Neotribalisme
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta
|
KOMPAS,
23 September 2015
Setelah 70 tahun
merdeka, bangsa Indonesia perlu membaca ulang moto dan realitas sosial
Bhinneka Tunggal Ika, mengingat masyarakat Nusantara berkembang sangat
dinamis.
Tulisan ini
diinspirasi oleh buku Beyond Tribalism
(2012) oleh Celia de Anca, mencoba melihat secara kritis kemunculan
komunalisme baru. Istilah tribalisme dalam buku ini dipahami secara netral,
positif, merujuk pada ikatan suku, marga, ataupun hubungan darah. Bukan
tribalisme dalam konotasi kasar, negatif, tidak beradab. Menurut Celia,
sekarang ini di berbagai masyarakat dunia tengah berlangsung proses
mengendurnya ikatan sukuisme tradisional.
Jika dahulu
individualitas seseorang seakan hilang melebur dalam identitas dan ideologi
kesukuan, sekarang seseorang justru berusaha untuk melepaskan diri dari
ikatan dan tekanan kesukuan, lalu membangun komunitas baru dengan
mengandalkan kekuatan pribadinya yang ditopang oleh prestasi keilmuan,
profesi, dan jejaring sosial baru.
Dalam jejaring sosial
tribalisme klasik, komunikasi berlangsung secara lisan dan tatap muka dalam
struktur sosial yang hierarkis berdasarkan keturunan. Dalam komunitas baru
yang oleh Celia disebut neotribalisme, telah terjadi pergeseran nilai sangat
mendasar. Relasi sosial dalam neotribalisme cenderung demokratis dan
kontraktual. Mereka berkelompok didasarkan pilihan sukarela dan kesamaan
profesi ataupun hobi yang umumnya selalu berorientasi ekonomi.
Komunalisme baru ini
lebih longgar, rasional, anggotanya bebas keluar-masuk, mengingat sifatnya
sukarela. Kecenderungan ini sesungguhnya sudah lama dibahas oleh Max Weber,
bahwa dampak sosial dari modernisasi pendidikan, teknologi, dan birokrasi
akan menggoyahkan ikatan komunalisme etnis. Orang lebih percaya diri dan
nyaman dengan mengenalkan identitas barunya sebagai kaum profesional
ketimbang identitas suku atau marga yang bersifat primordial.
Kata identitas,
berasal dari bahasa Latin idem dan enti, menunjuk pada kesamaan entitas,
terutama kesamaan sifat dan kategori sosial. Dahulu, di Indonesia identitas
itu sangat terbatas, yang menonjol adalah identitas suku dan agama. Namun,
sekarang ini berkembang banyak sekali identitas baru yang menjadi acuan dan
pilihan seseorang.
Saya sendiri sering
kali menerima beragam kartu nama dari orang yang sama. Juga sering bertemu
orang yang sama dalam forum komunitas yang berbeda-beda. Artinya, telah
muncul beragam identitas sosial baru yang memungkinkan seseorang untuk
membangun rumah komunal baru di luar kategori suku dan agama. Kita hidup
dalam masyarakat baru yang sangat cair dan plural, yang sekaligus juga penuh
kompetisi yang dipicu oleh kepentingan politik dan ekonomi.
Membaca ulang Bhinneka Tunggal Ika
Sejak awal, konsep
kebinekaan itu bersifat dinamis visioner yang diikat dalam semangat
kebangsaan dan kemanusiaan. Bukan semata menunjuk pada realitas antropologis
dan geografis, bahwa penduduk Nusantara ini tersebar ke berbagai pulau dengan
ragam bahasa, budaya, dan agama.
Lebih dari itu adalah
juga sebuah tekad untuk bersatu memajukan dan menyejahterakan anak-anak
bangsa dengan tetap menghargai identitas setiap etnis dan agama. Dibandingkan
kategori etnis, identitas agama paling bertahan karena dibakukan dalam kartu
tanda penduduk (KTP).
Dalam agenda
penyemaian anak-anak Indonesia, peranan perguruan tinggi sangat signifikan,
terutama perguruan tinggi papan atas. Kampus telah memfasilitasi bertemunya
putra-putri daerah terbaik. Mereka melebur ke dalam satu komunitas hibrida
yang disatukan oleh semangat akademis.
Di kampus itu pula
terjalin hubungan persahabatan lintas etnis yang sebagian berlanjut pada
perkawinan yang pada urutannya melahirkan generasi baru yang semakin
mengindonesia. Generasi ini semakin samar afiliasi dan identitas etnisnya.
Mereka lebih memilih identitas yang menonjolkan pilihan dan prestasi
akademis, karier, dan hobinya. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin menjadi
pemimpin Indonesia mestinya mereka yang datang dari kampus terbaik dan punya
pengalaman serta penghayatan keindonesiaan yang plural, majemuk, dan
inklusif.
Dengan mengendurnya
identitas primordialisme, konsep kebinekaan haruslah berkembang menjadi
kebinekaan progresif yang berkeadilan, yaitu munculnya keanekaragaman
pusat-pusat unggulan pendidikan, budaya, industri, dan ekonomi sehingga
terjadi pemerataan penyebaran penduduk dan sentra-sentra ekonomi serta
budaya, tidak hanya terpusat di Pulau Jawa. Selama ini konsep kebinekaan
berjalan di tempat, bahkan terjadi hegemoni oleh satu etnis dan wilayah
terdapat yang lain.
Memasuki 70 tahun
kemerdekaan, kita bukannya merayakan kebanggaan sebagai masyarakat dan bangsa
yang dianugerahi keragaman nabati, hayati, dan kultural yang sedemikian
melimpah, melainkan pertengkaran dan keluh kesah akibat kurang mampu
memanfaatkan dan mengendalikan anugerah dan warisan kekayaan bangsa, termasuk
mengisi amanat kemerdekaan.
Neotribalisme partai politik
Di Indonesia, secara
ikonik neotribalisme yang dimaksudkan oleh Celia de Anca mungkin saja
tecermin dalam komunitas partai politik. Komunitas partai politik ini
memiliki daya tarik bagi warga masyarakat untuk berhimpun dan membangun
identitas baru dalam bingkai keindonesiaan dengan menyimpan agenda politik
dan ekonomi yang kental.
Partai-partai politik
besar cenderung semakin inklusif, longgar, tidak menonjolkan identitas etnis
dan agama. Para kadernya pun sering melakukan akrobat kutu loncat. Militansi
mereka lebih didasari motif kalkulasi kekuasaan dan ekonomi, bukannya
keterikatan etnis dan agama.
Jadi, jika
neotribalisme partai politik ini tidak diperkuat oleh penerapan prinsip profesionalisme,
meritokrasi, dan etika, jangan-jangan yang terjadi adalah neotribalisme dalam
konotasinya yang negatif. Sebuah kerumunan orang-orang yang haus dan lapar
akan kekuasaan dan sumber ekonomi, bukan lagi sebagai penyangga dan pejuang
bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Partai politik lalu terjatuh
menjadi bagian dari problem, bukannya solusi bangsa.
Sebuah catatan kecil
terhadap buku Beyond Tribalism
adalah fenomena Tionghoa perantauan. Mereka tetap memiliki ikatan kuat dengan
identitas primordialnya, tetapi dalam waktu yang sama mereka mengembangkan
prinsip profesionalisme dan melakukan bisnis secara rasional. Secara etnis
mereka masih eksklusif, tetapi dari sisi bisnis mereka inklusif. Mungkin
setia pada nasihat Khonghucu, U Hao, berbaktilah kepada orangtua, Ai Kwo,
cintailah negaramu, dan ingat, di empat penjuru lautan semuanya adalah
bersaudara.
Mereka melakukan
diaspora ke seluruh dunia dengan bendera bisnis dan budaya, bukan senjata
seperti yang dilakukan Barat yang kadang mengingatkan kenangan pahit semasa
Perang Salib. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar