Ketuhanan dalam Kehutanan
Candra Malik ; Praktisi Tasawuf
|
KORAN
TEMPO, 19 September 2015
Tuhan dan hutan ialah
satu-kesatuan yang utuh. Di Indonesia, tema tentang Tuhan mendapat perhatian
lebih, tapi tema hutan masih kurang. Padahal hutan adalah kekayaan luar biasa
negeri ini yang diperhitungkan oleh bangsa dan negara lain. Hutan belum
menjadi isu sentral, apalagi ketika pemerintah sekarang menjadikan
kemaritiman sebagai tema utama mendefinisikan ulang identitas dan integritas
keindonesiaan kita.
Sufi besar Jalaluddin
Rumi menulis kitab Fihi Ma Fihi (Di
Dalamnya Apa yang di Dalamnya) tentang segala sesuatu sesungguhnya menyatu,
yang relevan menunjukkan hubungan antara Tuhan dan hutan. Di dalamnya apa
yang di dalamnya: di dalam benih, ada pohon; di dalam pohon, ada benih. Satu
dan lainnya tidak terpisahkan. Tak ada benih, tak ada pohon. Tak ada pohon,
tak ada benih. Benih dari pohon. Pohon dari benih. Benih adalah pohon, pohon
adalah benih. Pohon adalah kehidupan, Tuhan pun meliputinya. Allah Maha Hidup
menghidupkan, mematikan, dan menghidupkan segala sesuatu, termasuk pohon.
Pepohonan, dalam jumlah yang besar dan ragam yang beraneka, yang lalu kita
sebut sebagai hutan, tentu melambangkan pula kehadiran Tuhan. Ketuhanan dalam
kehutanan adalah kesadaran hayati manusia sebagai khalifah fil ardli.
Pohon mengajarkan
kepada manusia sejumlah hal luar biasa. Bahwa untuk hidup, kita harus
mengakar, menunjang dari mulai batang, dahan, ranting, daun, bunga, sampai
buah. Akar pula yang menyerap air, yang merupakan sumber kehidupan. Bahwa
untuk hidup, kita harus kokoh laksana batang pokok, menjaga dahan-ranting
tanpa mudah lapuk dan patah. Bahwa untuk hidup, kita menyerap energi semesta
seperti dedaunan terhadap sinar matahari. Bahwa untuk hidup, kita memberi
yang terbaik sebagaimana bunga. Tak hanya elok dipandang, tapi juga sedap
dihirup aromanya. Bahwa untuk hidup, seperti pohon, kita pada akhirnya
berbuah, yang di dalamnya terkandung biji yang tak lain adalah benih bagi
kehidupan berikutnya. Dari pohon kita belajar pula kapan pun kita pasti
kembali ke tanah. Bisa karena diterpa angin dan gugur, bisa pula roboh karena
usia.
Pohon mengajarkan pula
untuk bersikap hidup percaya kepada kebaikan semesta. Berdiri tanpa kaki,
tercipta untuk tidak melangkah, pun tidak berlari, tapi rezeki tidak akan
tertukar kepada yang tidak berhak, pun demikian sesungguhnya konsep ini
berlaku sama bagi setiap makhluk. Jika kemudian pepohonan ditebang
sembarangan dan tidak ada upaya menanam kembali pohon-pohon baru,
sesungguhnya kita berbuat bodoh memadamkan pelita hidup.
Betapa Tuhan dalam
Al-Quran pun menggunakan pohon sebagai kiasan, yaitu jika kayu dan daun dari
pohon di seluruh penjuru bumi dijadikan kertasnya-dan lautan sebagai
tinta-maka niscaya tidak cukup untuk menuliskan Ilmu Allah. Dan, sabda Nabi
Muhammad SAW, ilmu adalah cahaya. Jika pohon-pohon ditebang sembarangan, dan
pohon-pohon baru tidak ditanam, sesungguhnya kita memadamkan pijar kehidupan.
Jika surga digambarkan dalam ayat-ayat suci sebagai taman-taman nan sejuk,
dengan berbagai buah-buahan dan pepohonan rindang, sungai yang mengalir
jernih dengan bebatuan yang selalu tepercik kesegaran air, bukit-bukit yang
indah, burung-burung yang bebas beterbangan dan hinggap di mana pun, bukankah
itu semua lukisan Tuhan tentang keagungan hutan?
Air adalah sumber
kehidupan, dan tak ada bantahan tentang itu. Pohon telah melakukan segala hal
untuk menjadi rumah bagi empat anasir terpenting jagat besar, yaitu angin,
air, api, dan tanah. Pohon menghasilkan O2 (oksigen) pada siang hari dan CO2
(karbondioksida) pada malam hari. Akar pohon menghunjam tanah, batang pokok
menjulang ke arah di mana sinar matahari terpancar, tak berbeda dengan
falsafah di mana bumi dipijak, di sanalah langit dijunjung. Laut, sungai,
danau, bendungan, waduk, dan wadah maupun aliran apa pun namanya yang
menghimpun air, tidak akan pernah menafikan pohon sebagai kantong penyimpanan
air yang sangat diandalkan.
Pohon bukan hanya
paru-paru dunia, tapi juga segala organ vital lain. Lihatlah, betapa dari
pohon, kita mengambil sangat banyak penunjang kehidupan. Akar, batang, dahan,
ranting, daun, bunga, dan buah telah kita jadikan apa saja sesuai dengan
kebutuhan manusia. Hutan telah memberi kita teramat banyak, tapi kita
ternyata meminta lebih banyak lagi. Celakanya, kita kurang memberi kepada
hutan, atau bahkan tidak memberi apa pun untuk melestarikannya. Pada mulanya,
hutan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kini, hutan
terasa semakin jauh dan manusia seperti sengaja membentangkan jarak
terhadapnya. Jika pun ada yang merambah hutan, lebih banyak yang berbuat
merusak serusak-rusaknya.
Orang-orang pedalaman
yang masih hidup dengan hutan sebagai habitat kini semakin tidak nyaman,
bahkan semakin lama semakin terusir dari rumahnya sendiri. Orang-orang kota
tak lagi melihat hutan selain dari layar televisi, terutama ketika asap telah
mengepung kota sejak kebakaran hutan. Lihatlah hutan di Tanah Air; setiap
tahun entah terbakar, entah dibakar. Sebagai manusia bertuhan dan beragama,
kita ternyata tidak berbuat cukup untuk menyelamatkan hutan. Masyarakat kita kini
terpisah dari hutan, atau bahkan memisahkan diri. Padahal nun di dalam hutan,
tersimpan anugerah dan keajaiban.
Di manakah posisi kita
yang bertuhan dan beragama ini dalam merawat semesta? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar