Topi dari Amerika
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 21 September 2015
TOPI dari Amerika jadi perkara! Pimpinan KPK
menganjurkan agar topi pemberian Donald Trump kepada Setya Novanto dan Fadli
Zon dilaporkan ke KPK. Topi itu mungkin gratifikasi. Pelaporan diperlukan
agar tak ada sangkaan buruk. Konon, para pejabat di Indonesia dilarang
menerima hadiah saat menjalankan tugas. Apakah topi tersebut gratifikasi dan
diserahkan ke negara? Adegan Trump memberikan topi sudah terjadi.
Pulang dari Amerika, Fadli mengutus staf untuk
membawa topi dan dasi pemberian Trump ke KPK, 18 September 2015. Surat berisi
pesan Fadli Zon pun disertakan. Topi dan dasi itu tak usah dikembalikan ke
Fadli Zon jika tak terbukti sebagai gratifikasi.
Fadli Zon ”ikhlas” memberikan topi dan dasi
tersebut kepada KPK ( Jawa Pos, 19 September 2015). Topi putih dengan tulisan
Make America Great Again sudah menghuni KPK. Topi tak bakal dipakai di kepala
Fadli Zon. Topi itu ada dalam pusaran polemik bersinggungan dengan kode etik
pejabat dan kekuasaan.
Dulu topi juga bercerita tentang kunjungan
Soekarno ke Amerika Serikat (1956). Berangkat dari Indonesia, Soekarno
memilih mengenakan peci sebagai tutup kepala khas nasionalis. Sejak masa
1920-an, Soekarno mengusahkan peci adalah lambang Indonesia.
Peci mejadi identitas kaum nasionalis saat
berhadapan dengan kolonialis. Berpeci dalam gerakan politik kebangsaan
mendapat sambutan dari para tokoh. Kita gampang mengingat nama-nama besar
dalam gerakan kebangsaan berpeci. Tokohtokoh tentu tak wajib berpeci.
Kita menduga, ada tokoh-tokoh tak berpeci.
Barangkali Tan Malaka bakal tampak aneh jika berpeci. Kita sempat melihat Tan
Malaka gampang dikenali saat mengenakan topi bundar khas pekerja.
Sejak awal abad XX, kaum intelektual dan
pergerakan kebangsaan memiliki pilihan berbeda dalam mengenakan tutup kepala.
Tokohtokoh Jawa biasa menggunakan belangkon.
Model pendidikan dan jenis pekerjaan modern
perlahan menggoda mereka untuk mengenakan topi Eropa, meniru pilihan tutup kepala
orang-orang Belanda. Keputusan berkuliah ke Belanda semakin membuat para
tokoh mengakrabi topitopi bercap Eropa. Di Belanda, Hatta tak canggung
menaruh topi bundar di kepala. Kita melihat Hatta tampak cakep dan modern.
Sejak ratusan tahun silam, jenis dan bentuk
topi membedakan derajat kekuasaan, identitas, kelas sosial, dan tingkat
religiusitas. Keberagaman tutup kepala di Indonesia pada abad XX membuktikan
ada kesadaran memilih dan mengartikan topi.
Kemunculan topi-topi asal bangsabangsa asing
pernah ditandingi tutup kepala tradisional. Soekarno mengajukan peci sebagai
pilihan simbolis politik-kultural. Polemik terjadi dengan seribu argumentasi.
Pilihan tutup kepala tak gampang disepakati.
Di Indonesia, perbedaan kelas sosial membedakan jenis tutup kepala. Kaum
intelektual, buruh, petani, militer, dan ulama sering berbeda dalam pengenaan
tutup kepala. Propaganda terus dilancarkan Soekarno sampai orangorang
bersedia mengenakan peci dalam pelbagai peristiwa.
Polemik topi tak bermula dari abad XX. Ribuan tahun
silam, topi sudah jadi urusan besar dalam lakon kerajaan-kerajaan di
Nusantara. Kita bisa membaca buku berjudul Menelusuri Figur Bertopi dalam
Relief Candi Zaman Majapahit: Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius
Candi-Candi Periode Jawa Timur Abad Ke-14 dan Ke-15 (2014) garapan L. Kieven.
Penggunaan pelbagai topi menentukan kekuasaan,
adab dan identitas, serta religiusitas. Topi di kepala para tokoh secara
simbolis menguak ketokohan, peristiwa, tempat, dan waktu.
Di pelbagai relief bercerita, para tokoh
mengenakan topi sebagai pembeda. Topi-topi jadi referensi kasatmata, tapi
mengandung rimbun makna sesuai konteks masa silam. Sejarah pun bergerak
dengan keberadaan topi di kepala para tokoh.
Kita mengingat lagi Soekarno saat berpeci di
Amerika Serikat. Di pelbagai acara, peci itu selalu dikenakan Soekarno. Mata
jutaan orang Amerika mengarah ke penampilan Soekarno.
Mereka tentu melihat tokoh fenomenal tersebut
berpeci. Di mata Amerika, peci mungkin benda aneh dan ”purba”. Di negara
besar, Soekarno berpeci menjalani pertemuan dengan para pejabat penting:
sipil dan militer. Peci selalu jadi saksi pertemuan meski diam.
Hal berbeda terjadi saat Soekarno berkenan
melepas peci dalam kunjungan ke Grand Canyon. Soekarno tampak mengenakan topi
besar khas Amerika. Di lembah indah, Soekarno sejenak mengistirahatkan peci.
Kita tak tahu pemberi topi dan maksud Soekarno mengenakan topi bundar-besar.
Kejadian itu tak terlalu mengganggu pengenalan publik bahwa Soekarno adalah
penguasa berpeci. Kunjungan berlanjut ke Eropa, Soekarno terus berpeci
(Winoto Danoeasmoro, Perdjalanan P.J.M. Presiden Ir. Dr. Hadji Achmad Sukarno
ke Amerika dan Eropah, 1956). Pulang dari Amerika dan Eropa, Soekarno tak
bercerita membawa oleh-oleh topi atau berlagak tampil necis dengan topi cap
Amerika. Kita selalu mengenang beliau itu berpeci.
Tahun demi tahun berlalu. Pada masa Orde Baru,
Soeharto rajin berpeci ketimbang bertopi modern. Pembangunan sedang bergerak
cepat. Kaum pejabat, pengusaha, dan mahasiswa mulai mengenali negara-negara
asing. Kunjungan kenegaraan, bisnis, kuliah, atau pelesiran ke Amerika
menjadi kelaziman. Mereka pulang ke Indonesia berhak membawa oleholeh
berwujud topi. Di Indonesia, kita mulai melihat orang-orang mengenakan topi
bertulisan nama universitas kondang, nama klub olahraga, atau bermerek
perusahaan khas Amerika.
Topi-topi itu bercerita kesuksesan,
keberlimpahan harta, dan pemuja Amerika. Kita masih beruntung Soeharto tak
jadi teladan pameran topi sebagai simbol memuja dominasi politik-kultural
Amerika.
Kini kita mengingat lagi topi dari Amerika.
Kehadiran dua pimpinan DPR dalam acara Donald Trump memicu polemik sengit di
Indonesia. Di lokasi acara, mereka tampak tak berpeci.
Pulang dari Amerika, mereka membawa hadiah
topi pemberian Trump. Kita bisa menduga topi itu berharga mahal dan keren.
Sejarah Indonesia-Amerika masih menempatkan topi sebagai cerita.
Barangkali peristiwa itu tak sengaja jadi
sambungan cerita Soekarno berpeci saat di Amerika. Di mata pejabat Amerika,
peci di kepala Soekarno mungkin perkara genting saat mereka ingin mengumbar
pelbagai janji dan bujukan agar isi kepala Soekarno jadi berpihak ke blok
Amerika Serikat.
Peci melindungi Soekarno dari propaganda dan
bisikan Amerika. Kita tak usah
terlalu bernostalgia. Masalah paling terbaru
adalah topi dari Amerika. Kita bersabar menunggu keterangan dari KPK agar
topi itu tak misterius. Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar