Legalisasi Stigma
Bahrul Fuad ; Research Associate Pusat Kajian Disabilitas
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
22 September 2015
Perjuangan kesetaraan
dan penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas telah
berlangsung sejak sebelum masa reformasi.
Aktivis gerakan
disabilitas di Indonesia tak pernah berhenti melakukan advokasi agar
pemerintah meratifikasi United Nations
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD). Hasilnya,
pada 10 November 2011, Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No 19/2011 tentang
Pengesahan UNCRPD.
Selanjutnya,
berdasarkan UU tersebut, para penyandang disabilitas memandang perlu
dilakukan amandemen terhadap UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat. UU ini
dipandang sangat kental dengan nuansa karitatif yang memosisikan penyandang
disabilitas sekadar obyek kebijakan. Pemerintah mengakomodasi hal tersebut
dengan menyelenggarakan berbagai seminar dan lokakarya dalam rangka menyusun
draf rancangan perubahan UU Penyandang Disabilitas (RUU Disabilitas).
Pasal bumerang
Semangat RUU
Disabilitas, yang terdiri dari 14 bab dan 259 pasal, adalah meningkatkan
harkat dan martabat para penyandang disabilitas sebagaimana tertuang dalam
prinsip umum UNCRPD. Salah satu prinsip menyatakan, negara berkewajiban
memberikan penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu,
termasuk kebebasan menentukan pilihan dan kemerdekaan perseorangan.
Namun, nyatanya dalam
RUU Disabilitas yang sekarang berada di meja Badan Legislasi DPR RI masih
terdapat beberapa pasal ”bumerang”, yang apabila dicantumkan dapat
memperteguh stigma negatif terhadap penyandang disabilitas.
Misalnya Pasal 158
tentang Konsesi yang menyebutkan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah
daerah untuk memberikan konsesi (potongan harga) yang besarnya 25 persen
hingga 50 persen, mulai dari tagihan listrik hingga pembelian rumah. Pasal
konsesi tentu bertentangan dengan spirit kesetaraan yang diperjuangkan
penyandang disabilitas. Jika yang dimaksud konsesi adalah kemudahan bagi
penyandang disabilitas, hal itu harus diberikan dalam kerangka reasonable accommodation (kebutuhan
yang beralasan terkait dengan disabilitas).
Pada bagian lain RUU
Disabilitas ini juga diatur tentang kartu penyandang disabilitas (KPD).
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 167-170 yang menyebutkan bahwa penyandang
disabilitas akan mendapatkan KPD. Hal yang perlu dicermati pada pasal
tersebut adalah dampak sosial atas kepemilikan KPD. Sejak lama penyandang
disabilitas telah distigmakan dengan ciri fisik yang dimilikinya, dan ini
yang dilawan oleh aktivis gerakan disabilitas. Pemberian KPD berpotensi
memunculkan labelisasi (stigma) baru terhadap penyandang disabilitas.
Terlebih lagi pada
Pasal 169 (4) disebutkan bahwa penyelenggara layanan kesehatan milik
pemerintah wajib melayani permintaan penilaian dan pengisian formulir
keterangan disabilitas tanpa dipungut biaya. Ketentuan ini jelas bertentangan
dengan definisi dalam UNCRPD bahwa disabilitas merupakan hasil dari interaksi
antara orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap serta lingkungan yang
menghambat partisipasi penuh mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan
dengan yang lainnya. Dengan kata lain, jika RUU Disabilitas ini disahkan
tanpa menghapus kedua ketentuan di atas, sama artinya dengan melakukan
legalisasi stigma terhadap penyandang disabilitas.
Selain itu, Pasal 191
RUU Disabilitas menyatakan bahwa dalam rangka memastikan dan memantau
pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak penyandang
disabilitas, dibentuk Komisi Nasional Disabilitas Indonesia (KNDI) yang
bersifat independen. Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Peraturan
Presiden No 176/2014 pernah membubarkan 10 lembaga nonstruktural. Salah
satunya adalah Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan
Sosial Penyandang Cacat, yang anggotanya terdiri dari berbagai unsur
pemerintah dan masyarakat.
Bagi saya, pembentukan
KNDI justru memperlambat proses pengarusutamaan isu disabilitas dalam semua
kebijakan. Hal itu juga tidak sejalan dengan semangat inklusivitas yang
selama ini disuarakan oleh para aktivis gerakan disabilitas.
Kita sudah memiliki
banyak organisasi disabilitas dari berbagai jenis atau tipe disabilitas, baik
yang berkedudukan di pusat maupun di daerah; mulai provinsi hingga kabupaten
kota. Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia sebagai organisasi payung
disabilitas telah berdiri selama puluhan tahun. Semestinya yang sekarang
didorong adalah mengoptimalkan peran dan fungsi organisasi payung itu.
Maksud dan tujuan KNDI
akan lebih efektif jika diakomodasi ke dalam komisi nasional (komnas) yang
sekarang ini telah eksis, seperti Komnas Hak Asasi Manusia, Komnas Perempuan,
dan Komnas Perlindungan Anak. Dengan demikian, setiap komisi nasional
tersebut akan menjadi lebih peka dan berperspektif disabilitas.
Dengan begitu, isu
disabilitas tidak lagi dipandang sebagai persoalan yang eksklusif milik
penyandang disabilitas, tetapi lebih menjadi persoalan lintas sektor dan
lintas bidang.
Fokus pada substansi
Sudah semestinya kita
tidak terjebak pada simbol-simbol dalam memperjuangkan kesetaraan hak
penyandang disabilitas. Persoalan utama yang dihadapi penyandang disabilitas
adalah hambatan sosial dari masyarakat dalam bentuk stigma dan perilaku
diskriminatif yang telah mengakar kuat dalam jalan pikir masyarakat kita.
Penghapusan stigma dan diskriminasi merupakan substansi dari perjuangan
gerakan disabilitas.
Oleh karena itu, cara
yang harus dilakukan adalah mendorong perubahan cara pandang masyarakat
terhadap disabilitas. UU Disabilitas bukanlah tujuan akhir dari perjuangan
penyandang disabilitas, melainkan hanya salah satu instrumen dari perjuangan
itu sendiri. Tujuan utama adalah mewujudkan masyarakat inklusi tanpa stigma
dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar