Berdamai dengan Masa Lalu
Agus Widjojo ;
Anak Pahlawan Revolusi
|
KOMPAS,
30 September 2015
Setiap menjelang 30
September, selalu muncul wacana tentang tragedi Gerakan 30 September 1965.
Namun, wacana yang muncul masih terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama
berpihak kepada korban dari eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan
pengembangannya berbentuk berbagai tuntutan: dimulai dari proses pengadilan
bagi pelaku, reparasi bagi korban, hingga pembersihan nama PKI dengan dalih
peristiwa ini akibat dari gejolak internal yang ada dalam TNI AD. Masih ada
variasi kembangan bahwa peristiwa ini berkaitan dengan peran asing, khususnya
intelijen Amerika Serikat, yang berada di belakang TNI AD.
Di sisi lain, ada
kelompok yang menyatakan PKI dalang dan berada di belakang peristiwa ini
dalam rangka perebutan kekuasaan politik dengan melakukan aksi ofensif
terhadap TNI AD. Ini yang mengakibatkan gugurnya tujuh pahlawan revolusi yang
jenazahnya ditemukan di lubang sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya,
Jakarta Timur, serta dua perwira menengah di Yogyakarta. Kelompok ini menolak
keberadaan segala sesuatu yang berbau dan berkaitan dengan komunisme dalam
bentuk apa pun di Indonesia.
Rekonsiliasi nasional
Keadaan ini
menunjukkan, masyarakat dan bangsa kita masih belum dapat berdamai dan
menutup masa lalunya. Kelompok-kelompok masyarakat yang punya kedekatan
hubungan emosional, seperti anggota keluarga yang terlibat dengan peristiwa
tersebut, masih belum bisa mengadakan refleksi dan memberi jarak pada
peristiwa tersebut. Pada dasarnya posisi kedua kelompok ini masih belum
berubah dari posisi mereka ketika peristiwa ini terjadi pada 1965. Dapat kita
katakan, dilihat dari perspektif tragedi 1965 kedua kelompok ini, Indonesia
masih berada dalam tahun 1965.
Telah ada tanda-tanda upaya pemerintah untuk mencari
penyelesaian atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Namun, semua upaya
tersebut tidak sampai berwujud pada bentuk konkret. Telah ada pernyataan
publik Jaksa Agung yang menyatakan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu akan diselesaikan melalui cara non-yudisial dalam bentuk
rekonsiliasi. Terlepas dari benar atau tidaknya rumor, pernah beredar juga
bahwa pemerintah akan minta maaf, khususnya kepada korban dari keluarga eks
anggota PKI. Kesimpangsiuran
informasi yang ada dan belum berkembangnya rencana pemerintah dapat dikatakan
disebabkan oleh tidak adanya pemahaman tentang konsep penyelesaian
pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, khususnya yang akan
diselesaikan melalui rekonsiliasi.
Sebagai prinsip,
pertama-tama dapat dikatakan bahwa semua tindakan pelanggaran HAM berat
idealnya diselesaikan melalui pengadilan. Hanya pelanggaran HAM berat masa
lalu yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan—karena tak memenuhi
syarat—yang dapat diselesaikan melalui penyelesaian non-yudisial dalam bentuk
rekonsiliasi. Mandat untuk penyelesaian melalui rekonsiliasi ini kita
dapatkan dalam Pasal 47 a Bab X Ketentuan Penutup UU No 26/2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dalam UU tersebut
dinyatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
berlakunya UU ini tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi. Juga dalam UU itu dinyatakan, pelanggaran HAM yang berat
meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Walaupun
disebutkan terdapat 10 bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, dinyatakan
bahwa pelanggaran HAM berat dipersyaratkan memenuhi ketentuan perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui
ditujukan langsung terhadap penduduk sipil. Oleh karena itu, pelanggaran HAM
berat merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang spesifik.
Agar rekonsiliasi
dapat tercapai, perlu dipenuhi beberapa persyaratan. Berbeda dengan tujuan
proses pengadilan untuk membuktikan seseorang bersalah atau tidak,
rekonsiliasi lebih bersifat berimbang dari upaya pembuktian suatu kesalahan
dengan perhatian yang perlu diberikan kepada korban serta tidak terulang
kembalinya peristiwa serupa pada generasi anak-cucu kita di masa depan. Pada
akhirnya, rekonsiliasi bertujuan untuk memulihkan harkat dan martabat manusia
dalam masyarakat baru Indonesia yang telah berdamai dan menutup masa lalunya.
Untuk mencapai tujuan
itu, rekonsiliasi terdiri atas empat elemen yang perlu dicapai
secara seimbang. Elemen tersebut adalah keadilan, pencarian kebenaran,
reformasi kelembagaan, dan reparasi. Dalam negara yang tengah mengalami masa
transisi dari rezim pemerintahan otoritarian menuju demokrasi, terkadang
lebih realistis untuk memilih opsi yang mungkin dilaksanakan daripada opsi
yang ideal, tetapi tak mungkin diwujudkan. Memaksakan penyelesaian suatu
kasus pelanggaran HAM yang berat melalui proses pengadilan dalam masa
transisi mengandung risiko tak mencapai tujuan keadilan retributif, malah
bisa berakibat sebaliknya. Negara-negara dalam masa transisi menghadapi
pilihan berat dalam upaya memberi keseimbangan antara imperatif keadilan dan
rekonsiliasi dengan realitas politik untuk mengendalikan impunitas.
Keadilan, perdamaian,
dan demokrasi bukan merupakan sasaran yang eksklusif terpisah satu dengan
yang lain, tetapi merupakan imperatif yang saling memperkuat dan memerlukan
perencanaan strategis, kesatuan rencana, dan penahapan yang cermat. Elemen
pencarian kebenaran jadi penting sebagai wujud dari hak korban atas
kebenaran. Pencarian kebenaran cara yang penting untuk menyembuhkan luka
lama, mengidentifikasi korban, meningkatkan akuntabilitas terhadap para pelaku,
dan mengidentifikasi kelemahan dalam sistem atau pembuatan kebijakan untuk
dapat kita perbaiki dalam elemen reformasi kelembagaan sebagai bagian
keadilan transisional.
Reparasi merupakan
proyek pemerintah yang dapat menyatakan pengakuan kepada mereka yang hak-hak
dasarnya telah dilanggar, meliputi pengakuan atas pelanggaran atas hak
korban, pengakuan atas tanggung jawab negara, dan pengakuan terhadap cedera
yang diderita korban sebagai akibat dari tindak kekerasan. Reparasi simbolis
dapat berbentuk pernyataan penyesalan, penentuan hari-hari peringatan,
pembangunan monumen atau museum. Yang terpenting di sini adalah bahwa semua
tentang kesalahan apa yang dilakukan dalam kaitan dengan kewenangan berbagai
lembaga, hubungan antara kewenangan lembaga, serta kewajiban untuk patuh pada
berbagai peraturan perundang-undangan yang ada perlu diidentifikasi sehingga
menjelaskan mengapa sampai terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentuk
kejahatan terhadap kemanusiaan pada sesama bangsa. Kelemahan dan kesalahan
itulah yang perlu kita koreksi dalam elemen reformasi kelembagaan untuk
menjamin agar peristiwa serupa tidak terulang.
Demi kepentingan bangsa
Dari uraian di atas,
jelas bahwa rekonsiliasi bukanlah konsep upaya mementingkan salah satu
kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan. Rekonsiliasi bukan untuk
membuktikan siapa salah dan benar. Rekonsiliasi juga bukan untuk
menjustifikasi tuntutan salah satu pihak terhadap pihak lain. Rekonsiliasi adalah upaya penyelesaian konflik yang
selalu berpihak pada kepentingan bangsa.
Rekonsiliasi pada hakikatnya harus lahir dari kesepakatan
dan kemauan kuat untuk menutup masa lalu dan membangun masa depan. Menutup
masa lalu dengan memaafkan, tetapi tidak melupakan. Tidak melupakan di
sini diartikan tidak serta-merta meninggalkan ingatan terhadap peristiwa,
tetapi kita harus dapat menarik pelajaran dari kesalahan masa lalu,
memperbaikinya, dan menjamin agar peristiwa serupa tidak terulang.
Menjadi jelas, menutup
masa lalu tidaklah sesederhana hanya dengan permintaan maaf pemerintah kepada korban PKI. Logika dari kebijakan seperti ini hanya akan
melahirkan pertanyaan apakah kesalahan hanya terletak pada pemerintah
sehingga pemerintah yang berkewajiban meminta maaf? Apakah korban hanya di
pihak eks anggota PKI sehingga permintaan maaf hanya ditujukan kepada korban
eks anggota PKI? Rekonsiliasi ini bukan diadakan untuk kepentingan korban eks
anggota PKI dan keluarganya. Rekonsiliasi
memiliki lingkup bangsa dan jika kita ingat bahwa tragedi 1965 merupakan
puncak perebutan kekuasaan politik dari tiga kekuatan politik terbesar pada
saat itu, yaitu Presiden Soekarno, PKI, dan TNI AD, di sini kita harus
melawan lupa terhadap memori institusional tiga kekuatan politik tersebut
untuk membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional tragedi 1965.
Tidak boleh kita
lupakan, proses politik yang memuncak pada tragedi 1965 merupakan proses
sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelum 1 Oktober 1965. Oleh karena itu,
apabila kita menguji kemampuan bangsa untuk melaksanakan rekonsiliasi
nasional berdasarkan model tragedi 1965, kita tidak bisa berawal hanya dari
tanggal 1 Oktober 1965. Untuk melawan lupa, kita pun perlu melihat yang
diperbuat PKI pada 1948 di Madiun. Tragedi 1965 dapat dilihat sebagai
pengulangan perjuangan ideologis PKI dengan menggunakan metode dan cara yang
sama.
Tentu hal ini berlaku
juga bagi TNI AD dalam catatan institusionalnya. Namun, jangan dilupakan, TNI
AD saat ini telah melaksanakan reformasi kelembagaan sehingga apabila
dipenuhi persyaratan otoritas politik yang kompeten dan efektif, tindakan
yang dilakukan TNI AD pada masa lalu—khususnya pasca tragedi 1965—tidak dapat
diulangi. Hal ini merupakan jaminan tidak berulangnya peristiwa serupa di
masa mendatang.
Terhadap perspektif
korban eks anggota PKI dan keluarganya bahwa banyak di antara mereka telah
jadi korban—baik korban jiwa maupun dirampasnya hak-hak dasar mereka sebagai
warga negara tanpa pengadilan dan hak membela diri—apabila memang terjadi,
mengapa itu tidak dicatat sebagai pengalaman pahit bangsa dan diakui sebagai
kenyataan? Akan tetapi, dalam rekonsiliasi, persoalannya tidak berhenti di
situ. Rekonsiliasi tidak hanya untuk mencari akuntabilitas dan
memberi justifikasi terhadap tuntutan korban, tetapi juga untuk kepentingan
bangsa. Rekonsiliasi mencari penyelesaian yang melampaui itu semua, yaitu
mencari jawaban atas pertanyaan: mengapa saling bunuh antarsesama anak bangsa
bisa terjadi?
Terhadap tuntutan
golongan yang menyatakan tidak ada tempat bagi ideologi komunis di bumi
Indonesia, sebenarnya itu sudah otomatis mengandung kebenaran. Dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
memang tidak ada tempat bukan saja bagi komunis, melainkan juga ideologi
lain. Rekonsiliasi
merupakan kesepakatan bangsa untuk belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh
bangsa ini di masa lalu guna menutup masa lalu tanpa melupakan, mengawali era
baru untuk menatap masa depan yang tidak memberi kemungkinan bagi terulangnya
peristiwa kelam bangsa di masa lalu.
Membuat lembaran baru
Oleh karena itu,
rekonsiliasi tidak bisa dibangun atas pendekatan hitam-putih dan zero-sum game. Untuk itu, diperlukan
kesediaan berkorban dari setiap pihak untuk menggantikan mitos-mitos lama
yang berawal dari konflik dengan nilai-nilai baru berdasarkan orientasi ke
masa depan dan kesepakatan untuk membuat lembaran membangun masyarakat baru
melalui pemulihan harkat dan martabat manusia.
Rekonsiliasi bagi
masyarakat dan bangsa Indonesia masih sulit dimulai. Salah satu sebab
utamanya, pengertian rekonsiliasi dipahami secara awam oleh golongan yang
terlibat konflik: masih digunakan untuk kepentingan setiap pihak. Keadaan
seperti ini tak menguntungkan bagi terlaksananya rekonsiliasi.
Apabila rekonsiliasi tidak mampu kita laksanakan, hal itu
hanya akan mencoreng citra bangsa Indonesia yang bukan saja tidak punya
keberanian untuk berdamai dengan masa lalunya, melainkan juga menunjukkan
tingkat keadaban bangsa yang rendah. Hanya dengan melakukan rekonsiliasi nasional
yang berawal dari introspeksi pihak-pihak terkait, melalui kejujuran untuk
melihat kesalahan yang dilakukan oleh golongan sendiri, kita bisa melihat
derajat dan martabat keadaban bangsa untuk sama dengan bangsa-bangsa lain
yang telah berusaha menutup masa lalunya, seperti Jerman, Afrika Selatan,
Kamboja, dan Timor Leste.
Tragedi 1965 merupakan
sebuah model yang dapat dijadikan ujian bagi masyarakat Indonesia apakah kita
mampu melaksanakan rekonsiliasi nasional guna memulihkan martabat bangsa agar
sejajar dengan martabat dan peradaban bangsa-bangsa lain di dunia. Perlu
kejernihan hati, kebesaran jiwa, dan keberanian untuk melakukan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar