Selasa, 29 September 2015

Belum Ada Tangga Turun untuk Rupiah

Belum Ada Tangga Turun untuk Rupiah

Ronny P Sasmita ;  Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia; Alumnus Pascasarjana UI
                                           MEDIA INDONESIA, 28 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MENCERMATI tekanan internal dan eksternal yang membuat rupiah sesak napas belakangan ini sebenarnya mirip memperhatikan lemparan batu ke dalam lubuk sungai yang sejatinya berkemungkinan kecil untuk mengapung kembali. Tak ada prediksi lain selain bahwa batu tersebut akan mendarat mulus di permukaan terbawah dari lubuk sesuai yang dibayangkan.

Sejak masa akhir pemerintahan SBY sampai setahun pertama pemerintahan Jokowi-JK, arah pergerakan rupiah sudah nyaris ‘confirmed’ melemah secara simultan. Data– data fundamental ekonomi nasional terus menyemai efek psikologis market yang negatif kepada pasar. Pesimisme semakin menggumpal yang akhirnya membuat pelaku pasar memilih untuk menunggu, bahkan malah hengkang dari arena domestik menuju lokasi-lokasi yang lebih pasti, stabil, dan menguntungkan.

Guncangan dari Tiongkok dan ketidakpastian yang muncul akibat tarik-ulur kenaikan tingkat suku bunga The Fed telah membuat segala daya dan upaya pemerintah bersama otoritas moneter menjadi tak berpengaruh besar terhadap penguatan mata uang dan pasar ekuitas. Capital inflow semakin sulit didorong meskipun surat utang terus membukukan penjualan yang hampir mendekati limit APBN 2015.

Bahkan, Bank Indonesia (BI) memprediksi kondisi ekonomi Indonesia sampai semester I tahun depan belum akan menunjukkan perbaikan signifi kan. Prediksi ini tentu sangat bisa dipahami jika melihat data-data indikator ekonomi yang ada. Lihat saja misalnya, data defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) dan defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Secara historis, kondisi defi sit dua sisi ini sebenarnya jarang terjadi karena jika dilihat data dari tahun ke tahun sejak akhir 2011 hingga sekarang, Indonesia hanya mengalami defi sit transaksi berjalan saja.

Seperti sederhana, NPI mencatat transaksi ekonomi antara penduduk Indonesia dan yang bukan penduduk Indonesia pada suatu periode tertentu. Transaksi NPI terdiri dari transaksi berjalan, transaksi modal, dan transaksi finansial, sedangkan neraca transaksi berjalan fokus pada transaksi ekspor dan impor, baik barang maupun jasa, pendapatan investasi, pembayaran cicilan, dan pokok utang luar negeri, serta saldo kiriman dan transfer uang dari dan ke luar negeri.

Menurut BI, surplus baru akan terjadi ketika situasi relatif tenang. Nah, situasi tenang tersebut diperkirakan hanya akan berlangsung pada triwulan ketiga tahun depan. Artinya, pada triwulan III 2015 hingga triwulan II 2016, NPI diperkirakan masih akan tetap defisit.

Berdasarkan data saat ini, pada triwulan II 2015, defisit NPI yang sudah dialami Indonesia ialah sebesar US$ 2,93 miliar. Defi sit terjadi karena surplus transaksi finansial turun ke posisi US$ 2,48 miliar dari US$ 6,31 miliar pada triwulan sebelumnya. Secara historis, Defi sit NPI terakhir kali dialami Indonesia pada 2013 sebesar US$ 7,14 miliar. Nah, dengan infl ow yang minim seperti inilah yang membuat BI akhirnya juga ikut mengubah proyeksi pergerakan rupiah pada tahun depan, yakni dalam kisaran Rp13.700 Rp13.900 per dolar AS.

Mengendurnya aliran dan arus dana masuk atau capital inflow, baik karena transaksi finansial di dalam negeri yang kurang berprospek alias kurang menjanjikan maupun karena kondisi ekonomi makro dalam negeri dan global yang cenderung menebar kekhawatiran dan ketidakpastian, tentu akan menjadi duri domestik tersendiri bagi rupiah untuk bangkit.

Sementara itu, gagalnya pemerintah dan pihak legislatif dalam memproyeksikan perekonomian ke depan via APBN-P 2015 dan APBN 2016 membuat kalkulasi-kalkulasi masa depan pelaku pasar pun ikut meleset. Buyarnya proyeksi perekonomian pemerintah serta-merta akan membuat rencana penerimaan negara pun meleset, baik dari sisi pajak maupun nonpajak. Melesetnya kalkulasi penerimaan ini tentu buah dari melesetnya proyeksi dinamika masa depan perekonomian secara keseluruhan yang akhirnya berlabuh pada kekhawatiran perlambatan ekonomi untuk tahun ini dan tahun mendatang.

Sementara itu, tekanan secara global pun kian tak bisa ditangkis. Data-data terbaru dari Tiongkok kian memperjelas masa depan neraca perdagangan Indonesia dengan negeri panda yang notabene ialah mitra dagang kedua setelah Amerika. Apalagi, setelah Asian Development Bank (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi negeri Tiongkok untuk tahun ini dan tahun depan menjadi masing-masing 6,8% dan 6,7%.

Penyusutan proyeksi ini jelas-jelas mencemaskan Indonesia sebagai mitra dagang utama Tiongkok karena akan serta-merta mengganggu stabilitas demand atas komoditas komoditas nonmigas Indonesia. Jika demand terganggu, kinerja produksi komoditas nonmigas dalam negeri pun akan terganggu. 

Keuntungan perusahaan akan terpangkas, pajak komoditas akan ikut menurun, dan masa depan pasar tenaga kerja akan semakin suram yang kemudian akan mengganggu tingkat konsumsi rumah tangga. Akhir proyeksi pertumbuhan akan terpeleset lagi.

Selain dari Tiongkok, gonjang-ganjing rencana kenaikan tingkat suku bunga The Fed AS pun menebar ancaman tak berkesudahan kepada ekonomi regional dan nasional. Di satu sisi, akan ada peluang bagus untuk menggenjot ekspor karena rupiah yang terkulai tajam. Namun, di sisi lain, tendensi penguatan dolar akibat ekspektasi kenaikan tingkat suku bunga The Fed telah menekan harga minyak dunia dan komoditas-komoditas andalan dari negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Padahal, harga minyak dunia sudah terseok-seok menghadapi kondisi pasokan yang berlimpah dan cadangan yang kian meningkat di tengah-tengah lesunya permintaan.

Imbas semua ini terhadap mata uang rupiah sangat bersifat segera. Lihat saja kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Jumat (25/9) yang sudah mengintai level Rp14.700 per dolar AS. Data yang diterbitkan BI pada hari itu menempatkan Jisdor di level Rp14.690 per dolar AS, merosot 67 poin, atau melemah 0,46% dari kurs pada Rabu (23/9). Bagi pelaku pasar yang konsentrasi dengan pergerakan rupiah, level ini ialah tanda-tanda akan munculnya level yang lebih tinggi lagi dalam beberapa hari atau seminggu dua minggu ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar