemampuan polisi yang
semula biasa-biasa saja menjadi progresif dan militan.
Kiprah polisi
Fantastis! Siapa yang
tak bangga kalau punya polisi yang tanggap, tanggon dan trengginas. Dalam
arti benar-benar melembaga, bukan sekadar pencitraan. Isu profesionalisme
yang selama ini masih diragukan seperti ditebas, muncul jago-jago polisi
dalam aksinya yang memukau. Kita salut jika hal itu dilandasi profesionalisme
dan integritas moral, apalagi disertai dengan perbaikan lembaganya.
Keberhasilan polisi
harus dipertahankan, dan ke depan harus lebih baik. Setidaknya mempertahankan
hasil yang sudah dicapai. Jangan sampai kiprah polisi-terutama dalam menindak
kejahatan korupsi-menurun, apalagi kalau ada yang main "86". Citra
polisi pasti terpuruk lagi.
Aksi polisi dalam
mengungkap kejahatan terus bergulir, seakan tidak ada yang bisa menghalangi.
Sejak penangkapan komisioner KPK Bambang Widjojanto alias BW, perhatian
masyarakat terhadap polisi makin meningkat. Dari peristiwa itu istilah
kriminalisasi menjadi populer. Istilah yang cenderung memberi arti "mencari-cari
kesalahan" orang, "bukan perbuatan yang bukan pidana
dipidanakan". Tidak peduli dengan arti istilah tersebut, aksi kepolisian
terus menggeliat dan mencemaskan orang ataupun sekelompok orang, tentunya
yang bersalah.
Dari kiprah polisi
yang menggebu-gebu, Syafii Maarif mengingatkan agar aparat penegak hukum
tidak bertindak sewenang-wenang. Sebab, ada kecenderungan aparat penegak
hukum melukai hati masyarakat karena dengan mudah menjadikan seseorang
sebagai tersangka. Terhadap hal itu, Buya Syafii berharap Presiden bertindak
tegas.
Pernyataan Buya Syafii
itu tak sekadar bertolak dari penetapan dua komisioner Komisi Yudisial
menjadi tersangka, tetapi terkait kasus-kasus sebelumnya dalam rangkaian
konflik KPK-Polri. Sebutlah seperti cara penangkapan BW yang "diborgol"
hingga ditetapkan sebagai tersangka; juga penetapan AS, DI, dan NB sebagai
tersangka, serta eskalasi teror terhadap penyidik KPK.
Peristiwa terakhir,
penggeledahan di kantor PT Pelindo II. Lepas dari dugaan ada intervensi atau
tidak terhadap kasus pengadaan crane,
Dirut Pelindo II RJ Lino mengancam mengundurkan diri karena "cara"
tim Bareskrim dalam menggeledah kantornya tidak memberi tahu lebih dulu
kepada dirinya. Menurut ketentuan KUHAP, polisi harus minta izin lebih dahulu
kepada ketua pengadilan negeri setempat dan tentunya harus memberitahukan
kepada penanggung jawab kantor yang akan digeledah.
Menangkap fenomena
tersebut, masalahnya tentu bukan sekadar menyangkut hal yang bersifat
"teknis" dan "taktis" kepolisian dalam penegakan hukum.
Lebih dari itu adalah bagaimana sesungguhnya "kebijakan" pemerintah
dalam menanggulangi korupsi yang masih marak di Indonesia. Bagi polisi, tidak
mudah memahami rangkaian peristiwa itu karena posisinya dalam
"pemerintahan". Dari aksi-aksi kepolisian, ada kecenderungan polisi
terseret pada kepentingan subyektif dalam kontroversi penanggulangan korupsi.
Dengan leluasa dan semangat tinggi, polisi menindak koruptor, tetapi tidak
ingat ia berada dalam konstelasi politik.
Polemik kepolisian pun
terus merebak. Euforia aksi kepolisian sampai membuat Menko Polhukam angkat
bicara, mungkin khawatir bisa punya efek terhadap bidang pembangunan yang
lain. "Penegak hukum tidak boleh
gaduh. Bukan berarti tidak boleh memberantas korupsi. Tangkap silakan, tapi
enggak perlu gaduh, bisa diambil, tidak usah pakai wartawan." Dari
sini seolah ada pesan buat polisi: "ojo
dumeh".
Adalah Kepala Polri
periode 1986-1991 Jenderal (Pol) M Sanusi yang mengangkat ojo dumeh menjadi
simbol polisi. Ia mengingatkan kepada semua aparat kepolisian agar dalam
menjalankan tugas bersikap ojo dumeh.
Nasihat itu masih relevan dan penting bagi sepak terjang polisi saat ini, dan
tentunya tidak hanya ditujukan kepada bawahan, tetapi juga bagi para petinggi
polisi di seluruh kesatuan.
Ojo dumeh merupakan falsafah Jawa yang sangat populer. Dalam kehidupan
sehari-hari filosofi ini bersifat aplikatif dan sudah digunakan kalangan
luas, tidak terbatas pada orang Jawa. Dalam bahasa sehari-hari ojo dumeh bisa diterjemahkan sebagai
'jangan mentang-mentang' atau 'jangan sok'. Secara kata per kata, ojo berarti 'jangan', dan dumeh
berarti 'sombong'. Jadi, ojo dumeh
mengandung makna jangan sombong dan merasa sudah hebat sendiri karena hal itu
bisa jadi bumerang pada diri sendiri, tetapi berbagilah rasa dengan sesama
dan saling mencinta.
Ingat dan waspada
Selain itu, ojo dumeh
memiliki makna luas, seperti: (1) ojo
dumeh kuwoso, jangan mentang-mentang jadi penguasa, lalu tingkah laku
menjadi sombong dan congkak; (2) ojo
dumeh menang, jangan mentang-mentang bisa mengalahkan lawan lalu
tindakannya sesukanya; (3) ojo dumeh
kuat lan gagah, jangan mentang-mentang kuat dan gagah lalu tindakannya
gegabah dan semaunya; (4) ojo dumeh
pinter, jangan mentang-mentang pintar lalu kelakuannya menyimpang dan
tidak bijaksana dari aturan yang ada; dan (5) ojo dumeh sugih, jangan mentang-mentang kaya lalu tidak peduli
kepada yang lemah.
Sikap ojo dumeh sering merasuki manusia yang
suka menyimpang dari kepatutan. Ia merasa lebih daripada yang lain, terjadi
karena ia tidak lagi mengabdikan dirinya pada praksis moral, melainkan
tenggelam dalam pikiran sendiri yang melihat realitas manusia sebagai potensi
yang bisa ditundukkan, bisa dimanipulasi dan dikuasai (Hadiwardoyo, 1984).
Meremehkan ojo dumeh bisa bermuara pada
penyalahgunaan kekuasaan. Ada korelasi antara penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenangan besar yang dilekatkan pada suatu organisasi (polisi). Seperti kata
Lord Acton, "power tends to
corrupt and absolute power corrupts absolutely". Karena itu, polisi
dituntut selalu "ingat dan waspada", memahami benar-benar setiap
tindakannya dan berani menanggung risiko atas perbuatannya. Tidak lepas
tanggung jawab, tak berkelit, tak berbohong terutama pada diri sendiri,
bersih dalam nurani, dan konsisten menjalankan tugas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar