Wasiat Abang
Untuk Membela Si Miskin dan Tertindas....
Haryo Damardono ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
25 September 2015
"Jagalah
LBH/YLBHI. Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin dan
tertindas," tulis "Abang" Adnan Buyung Nasution, Minggu, 20
September 2015, ketika terbaring di rumah sakit.
Salah satu pesan
terakhir Bang Buyung diterima advokat Todung Mulya Lubis, yang nyaris tak
kuasa menahan harunya. Meski sakit, Abang tidak henti memikirkan nasib kaum
miskin dan tertindas. Beliau meminta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tetap meneruskan perjuangannya.
Bulan Agustus 2003,
usai diterima menjadi wartawan Kompas, saya dan belasan teman seangkatan
ditemui Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama di ruang kerjanya.
"Mana yang dari LBH?" itu kata-kata pertama Pak Jakob. Saya
mengangkat tangan dengan ragu.
"Saya tahu kenapa
you masuk Kompas. Tadi malam Bang Buyung telepon saya minta bantuan untuk
LBH," ujar Pak Jakob, sambil tertawa lepas. Saya hanya dapat nyengir.
Belakangan, saya tahu
Abang sekuat tenaga mempertahankan LBH. Demi LBH, Abang tanpa ragu
meminta-minta. Tentu, itu bukan untuk LBH apalagi bukan untuk Abang seorang,
tetapi demi si miskin dan tertindas. Sejak era PK Ojong, Kompas kerap
"menolong" LBH dan YLBHI.
Republik ini beruntung
memiliki Abang. Lahir di Jakarta, 20 Juli 1934, dengan nama asli Adnan Bahrum
Nasution, Abang sempat kuliah satu tahun di Fakultas Teknik Sipil Institut
Teknologi Bandung sebelum kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan
Kemasyaratan Universitas Indonesia.
Dengan bekal ilmunya,
Abang dapat saja hidup makmur sebagai advokat. Namun, dia memilih jalan
terjal dalam hidupnya.
Tanggal 28 Oktober
1970, Bang Buyung menginisiasi pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH/YLBHI).
Dengan rendah hati,
Abang mengatakan, LBH bukan yang pertama untuk menangani kasus probono. Sudah
sejak tahun 1950-an, organisasi Tjandra Naya memberi bantuan hukum meski
terbatas pada kalangan Tionghoa.
Konsep bantuan hukum
struktural juga diperkenalkan oleh LBH. Tidak sekadar membela si A, si B,
yang miskin harta, tetapi LBH juga membela siapa pun yang ditindas struktur
kekuasaan. Dan, hingga detik ini, mungkin jutaan orang terdampak dari
pembelaan LBH/YLBHI.
Dalam Konferensi World Peace Through Law Centre ke-8 di
Manila, tahun 1977, Abang mengatakan, "Si miskin bahkan tidak tahu bahwa
mereka mempunyai hak dan kewajiban hukum. Hal ini disebabkan karena sikap
mental dan nilai-nilai masyarakat. Feodalisme dan sistem politik yang otoriter
begitu kuat berakar sehingga rakyat takut berhubungan dengan hukum atau
dengan yang berwenang".
"Hal yang perlu dilakukan adalah memperkenalkan bahwa
mereka mempunyai hak yang dilindungi hukum. Rakyat juga diberi tahu bahwa
bantuan hukum sebagai suatu lembaga hukum itu ada, yang dapat mereka pakai
untuk membela dan menuntut hak-haknya," begitu kata Abang.
Dipenjara
Akibat aktivitasnya di
LBH, Bang Buyung pernah dipenjara selama 22 bulan paska Peristiwa Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari) 1974. Abang ditahan bersama Hariman Siregar,
Fahmi Idris, Rachman Tolleng, dan Syahrir. Sebelumnya, LBH menolak pendirian
proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Abang juga pernah
dilarang praktik advokat selama satu tahun akibat memotong ucapan hakim dan
berkacak pinggang di persidangan pada 6 Januari 1986. Ketika itu, Abang
bahkan mengusir petugas keamanan yang mau menertibkan sidang kasus Jenderal
HR Dharsono, bekas Pangdam Siliwangi dan Sekjen ASEAN yang dituduh subversif
oleh pemerintah Soeharto.
Abang pun dibela Tajuk
Rencana Kompas, Senin 18 Mei 1987 pada halaman IV. Penggalan tajuk itu
berisi, "...untuk pembangunan asas
hukum, terutama yang menyangkut demokratisasi, martabat manusia, hak-hak
asasi dan kewajibannya, figur vokal, konsisten, dan ikhlas seperti Bang
Buyung Nasution kita perlukan".
LBH pun dikenal
sebagai "lokomotif demokrasi". LBH/ YLBHI tampil sebagai
penyeimbang Orde Baru. Kantor LBH/ YLBHI di Jalan Diponegoro 74 adalah kawah
candradimuka bagi ratusan aktivis.
Apa modal dasar Abang
Buyung untuk ngemong LBH/ YLBHI?
Menurut praktisi hukum Mas Achmad Santosa, ada tiga kekuatan Bang Buyung.
Yakni, penguasaan konsep negara hukum, keterampilan analisis hukum dan
beracara, dan empati kuat terhadap kaum lemah dan tertindas.
Bang Buyung memang
manusia nyaris lengkap. Kemampuan beracaranya jelas ditempa saat menjadi
jaksa (1957-1968). Disertasi Abang, "The
Aspiration for Constitutional Government: A Sociological Study of the
Indonesian Konstituante 1956-1959" memperlihatkan kepiawaiannya
bicara soal pemerintahan dan tata negara.
Tidak heran bila Abang
pernah menjadi Wakil Ketua KPU (1999-2000). Bahkan sebelumnya, Abang menjadi
Wakil Ketua Komisi Sebelas yang menyusun regulasi dan menyeleksi 150 partai
hasil euforia politik paska kejatuhan Soeharto.
Cinta Abang
Cinta Abang terhadap
LBH tidak terbantahkan. Kira-kira bulan Maret 2002, saya ingat aktivis LBH/
YLBHI berencana "menolak" kehadiran Abang di Gedung YLBHI akibat
keterlibatan Abang dalam Tim Advokasi HAM Perwira TNI. Pembelaan Abang
dinilai merusak citra LBH.
Rapat digelar
semalaman di LBH Jakarta. Seingat saya diantaranya hadir Daniel Panjaitan,
Taufik Basari (kini Ketua DPP Hukum Partai Nasdem), dan Asfinawati (aktivis
dan ketua Tim Pembela Bambang Widjojanto). Di sektor "belakang" di
YLBHI, sejumlah aktivis seperti Munarman dan Patra M Zen juga menggelar
rapat.
Keesokan paginya,
spanduk penolakan Abang sudah disiapkan. Orator bersiap. Apa yang terjadi?
Bang Buyung masuk ke ruangan dengan membentangkan tangan, dan berkata dengan
lirih, "Apa salah Abang dengan kalian?"
Usai Abang bertanya
hanya ada keheningan. Hening sama sekali. Orator-orator kelas wahid dari
LBH/YLBHI yang terbiasa memimpin pergerakan buruh kehilangan kata-kata. Para
pengacara publik yang biasa berbantahan dengan aparat penegak hukum diam
seribu bahasa di depan Abang.
Lobi LBH Jakarta
mendadak terasa dingin. Padahal, gedung tua LBH/YLBHI hanya punya AC
"bobrok". Aura Abang terasa begitu besar. Aura terbesar dari
seorang individu yang pernah saya rasakan. Di Gedung YLBHI ketika itu
berkumpul "para pendekar hukum," tapi Abang seolah seorang
"pendekar besar".
Asfinawati mengenang
peristiwa itu. "Kami kalah aura," katanya.
Semua pengacara publik
menundukkan kepala. Namun, kecintaan Abang pada LBH/YLBHI yang akhirnya
membuat Abang mundur dari pimpinan Tim Advokasi HAM Perwira TNI. Abang
mencegah perpecahan LBH.
Abang tidak sekadar
hadir dengan pemikiran besarnya. Abang juga hadir dengan sentuhan-sentuhan
personalnya. Jas pertama Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan, juga diberikan
Abang saat mengikuti pelatihan NGO (non-government organization) di Tunisia
pada tahun 1990. Tanpa jas dari Abang, Teten harus bertahan dari musim dingin
dengan hanya memakai satu jaket yang dimilikinya.
Awal tahun 2003, saya
dan sejumlah asisten pengacara publik bertengkar dengan Direktur LBH Jakarta.
Akhirnya, para asisten pengacara publik itu bersikeras berkantor selama satu
bulan dalam tenda di halaman LBH.
Kerja di tenda sangat
panas, namun hati kami lebih panas lagi. Namun suatu siang, Bang Buyung
mendatangi kami di tenda itu. Tanpa banyak berkata-kata, sejumlah uang
diambil Abang dari dompetnya supaya kami dapat makan siang. Kami terpana,
lantas terharu. Kami ingin meneteskan air mata namun malu.
Kakak sekaligus Ayah
Dalam banyak
perselisihan antar aktivis dan kepengurusan di tubuh LBH, Bang Buyung selalu
di tengah. Demokratisasi di LBH bukan basa-basi. Perbedaan pendapat tidaklah
tabu. Rapat sering diwarnai adu mulut, saling pukul meja hingga saling lempar
kursi. Bang Buyung selalu menengahi.
Nama Bang Buyung juga
jaminan bagi kami dalam mengimbangi aparat penegak keamanan dan penegak hukum
di masa silam. Hanya berbekal nama Abang, kami boleh bersidang meski tak
mempunyai izin praktik pengacara. Klien LBH ribuan, dan kami tidak selalu
cukup sumber daya.
Bang Buyung, Abang
kami, telah dikebumikan Kamis (24/9) kemarin, di Tanah Kusir, Jakarta.
Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra, dapat saja Abang dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Namun keluarga berkeinginan agar Abang
dimakamkan dekat keluarganya.
Mungkin lebih baik
bagi Abang dimakamkan di Tanah Kusir. Sebagaimana Bung Hatta, yang ingin
dikebumikan di tengah-tengah rakyat, mungkin juga Bang Buyung ingin berada
dekat rakyat yang dari dulu dibelanya.
Selamat jalan Abang, kami akan menjalankan wasiatmu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar