Inlander
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 25 September 2015
KATA inlander merujuk
pada ejekan yang dilontarkan penjajah Belanda kepada masyarakat kita. Kata
itu membuktikan bahwa Belanda bukan hanya menjajah kita secara fisik, tetapi
juga mental.
Maka, muncul ungkapan
mental inlander alias mental orang terjajah, yang indikasinya antara lain:
baru dikerjakan kalau diperintah atau didorong-dorong, mudah diadu domba dan
mengadu, reaktif, mudah dendam, lempar batu sembunyi tangan, selalu merasa
miskin dan terbelakang, tidak percaya diri, rendah diri, dan masih banyak
lagi.
Meski Belanda sudah
lama meninggalkan kita, jejak mental inlander sampai sekarang masih sering
muncul. Misalnya, masih menganggap bangsa lain lebih hebat meski kita punya
sejumlah ahli nuklir, sehingga tidak mampu membangun dan mengelola Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir sendiri.
Lihat proyek-proyek
properti kita. Semuanya memakai perancang, konsultan dan nama-nama asing
meski cuma dari seberang di dekat sini. Kita juga kurang percaya diri kalau
memakai produk dalam negeri. Maka, tak heran kalau Indonesia menjadi surganya
merek-merek asing.
Celakanya, mental
inlander juga membuat kita merasa tidak mampu membaca potensi yang begitu
besar, bahkan saat dolar menguat yang seharusnya mampu membuat kita menguasai
pasar dunia. Kita hanya ketakutan tak bisa berbelanja barang-barang impor
kalau dolarnya menjadi amat mahal. Kita hanya bisa menyebarkan kebencian,
mengadu domba antara si A dengan Si B karena mereka berbeda pendapat.
Penyanyi reggae Bob
Marley mengatakan, "Emancipate
yourself from the mental slavery. No one but ourselves can free our
minds..."
SDM Kita di Mancanegara
Awal September lalu
saya berkunjung ke perusahaan migas nasional di Kalimantan Timur. Di sana
saya menyaksikan betapa hebatnya SDM kita. Dibandingkan dengan
perusahaan-perusahaan kilang gas seantero dunia, ternyata SDM kita ternyata
sudah mampu membuat biaya operasional di perusahaan itu yang terendah dari
seluruh pelaku dunia.
Pasti Anda curiga,
mungkin itu karena faktor gaji. Itu betul, gaji mereka memang lebih rendah
jika dibandingkan dengan gaji karyawan kilang gas lain yang ada di luar
negeri. Tapi, ada faktor lain.
Pertama, perusahaan
ini memang punya SDM yang unggul yang tak henti berinovasi dan sangat
telaten. Dulu misalnya, kalau dulu ada mesin yang rusak perbaikannya mesti
dilakukan ke Singapura. Ini jelas memakan waktu lama dan mahal. Maka, mereka
tergilitik mengotak-atik sendiri. Hasilnya? Bisa tuh. Kini, tak perlu lagi
mengirimnya ke Singapura, dan jelas biayanya jauh lebih murah.
Kedua, mereka juga
telaten dalam merawat. Alhasil ketika ada gangguan, mereka langsung tahu dan
benahi. Cara ini membuat umur mesin jadi tahan lama.
Di banyak kilang
gas—bahkan di luar negeri sekalipun, mesin tadi umurnya biasanya hanya empat
tahun. Setelah itu diganti dengan mesin yang baru. Di sini, mesin yang sama
bisa dipakai hingga 12 tahun. Maaf, ini bukan asal bisa dipakai. Tapi,
kelayakan operasionalnya sudah diverifikasi oleh vendor dan surveyor.
Dua faktor itu saja
sudah membuat biaya operasional di perusahaan tadi menjadi jauh lebih murah.
Belum lagi inovasi lainnya.
Dengan reputasi
semacam itu, saya tak heran kalau banyak karyawan dari perusahaan ini yang
diminta bantuannya untuk mengatasi masalah-masalah (troubleshoot) yang terjadi di kilang-kilang gas nasional maupun
internasional. Saat saya berkunjung, saya melihat banyak tenaga kerja asing
yang tengah belajar di anak perusahaan BUMN kita ini. Mereka tinggal di sana
berbulan-bulan, belajar dari SDM kita.
Begitu juga oleh
kilang-kilang gas nasional. Misalnya, kilang Cilacap di Jawa Tengah, kilang
Tangguh di Papua dan kilang Donggi Senoro di Sulawesi Tengah.
Itu di industri migas.
Di industri lainnya juga kita memiliki banyak SDM yang hebat. Di industri
konstruksi, misalnya, PT Wijaya Karya Tbk pernah mengirimkan ratusan
karyawannya untuk mengerjakan proyek-proyek konstruksi di Aljazair. Ternyata
sukses.
Layakkah mereka kita
sebut inlander? Jelas tidak. Kecuali mereka yang gemar menyebarkan kebencian
melalui sosial media, yang hanya sibuk membuat cacian, kritik pedas, bahkan
mengadu domba dengan nama samaran (dan kadang nama betulan, yang karyanya
tidak kita kenal namun rasanya paling pintar dia). Lalu pernahkah mereka
berbuat hal yang penting bagi bangsa ini?
Bagi saya para
inlander adalah mereka yang mudah terpukau oleh orang kaya saat berada di
luar negeri, diundang untuk ketemu oleh orang kaya di negara tersebut,
langsung mau begitu saja sampai lupa dengan jabatannya. Mereka lupa bahwa di
sana mereka mewakili kita dengan uang kita.
Siapa mereka? Ssttt...
Anda tahulah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar