Sabtu, 12 September 2015

Menghina Diri Sendiri

Menghina Diri Sendiri

Radhar Panca Dahana  ;  Budayawan
                                                     KOMPAS, 11 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Siapakah yang terbayang dalam kepala Anda saat mendengar nama Celina Evangelista atau Baby Valerta Duarte? Atau mungkin nama-nama seperti Brandon de Angelo, Andrew Ralph Roxburgh, Catherine Wilson, Febby Lawrence, atau Chico Jericho? Nama fiktif? Bukan! Jelas nama manusia. Manusia asing? Juga bukan.

Nama-nama di pertanyaan pertama saya ambil secara acak dari daftar nama bayi kelahiran bulan Juli 2015 di sebuah kecamatan, ya, kecamatan di negeri ini: RI. Adapun nama-nama dalam pertanyaan kedua adalah sebagian dari nama-nama artis kita, artis Indonesia tentu saja, yang bisa Anda dapatkan di Wikipedia.

Lalu berkelilinglah Anda di berbagai kota besar Indonesia, di perumahan, klaster-klaster, mal, skuar (square, maksudnya), plasa, dan berbagai pertokoan. Atau lihatlah nama-nama atau judul acara di banyak saluran televisi di rumah. Lagi? Ya, bahkan lebih dari 25 persen judul film lokal di bioskop, bahkan nama-nama LSM (lembaga swadaya masyarakat), kelompok studi, kursus-kursus, hingga nama organisasi agama baru, pikuk dengan nama-nama yang tidak kita temukan lema atau kosakatanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Bukan hanya anak tetangga, anak saudara, bahkan anak saya sendiri, teman-teman sekolah anak saya, tak sekadar gandrung, tetapi cenderung terbius untuk menggunakan nama asli atau alias yang asing (entah dari bangsa atau negara mana karena kadang begitu anehnya). Bahkan, para orang dewasa/orangtua pun kini tidak sungkan menggunakan atribut-atribut bukan hanya keluaran Paris dan New York, melainkan juga India, Jepang, Korea, atau Tiongkok. Dari nama, penamaan dan julukan saja, bangsa ini mulai tidak percaya diri: lebih memilih sebutan asing ketimbang apa yang mereka miliki di adat dan tradisi mereka sendiri. Lebih memilih Hollywood, Bollywood, Harajuku, Anime, Cosplay, K-pop, ketimbang gambang kromong, tari bedhaya, baju bodo, gobak sodor, atau perahu dari kulit jeruk,

Apakah semua itu gejala yang lumrah saja, sebagai bagian dari dinamika budaya kita saat berhadapan dengan kultur global yang dipenetrasi dengan deras melalui teknologi terdepan informasi-komunikasi (dari Google hingga Line dan Instagram)? Apakah semua itu given atau memang taken for granted?

Baiklah, periksa baik-baik bagi jawaban yang dengan segera mengafirmasi atau mengiyakan pertanyaan-pertanyaan itu. Karena, sadar atau tidak, semua perilaku di atas sekadar permukaan atau simtom dari kerendahdirian bangsa. Satu pergeseran sikap yang lebih mengagungkan (secara sistemik dan struktural, dalam arti by design) produk kultural asing yang dominatif dan, pada saat yang sama, menekan hingga bisa jadi menghina produk kulturalnya sendiri.

Dalam pergulatan kerasnya bangsa ini mencoba keluar dari posisi yang—dikhawatirkan—masuk dalam ”perangkap kelas menengah”, hambatan dan gangguan menerpa silih berganti. Banyak kalangan, bahkan dari pihak militer ataupun intelijen, menengarai ancaman-ancaman eksternal itu berupa intervensi militer/intelijen asing, terorisme, ideologi radikal, dan perampasan sumber daya alam kita yang kaya. Yang kurang diperhitungkan, yang justru jauh lebih keras dan ganas dampaknya, adalah intervensi melalui internalisasi kultur global (notabene sesungguhnya kultur Oksidental-Kontinental) yang bagai tsunami mendera terutama generasi muda kita melalui media-media hiburan ataupun gawai teknologis terbaru dengan fitur dan penyelenggara jasanya.

Dibandingkan ancaman-ancaman eksternal tradisional lainnya, intervensi terakhir di atas harus diakui paling sedikit dapat perhatian dari pihak-pihak yang berwenang untuk itu. Masih langka, misalnya, hasil-hasil penelitian dari lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga/organisasi swasta yang didedikasikan untuk persoalan-persoalan tersebut. Sampai seberapa jauh sesungguhnya intervensi kultural via media sosial, misalnya, memengaruhi perkembangan kepribadian anak? Menggeser pola acuan hingga tindakan masyarakat secara keseluruhan? Mengubah tatanan nilai, tradisi, hingga kebudayaan dan produk-produknya di seluruh dimensi?

Generasi korban

Demikianlah kenyataannya jika kebudayaan tetap dianaktirikan, dianakjadahkan, oleh seluruh program dan proses pembangunan negeri ini. Pembangunan yang dalam slogannya selalu menggaungkan kebutuhan-kebutuhan mendesak dibangunnya jati diri, karakter, hingga perilaku penuh martabat masyarakat kita sesuai dengan isi dan sejarah kebudayaan bangsa ini yang begitu panjang riwayatnya. Mengapa kita tidak juga tergerak batin dan nuraninya akan fakta yang mengeras ini?

Apa yang kita nafikan atau remehkan dari kerja kebudayaan ini sudah dimulai dari tidak adanya komprehensi yang utuh dan adekuat tentang kebudayaan dan produk-produknya. Berulang kali harus dikatakan, sebagai contoh, kalau kebudayaan kita saat ini bukanlah apa yang selalu kita deretkan dalam memori keliru kita tentang: tari saman, batik, Borobudur, wayang golek, La Galigo, Serat Centhini, atau Majapahit dan Sriwijaya. Bukan, sama sekali bukan. Itu semua produk dari kebudayaan nenek moyang kita dahulu. Bukan produk dari kebudayaan kontemporer kita saat ini. Namun, masih saja kita tak berani mengakuinya dan masih beromansa, lebih tepatnya bersembunyi, di balik karya luhur para leluhur.

Akibatnya kita tak berani (dan jujur) mengakui apabila peradaban kita saat ini adalah lanskap semua kota (wilayah urban) negeri ini, yang diisi pencakar langit, bangunan megah, perumahan mewah yang sama sekali tidak merepresentasi arsitektur, keindahan ornamentik, hingga kosmologi, tata ruang atau kesadaran spasial yang begitu kaya dan dalam dari banyak tradisi etnik di seluruh sudut negeri ini. Kita tidak berani mengakui betapa identitas diri kita sebagai manusia, etnik, bahkan bangsa kita kian lamur dan kabur, bahkan chaos dan disorientatif, dimulai dari cara kita menamai segala bentuk dan gejala, bahkan nama diri kita sendiri, seperti terlukis di atas.

Generasi muda, generasi Y dan Z saat ini, adalah bagian dari bangsa kita yang—lebih banyak tanpa mereka sadari—menjadi korban terburuk dari itu semua. Bukan hanya mereka tidak mampu lagi secara adekuat menjelaskan keberadaan dirinya sendiri, sebagai bagian dari sebuah bangsa atau adat/tradisi misalnya. Mereka pun mengalami kerancuan— persisnya kehilangan—acuan untuk berperilaku yang ”pantas” di depan orangtua, guru, pejabat negara, bahkan dengan teman atau pacarnya sendiri. Maka, pelanggaran norma, moralitas hingga etika kerap terjadi di kalangan mereka, tanpa para orangtua dapat mencegah, bahkan mengerti sebab musababnya.

Syukurlah jika hanya orangtua. Ia menjadi bencana ketika pihak yang kita beri wewenang dan tanggung jawab, berikut fasilitas luar biasa yang mengikutinya, yakni pemerintah dari legislatif hingga eksekutif, juga tidak memahami situasi tersebut dengan baik lalu mengeluarkan kebijakan-kebijakan hingga program yang justru sesat. Perubahan atau pergeseran mendasar dari acuan nilai, pola pikir, cara hidup hingga visi dan orientasi baik dalam skala ruang maupun waktu di kalangan generasi muda itu bukan hanya memberi ancaman besar bagi kelangsungan kebudayaan dan peradaban negeri ini, melainkan juga semua proses pembangunan yang gencar kita upayakan sekarang ini.

Kesaktian bahasa

Apa sebenarnya yang dibayangkan seorang anak muda dengan istilah ”kebebasan...” atau tentang ”hak asasi”, tentang ”kesetaraan gender”, tentang ”persaingan”, atau tentang adat dan tradisi? Ketika kita memasuki arena yang bernama media sosial, sedikitnya kita mafhum, anak-anak remaja dan muda bangsa ini mengekspresikan kebebasan, misalnya, adalah ”pendapat atau mau gue sendiri”. Sementara kebebasan atau kebenaran orang lain sekadar, ”ah.. itu, kan, cuma menurut lo”, atau ”ngomong aja lo ama tembok”.

Dalam diskursus kebudayaan, sikap kolektif semacam itu mewakili gambaran masyarakat yang relatif primitif karena ketakmampuannya dalam mengomprehensi dan menciptakan konsensus tentang hal-hal yang normatif, apalagi di tingkat moralitas. Bangsa seperti ini bukanlah bangsa dengan peradaban cukup tinggi, bahkan menengah pun tidak, sehingga janganlah bermimpi kita mampu menciptakan masyarakat yang penuh etika, apalagi padat dengan estetika.

Inilah masyarakat yang telah secara berangsur menghancurkan dirinya sendiri, dimulai dengan menghina produk kebudayaannya sendiri. Menghina produk puncak kebudayaan (sebagaimana berlaku di mana saja) sendiri, yakni bahasa. Tidak mengherankan jika karya sastra kita, atau puisi sebagai ultimasi dari simbolisme kebudayaan, makin terpuruk kualitas, juga peran dan fungsinya di masyarakat. Bahasa menunjukkan bangsa. Maka, bangsa yang telah menghina bahasa sesungguhnya telah meremukkan eksistensinya.

Inilah sesungguhnya bentuk lain dari proxy war yang juga harus jadi perhatian khusus dari kalangan militer dan intelijen. Merangsek dan merasuknya program-program digital di semua bentuk dan level teknologisnya memiliki dampak dan maksud tersembunyi menghancurkan kepribadian sebuah masyarakat, setidaknya mengacaukan, sehingga ia menjadi goncang dan labil untuk kemudian mudah diarahkan atau dibentuk sesuai kepentingan pemilik teknologi serta (server) data yang mengiringi kepemilikannya.

Jadi, tidak saja kita harus berhati-hati dengan program ambisius, tetapi sembrono untuk mendigitalisasi semua perangkat dan mengoneksi via hotspot atau Wi-Fi seluruh elemen bangsa. Kita pun harus waspada serta mengontrol nafsu kita yang begitu hebat akan investasi asing. Jangan karena tekanan dari segelintir negara investor lalu kita jual martabat dan harga diri bangsa dengan membolehkan pekerja asing mencari nafkah sebanyak-banyaknya di negeri kita tanpa pengetahuan sedikit pun tentang bahasa kita.

Implikasi kebijakan oportunis ini bukan hanya menciptakan banjir tenaga asing sehingga mengurangi peluang kerja bagi buruh lokal yang sudah sempit. Juga harus pula dilihat implikasinya terkait peluang penyelundupan manusia terselubung (pekerja asing yang kemudian menetap permanen dengan cara ilegal) hingga infiltrasi intelijen yang bermain katak di antara para pekerja asing tersebut.

Bagaimana pekerja asing dapat bekerja dengan baik dan efisien jika ia tidak mampu berkomunikasi dengan baik dengan sejawat lokalnya sehingga tak mampu mengenali atau memahami kondisi sosial-psikologis-kultural masyarakat atau bangsa di mana kemampuan profesionalnya ia kerahkan? Bahasa adalah lambang jati diri bangsa kita, bukan saja karena diakui seluruh kebudayaan dunia, melainkan juga disumpahkan oleh para pemuda perintis kemerdekaan kita pada 1928.

Apakah sudah begitu remuk dan rendahnya bangsa ini menjual jati diri dan martabatnya demi sejuta atau semiliar dollar saja? Bahkan, kepada sosok seperti Donald Trump? Suku bangsa mana pun di negeri ini, saya yakin, mereka pasti akan menggelengkan kepalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar