Senin, 21 September 2015

Kretek

Kretek

Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                   TEMPO.CO, 19 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di negeri yang banyak masalah ini, bukan hanya urusan asap dan gaji presiden yang membuat gaduh. Sebentar lagi sebuah kata akan ramai diperdebatkan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kata itu adalah "kretek".

Yang unik, "kretek" tak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang ada "keretek". KBBI memberi tiga arti: (1) bunyi daun terbakar, (2) rokok yang tembakaunya dicampuri serbuk cacahan cengkih, (3) kereta berkuda beroda dua, dokar.

Kata "kretek" muncul dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan yang sebentar lagi—kalau DPR bekerja normal setelah tunjangannya dinaikkan—akan dibahas. RUU ini sangat penting untuk bangsa yang dulu pernah berbudaya luhur. Semangat RUU ini adalah mari kita warisi dan lestarikan budaya asli Nusantara.

Pasal 36 berbunyi, "Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab, menghargai, mengakui, dan/atau melindungi sejarah dan warisan budaya." Lalu pasal 37 disebutkan apa-apa yang perlu diberi penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan itu. Ada 14 poin dan salah satunya: "kretek tradisional". Tak ada penjelasan, apa yang dimaksud "kretek tradisional" itu.

RUU Kebudayaan merinci ke-14 poin warisan budaya itu. Dalam pasal 49 disebutkan bagaimana memberi penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan sejarah dan warisan budaya terhadap "kretek tradisional". Caranya: (a) inventarisasi dan dokumentasi, (b) fasilitasi pengembangan kretek tradisional, (c) sosialisasi, publikasi, dan promosi kretek tradisional, (d) festival kretek nasional.

Ihwal "kretek tradisional" berhenti di pasal-pasal itu, pertanyaan besar yang akan bikin gaduh, apa "kretek" itu? Jika yang dimaksudkan adalah "keretek" dan mengambil arti dalam kamus, "bunyi daun terbakar", tentu mengada-ada. Meski kita tahu DPR sering bikin ulah, membuat undang-undang tentang "daun yang terbakar" (dan bukan hutan yang terbakar) tentu kebangetan. Maka para pemerhati pun beralih ke arti yang lain dalam kamus: berurusan dengan rokok. 

Lantas RUU ini "diduga" mau mengatur soal rokok kretek yang sengaja kata "rokok" dihilangkan untuk kamuflase. "Undang-undang ini pasti permainan raja-raja rokok untuk kepentingan bisnisnya," begitulah mungkin aktivis kesehatan bereaksi.

Supaya tulisan ini juga berpotensi bikin gaduh, anggap saja benar yang dimaksud dalam RUU Kebudayaan itu adalah soal rokok-merokok yang dibalut dengan keretek. Apakah itu pantas menjadi warisan budaya? Pada masa tembakau belum ditanam, leluhur kita mewariskan kebiasaan makan sirih dicampur buah pinang. (Di Bali lantas dinamai "nginang"). Ketika tembakau didatangkan dari Eropa, dan Belanda "memaksa" petani tanam tembakau, leluhur kita menggunakan tembakau sebagai "penutup makan sirih".

Munculnya tembakau yang dibakar dan kemudian disebut rokok justru dianggap sebagai budaya yang menyimpang. Para perokok digolongkan "pemberontak budaya" setidak-tidaknya "imannya meragukan", begitulah kisah sejak Roro Mendut, perokok (non-kretek) sejati. Kini, di abad modern, rokok disebut pembunuh (di bungkusnya ada peringatan "Rokok Membunuhmu"). Pembatasan merokok dilakukan di banyak tempat. Bukankah itu menjadi aneh kalau ada undang-undang yang menyebut kretek (meski tak ada kata rokok) harus dilindungi, dipromosikan, difestivalkan, dan seterusnya?

Akhirnya, mari berpikir adem, mudah-mudahan "kretek" dalam RUU Kebudayaan ini dimaksudkan "keretek" yang berarti kereta berkuda yang memang layak difestivalkan. Semoga DPR bijak, jelaskan dulu apa arti "kretek" dalam RUU itu sebelum ada yang berniat gaduh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar