Menyiapkan Kodok Rebus
Kartono Mohamad ; Mantan Ketua PB IDI
|
KOMPAS,
23 September 2015
Fenomena ”kodok rebus”
sudah banyak diketahui. Kalau kita merebus kodok dalam air dingin yang
dipanaskan secara berangsur, kodok tak akan meloncat menghindari panas. Ia
akan diam saja sampai akhirnya meloncat ketika air sudah sangat panas, tetapi
gagal dan mati.
Saat ini, pemerintah
dan parlemen Indonesia pun sedang menyiapkan kodok rebus bagi generasi muda.
Mungkin Presiden Joko Widodo punya Nawacita yang menghendaki bangsa Indonesia
sanggup bersaing dengan bangsa lain melalui sumber daya manusia (SDM)
berkualitas. Namun, antara cita-cita dan yang dilakukan bisa berbeda karena
para bawahannya tidak menghayati cita-cita itu.
Tidak ada konsep jelas
bagaimana menyiapkan SDM yang mampu bersaing dengan bangsa lain. Yang
dilakukan justru kebijakan yang akan merusak generasi muda. Terutama dalam
melindungi mereka dari bahaya rokok. Kalangan kesehatan sedunia dan bahkan
pabrik rokok sendiri mengakui bahwa rokok berdampak ketagihan dan berangsur
membahayakan kesehatan. Namun, kebijakan pemerintah dan parlemen justru ingin
menambah anak dan remaja yang ketagihan rokok.
Ini tecermin,
misalnya, dari kebijakan Menteri Perindustrian yang memilih menaikkan produksi
rokok daripada menaikkan tarif cukai dengan alasan menambah pendapatan
negara. Bahkan, mengapresiasi industri rokok dianggap menyumbang pendapatan
negara. Meskipun mereka tahu bahwa yang membayar cukai bukan pabrik rokok,
melainkan konsumen rokok.
Parlemen juga akan
meloloskan RUU Pertembakauan yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan
produksi rokok.
Secara logika awam,
peningkatan produksi tidak ada artinya tanpa diikuti peningkatan konsumsi.
Dengan kata lain, pemerintah dan parlemen ingin mendorong lebih banyak lagi
rakyat yang mengonsumsi rokok. Anak- anak, remaja, dan perempuan adalah
sasaran termudah karena prevalensi perokok pada laki-laki dewasa sudah jenuh,
sudah 63 persen. Ini tertinggi di dunia. Jadi, sasaran yang terbuka tinggal
anak-anak, remaja, dan perempuan. Itulah yang akan didorong oleh pemerintah
dan parlemen.
Dampak terhadap SDM
Generasi muda adalah
SDM Indonesia untuk masa depan. Nawacita menghendaki agar mereka berkualitas
dan kompetitif dengan bangsa lain agar jangan terus menjadi pecundang. Logika
kita mengatakan, mereka harus diberi pendidikan yang baik dan modern. Namun,
lihatlah hasil penelitian Profesor Laura Anderko, dari Georgetown University,
Amerika Serikat, tahun 2010, ”Anak-anak yang terpapar asap rokok, langsung atau
tidak langsung (secondary smoker) sejak dalam kandungan, tiga kali lebih
besar kemungkinannya mengalami kesulitan belajar (learning disability). Hasil
penelitian itu diterbitkan dalam Journal of Obstetric, Gynecologic &
Neonatal Nursing edisi Januari 2010.
Mendorong anak dan
remaja merokok, sama saja kita mendorong agar mereka kesulitan dalam menyerap
pelajaran. Betapa pun canggihnya teknik pendidikan, kemampuan otak mereka
sudah dibatasi oleh racun nikotin. Dengan demikian, kita tidak akan
menghasilkan generasi muda berkemampuan otak kompetitif.
Lain lagi hasil
penelitian CDC, lembaga di bawah Kementerian Kesehatan Amerika Serikat, 2015.
Bahwa atlet remaja perokok berprestasi lebih rendah dibandingkan bukan
perokok. Dengan mendorong peningkatan konsumsi rokok—konsekuensi dari
peningkatan produksi—Indonesia justru berharap prestasi atlet kita tidak
perlu terlalu tinggi. Yang penting pemilik industri rokok bisa lebih kaya dan
makin besar menyumbang pajak ke negara. Dapat dimengerti jika dalam ajang
olahraga di Asia pun kita tidak berani menargetkan menjadi nomor satu,
menghadapi negara yang berpenduduk lebih sedikit.
Beban ekonomi
Peningkatan produksi
rokok yang diikuti peningkatan konsumsi akan meningkatkan pendapatan cukai
karena yang membayar cukai memang konsumen rokok. Sungguh aneh bahwa
keinginan menaikkan pendapatan cukai dicapai dengan membiarkan lebih banyak
rakyat teracuni nikotin. Bukan dengan menaikkan tarif cukai. Padahal, menurut
UU Cukai, cukai dikenakan pada produk yang konsumsinya perlu dikendalikan
karena berbahaya bagi kesehatan konsumennya.
Akan tetapi,
pemerintah dan parlemen justru melawan UU tersebut. Cukai tak dijadikan alat
untuk mengurangi konsumsi, tetapi hanya memperoleh pendapatan. Oleh karena
itu, supaya industri rokok senang, bukan cukainya yang dinaikkan, melainkan
konsumsinya. Pemerintah dan parlemen tidak mau melihat negara lain sebagai
contoh meskipun sering keluar negeri.
Industri rokok
Indonesia justru menyumbang pendapatan lebih besar ke negara tetangga,
seperti Singapura dan Malaysia, karena cukai di sana jauh lebih tinggi. Rokok
Indonesia di sana terkena cukai sampai 70 persen dan patuh. Ke negara sendiri
minta cukai kecil saja, tetapi konsumsi dibesarkan. Artinya menyumbang negara
sendiri kecil saja, tetapi meracuni rakyat lebih besar dan ironisnya didukung
pemerintah dan parlemen.
Bahwa orang miskin,
anak-anak, dan remaja menjadi perokok, serta akan membelanjakan uangnya yang
sedikit untuk rokok ketimbang makanan atau pendidikan, tidak menjadi
pertimbangan. Bahwa kalau mereka sakit kemudian akan membebani negara dan
sekaligus menurunkan produktivitas, itu juga bukan menjadi kepedulian.
Toh, semua akibat itu,
baik kemampuan belajar, kemampuan fisik, atau beban ekonomi makin besar, baru
dirasakan kelak, tidak dalam waktu dekat. Bukan menjadi tanggung jawab
parlemen dan pemerintahan sekarang meskipun konon Nawacita untuk pencapaian
jangka panjang.
Ketika keadaan SDM
makin buruk, mereka sudah kabur. Biarkan rakyat terperangkap seperti kodok
rebus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar