Bang Buyung dalam Kenangan
Albert Hasibuan ; Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
2012-2014
|
KOMPAS,
25 September 2015
Prof Dr Adnan Buyung Nasution, SH, atau lebih
dikenal dengan Abang Buyung, telah tiada. Bang Buyung meninggal Rabu, 23
September 2015, pagi di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. Kita semua,
terutama kawan-kawan seperjuangannya, menundukkan kepala dan menyatakan
belasungkawa sedalam-dalamnya. Inna
lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Saya pertama kali mengenal Bang Buyung ketika
sebagai mahasiswa tahun 1959 memperoleh sebuah diktat ilmu negara. Diktat
itu, berupa stensilan, merupakan terjemahan buku Web of Government karangan
MacIver dari Adnan Buyung Nasution.
Saya merasa diktat Buyung ini, selain untuk
kuliah hukum negara (staatsrecht), juga berguna waktu itu untuk
mempelajari Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 ”kembali ke UUD
1945”, yang masih dibicarakan orang. Kebijakan Presiden Soekarno itu mendapat
pembenaran dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Djokosoetono,
yang menyatakan negara dalam keadaan darurat, yaitu, tepatnya, berdasarkan
hukum negara darurat (staatsnoodrecht).
Saya menilai diktat Buyung ini dapat membantu
mendalami dan mengerti tentang kebijakan Presiden Soekarno, dilihat dari
sudut hukum negara. Saat itu, saya terkesan terhadap kemampuan akademis
Buyung.
Tahun 1966, saya aktif di Laskar Ampera Arief
Rachman Hakim/KAMI sebagai Ketua A Yani. Saya mendengar Buyung, masih menjadi
jaksa, aktif menentang Orde Lama, sebagai pimpinan Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia (KASI) bersama Haryono Tjitrosubono. Saya juga mengetahui Buyung
mempunyai cita-cita untuk mendirikan suatu lembaga bantuan hukum guna
membantu masyarakat kurang mampu yang memerlukan bantuan hukum.
Ketika Yon Yani juga membentuk Lembaga
Konsultasi Hukum (LKH), dalam kesempatan ke Singapura tahun 1968, saya
bertemu Buyung di Goodwood Park Hotel, Scotts Road. Dalam pertemuan itu, saya
menceritakan pengalaman dalam mengelola LKH Yon Yani selama dua tahun. Buyung
pun mengemukakan dasar bantuan hukum dan kami kemudian bertekad untuk
bersama-sama membentuk sebuah lembaga bantuan hukum yang terorganisasi dengan
rapi.
Pertemuan di Singapura adalah salah satu
kejadian yang menentukan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dua tahun
kemudian. Mulai saat itu, saya terkesan, Buyung seorang idealis yang ingin
membantu masyarakat kurang mampu di bidang hukum. Kemudian, dia meminta
organisasi advokat Peradin menjadi sponsor pendirian LBH pada 28 Oktober
1970. LBH dilantik oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di kantor Gubernuran
DKI Jakarta.
Ali Sadikin melantik Buyung selaku ketua dan
saya sebagai sekretaris. Pengurus LBH lainnya, seingat saya, seperti Minang
Warman, Victor Sibarani, Kusriani, Sukayat, Yap Thiam Hien, dan Nazar
Nasution. Waktu dilantik, kami memakai kemeja putih dengan dasi. Kantor LBH
saat itu di Jalan Ketapang, dekat Jalan Gadjah Mada.
Saya bertugas penuh menjalankan kantor. Dana
untuk operasional LBH, saya ingat, diperoleh dari Ali Sadikin yang
mengalokasikan Rp 300.000 setiap bulan dari anggaran belanja Pemerintah DKI
Jakarta. Kegiatan LBH makin meningkat, terutama membela masyarakat miskin,
sehingga Mayor Jenderal Ali Moertopo yang, waktu itu, menjabat Asisten
Pribadi Presiden Soeharto menyumbangkan beberapa skuter, yang diterima
Buyung, dan dipakai untuk kegiatan operasional pembela umum.
Saat beberapa tahun kemudian terjadi peristiwa
Malari pada 14 Januari 1974, saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka
berkunjung ke Indonesia, terjadi kerusuhan dan perusakan massal. Buyung
bersama aktivis lainnya ditahan Kopkamtib.
Saat di tahanan, ia mendengar, saya, sebagai
sekretaris, ingin mengambil alih LBH. Pengurus LBH dipimpin Minang Warman
mengadakan rapat di Slipi. Saya hadir ditemani Erman Radjagukguk. Saya
katakan, berita itu tidak benar. Setelah keluar dari tahanan, Buyung berkata,
”Abang salah sangka terhadap Albert.”
Dilarang bicara
Buyung juga aktif di Perhimpunan Sarjana Hukum
Indonesia (Persahi), yang waktu itu diketuai Mayor Jenderal EJ Kanter. Saya
ingat, bersama Buyung, Haryono Tjitrosubono, dan Harry Tjan Silalahi
menghadiri konferensi Law Asia di Manila tahun 1971. Di konferensi itu, dalam
satu komisi, dia berbicara tentang bantuan hukum di negara berkembang,
termasuk Indonesia, dengan semangat menggebu-gebu.
Ketika konferensi Law Asia di Jakarta, Buyung
dilarang berbicara oleh Kopkamtib. Larangan itu datang dari Jenderal
Soemitro. Saya berpikir, Buyung mulai kritis terhadap penguasa.
Saya ingat diminta Buyung untuk membela
mahasiswa ITB di PN Bandung. Mahasiswa itu, angkatan 1978, dituduh melakukan
penghinaan terhadap kepala negara, Presiden Soeharto. Saya membela Sukmadji
Indro Tjahyono yang mendapat hukuman 11 bulan penjara. Indro sudah ditahan
selama 10 bulan. Pada waktu vonis itu, dia praktis bebas. Kesan saya, Buyung
senang membela kasus ketidakadilan.
Salah satu tujuan hidupnya secara akademis
terpenuhi saat Buyung dengan sukses mempertahankan disertasi berjudul
”Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia” di Universitas Utrecht
tahun 1992. Promosi itu mendapat perhatian banyak orang. Karya Buyung ini
sangat baik. Disertasi Buyung ini memberi sumbangan besar untuk masyarakat
Indonesia dalam menjalankan UUD 1945 dengan baik, terutama mematuhi prinsip
hak asasi manusia (HAM) yang tertera di Konstitusi.
Namun, dia tak setuju dengan pendirian Komnas
HAM tahun 1993. Ia menyangsikan Komnas HAM, karena inisiatif pemerintah, akan
bisa memperjuangkan dan membela rakyat Indonesia di bidang HAM. Ternyata,
Komnas HAM menjadi lembaga yang efektif dalam memperjuangkan HAM di
Indonesia.
Ketika memimpin Komisi Penyelidikan
Pelanggaran HAM Timor Timur tahun 1999, saya ditemui Buyung, yang juga
dihadiri pejabat dari Hankam, di Hotel Grand Mahakam, Jakarta. Dalam
pertemuan itu, Buyung bertanya, apakah saya dalam kasus Timtim bisa
memutuskan menggunakan pertanggungjawaban moral dan tidak menggunakan
tanggung jawab komando atau command responsibility. Saya menolak
permintaan itu sebab setiap anggota KPP HAM Timtim telah menentukan
berdasarkan hati nurani. Pada 31 Januari 2000 saya sampaikan laporan KPP HAM
Timtim tersebut kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman. Waktu itu saya kecewa.
Saat Buyung menjadi anggota Dewan Pertimbangan
Presiden tahun 2007-2009, saya diundang untuk berbicara dalam seminar tentang
amandemen konstitusi UUD 1945. Seminar itu adalah persiapan untuk mengajukan
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang
amandemen kembali konstitusi yang diprakarsai Buyung. Saya sependapat tentang
amandemen kembali konstitusi ini.
Sebagai akhir, dari pergaulan selama
bertahun-tahun, Buyung adalah tokoh hukum idealis yang bersifat conscience
intellectual (intelektual berhati nurani). Kita kenang
kepergiannya.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar