Minggu, 20 September 2015

Paradigma Baru Uji Kelayakan

Paradigma Baru Uji Kelayakan

Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
                                                     KOMPAS, 19 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahap akhir penentuan anggota Komisi Yudisial dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi segera berlangsung di Senayan. Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, tahap ini akan dilaksanakan oleh Komisi III, yaitu komisi yang menangani soal hukum, hak asasi manusia, dan keamanan.

Sebagai tahapan paling menentukan, sebelum Komisi III melaksanakan proses ini, beberapa catatan perlu dikemukakan. Tidak hanya disebabkan alasan memperbaiki kualitas pengisian di internal DPR, tetapi sekaligus menutup kemungkinan adanya sisi lemah proses yang dilakukan panitia seleksi. Apalagi, model paket dalam pemilihan atau penentuan nama final telah sejak lama mengundang kritik.

Panel ahli

Meskipun penentuan anggota Komisi Yudisial (KY) dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama-sama berada dalam wilayah Komisi III, sesuai dengan ketentuan yang ada, prosesnya akan memiliki perbedaan sangat mendasar. Sebagai lembaga yang diatur dalam UUD 1945, wewenang DPR dalam penentuan akhir calon anggota KY sangat terbatas. Secara konstitusional, batasan tersebut disebabkan adanya pengaturan Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPR hanya memberikan persetujuan terhadap calon anggota KY.

Bilamana diletakkan pada hasil proses seleksi, persetujuan dimaksud tentu saja terhadap nama-nama yang dihasilkan panitia seleksi. Karena itu, panitia seleksi hanya menyampaikan nama sesuai jumlah anggota KY. Meskipun demikian, Komisi III dapat saja menolak memberikan persetujuan sebagian atau keseluruhan nama yang dihasilkan. Artinya, sekalipun terdapat pembatasan, wewenang berupa "persetujuan" yang diberikan Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945, Komisi III bisa saja tak menyetujui hasil panitia seleksi.

Berbeda dengan KY, dalam pengisian pimpinan KPK, Komisi III disediakan calon dua kali dari kebutuhan sesungguhnya. Karena itu, anggota Komisi III harus menentukan pilihan. Dalam posisi seperti itu, Komisi III sangat mungkin keluar dari model pembatasan yang didesain panitia seleksi. Panitia Seleksi 2011, misalnya, berupaya mempersempit pilihan anggota Komisi III dengan cara memberi peringkat, tetapi disebabkan adanya wewenang "memilih", Komisi III mengabaikan peringkat tersebut. Artinya, amat mungkin model pengelompokan calon yang dilakukan Panitia Seleksi 2015 akan mengalami nasib serupa dengan model peringkat Panitia Seleksi 2011.

Berkaca dari pengalaman proses internal di DPR, demi alasan mengedepankan obyektivitas, menjadi jauh lebih baik jika Komisi III meneguhkan model seleksi dengan cara melibatkan panel ahli. Secara hukum, pelibatan panel ahli dimungkinkan karena Peraturan Tata Tertib DPR menyerahkan tata cara pelaksanaan seleksi dan pembahasan kepada setiap komisi. Hal itu dimungkinkan sepanjang tidak menafikan penelitian administrasi, penyampaian visi dan misi, uji kelayakan (fit and proper test), dan tetap membuka partisipasi publik.

Dalam persetujuan anggota KY, misalnya, panel ahli penting dihadirkan Komisi III guna mendalami pemahaman dan penguasaan calon terkait wewenang "wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim" sebagaimana termaktub dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945. Merujuk bentangan empirik yang ada, pemahaman di sekitar wewenang ini sangat penting karena kegaduhan hubungan KY dan Mahkamah Agung (MA) selama ini sebagian dipicu perbedaan persepsi kedua lembaga ini ihwal wewenang tersebut.

Selain itu, yang tidak kalah penting panel ahli diperlukan untuk menelusuri gagasan calon anggota KY terkait dengan reformasi MA dan lingkungan peradilan di bawahnya. Bagaimanapun, jika ditelusuri kembali semangat dan perdebatan di sekitar reformasi kekuasaan kehakiman selama perubahan UUD 1945, kehadiran KY adalah bagian dari strategi mereformasi MA. Karena itu, selain memahami wewenang seperti dimaksudkan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, calon anggota KY harus memiliki gagasan yang masuk akal ihwal pembaruan MA.

Begitu pula dengan calon pimpinan KPK, panel ahli berguna untuk membantu Komisi III dalam menelusuri dan mendalami pemahaman calon dengan posisi sentral KPK sebagai lembaga yang diberi wewenang khusus dalam memberantas tindak pidana korupsi. Selain soal tindak pidana korupsi yang kian kompleks dan rumit, panel ahli juga dapat menelusuri bagaimana calon menempatkan KPK dalam relasi dengan lembaga penegak hukum lain, terutama kepolisian dan kejaksaan. Banyak pihak berpandangan, pemahaman secara benar wewenang KPK dan model hubungan dengan lembaga penegak hukum yang lain akan sangat menentukan masa depan KPK.

Namun, perlu dicatat, sekalipun panel ahli menjadi kebutuhan yang mendesak, kehadirannya tidak boleh mereduksi wewenang Komisi III dalam menyetujui calon anggota KY dan memilih calon pimpinan KPK. Dalam posisi seperti itu, kehadiran panel ahli lebih banyak dimaksudkan untuk menaikkan bobot proses internal DPR. Oleh karena itu, mereka yang tergabung dalam panel ahli hanya sebatas memberi catatan tambahan kepada anggota Komisi III. Merujuk pengalaman seleksi calon hakim konstitusi di Komisi III tahun 2014, kehadiran panel ahli sama sekali tak mereduksi wewenang DPR dalam pengajuan hakim konstitusi.

Paket calon

Selain dorongan membentuk panel ahli, masalah lain yang selama ini menjadi sorotan adalah pemilihan calon dengan sistem paket atau anggota Komisi III memilih sesuai dengan jumlah anggota lembaga atau komisi yang diisi. Dengan pola pemilihan sistem paket, semua kekuatan politik di setiap komisi akan lebih banyak bergerak dalam kepentingan pragmatis, yaitu menjadi bagian dari paket sehingga menjadi kekuatan mayoritas. Dengan sistem paket, kelompok yang menguasai suara mayoritas akan menguasai semua calon yang ada dalam paket mereka.

Dalam pemilihan pimpinan KPK, bilamana fraksi bergabung dan menghimpun kekuatan mayoritas di Komisi III, lima calon unsur pimpinan KPK akan dikuasai oleh satu kelompok. Selain tidak sejalan dengan prinsip satu anggota memiliki satu suara (one man one vote principle), model paket penentuan calon jelas memelihara tirani mayoritas dalam pengambilan keputusan. Dari komposisi anggota DPR saat ini, misalnya, bilamana PDI-P, Golkar, Gerindra, dan Demokrat bergabung dalam satu paket, dapat dipastikan nama-nama yang disepakati paket empat fraksi ini akan menjadi pimpinan KPK.

Agar tidak terjadi penguasaan oleh satu paket kelompok, semua fraksi harus membangun kesepakatan meninggalkan model pemilihan satu anggota memilih lima calon dan kembali ke model satu orang anggota Komisi III memilih satu calon. Oleh karena itu, kekuatan politik di Komisi III seharusnya memulai proses akhir persetujuan anggota KY dan pemilihan pimpinan KPK dengan membongkar kembali model pemilihan paket. Bahkan, dalam batas penalaran yang wajar, kemungkinan mewujudkan panel ahli akan kehilangan makna pentingnya bilamana pemilihan tetap dengan sistem paket.

Di tengah berbagai tudingan miring yang mengarah ke DPR, lembaga ini memiliki kesempatan sejarah untuk menjawab berbagai kritik. Salah satu kesempatan tersebut dapat dilihat dari ada tidaknya keinginan untuk melakukan pembaruan (reformasi) pengisian lembaga negara atau komisi negara. Seandainya mau berubah, mengakomodasi paradigma baru dalam uji kelayakan tersebut dapat dipastikan akan mampu mengubah dan menggeser cara pandang masyarakat dengan sendirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar