Inovasi, Diskresi, dan Korupsi
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Administrasi dan Keuangan
Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
22 September 2015
Kekhawatiran banyak
daerah untuk mencairkan anggaran dalam APBD guna pembiayaan program dan
kegiatan daerah, yang memicu kelambanan penyerapan anggaran, sejatinya tak
beralasan.
Pasalnya, dengan telah
berlakunya UU No 23/2014 jis UU No 2/2015 dan UU No 9/2015 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU No 30/2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UU AP), di satu sisi telah terjadi perluasan wilayah
administrasi dalam kebijakan penganggaran dan di sisi lain terjadi
penyempitan wilayah pidana korupsi.
Pengaturan perihal
inovasi daerah pada Bab XXI Pasal 386-390 UU Pemda dan diskresi pada Bab VI
Pasal 22-32 UU AP telah mengontrol secara ketat kriminalisasi kebijakan
pemerintah daerah, termasuk dalam pencairan anggaran daerah. Kelahiran
ketentuan-ketentuan tersebut sejatinya ingin mengonstruksi garis demarkasi
baru wilayah administrasi kebijakan dengan wilayah pidana korupsi yang selama
ini dianggap kabur.
Ketakutan berlebihan
Kian meluasnya wilayah
administrasi di ranah kebijakan pemda tersebut, meskipun sering dianggap
bertentangan dengan semangat anti korupsi, sejatinya secara normatif telah
cukup memproteksi pelaksanaan program dan kegiatan di daerah dari potensi
kriminalisasi. Dengan demikian, tak ada alasan bagi ketakutan dikriminalisasi
bagi aparatur sipil negara dalam pencarian anggaran daerah yang kini menjadi
keprihatinan bagi pemerintah.
Tersendatnya pencairan
anggaran daerah oleh sejumlah daerah telah menyebabkan banyak daerah tak
mampu mengeksekusi program dan kegiatan yang telah direncanakan melalui
Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pembangunan
Daerah (RKPD), dan Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra
SKPD). Hal ini juga dinilai telah menjadi salah satu pemicu kian memburuknya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akibat anggaran daerah tak mampu
memberikan stimulus fiskal.
Pasal 386 UU Pemda
dengan tegas menyatakan, dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan
daerah, pemerintah daerah dapat melakukan inovasi. Inovasi merupakan semua
bentuk pembaruan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang harus berpedoman
pada sejumlah prinsip penting, seperti peningkatan efisiensi, perbaikan
efektivitas, perbaikan kualitas pelayanan, dan sejenisnya.
Bahkan, Pasal 389 UU
Pemda menegaskan, dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan
pemda dan inovasi tersebut tak mencapai sasaran yang telah ditetapkan,
aparatur sipil negara tak dapat dipidana. Namun, pelaksanaan inovasi itu
mengharuskan dipenuhinya persyaratan prosedur dan substansi yang cukup ketat
untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan inovasi daerah.
UU AP juga mengatur
bahwa pejabat pemerintah diberi kewenangan menggunakan diskresi dalam
pelaksanaan kebijakan. Namun, penggunaan wewenang diskresi tersebut harus
didasarkan atas tujuan yang bersifat limitatif, sebagaimana diatur pada Pasal
22 Ayat (2) UU AP, antara lain, melancarkan penyelenggaraan pemerintahan,
mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan.
Terdapat sejumlah
persyaratan ketat dalam penggunaan diskresi, antara lain harus didasarkan
alasan-alasan yang obyektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan dan
didasarkan itikad baik. Diskresi juga tak boleh jadi selubung bagi tindakan
sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang sehingga terdapat prosedur cukup
ketat dalam penggunaan wewenang diskresi bagi pejabat pemerintah.
Dalam teori
perundang-undangan terdapat salah satu asas penting, yaitu asas kesesuaian (congruency) yang bermakna bahwa UU
harus diterapkan sesuai dengan tujuan pembentukannya dan harus dicegah
perbedaan antara bunyi UU dan penegakannya. Berdasarkan asas tersebut, sejauh
norma hukum inovasi daerah dan diskresi diterapkan dalam koridor tujuan
pembentukan norma hukum tersebut untuk memperlancar penyelenggaraan
pemerintahan di daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik kepada
rakyat, dapat digunakan sebagai rujukan bagi pemda untuk tak perlu khawatir
kebijakan-kebijakannya dikriminalisasi.
Dramatisasi kriminalisasi
Dramatisasi ketakutan
pencairan anggaran di daerah justru kontraproduktif bagi upaya perbaikan
kondisi perekonomian di republik ini. UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara sejatinya juga telah mengatur secara proporsional wilayah administrasi
pertanggungjawaban anggaran dan tindak lanjut penanganannya secara hukum jika
sungguh-sungguh ditemukan indikasi terjadinya tindak pidana korupsi dalam
penggunaan anggaran. Pejabat yang bertanggung jawab di bidang anggaran tetap
diberikan waktu yang memadai untuk melakukan rekonsiliasi administratif dan
hak untuk mengajukan keberatan atas penetapan pembebanan kerugian
negara/daerah jika ditemukan adanya inkonsistensi dalam pelaporan penggunaan
anggaran daerah.
Berkaca pada
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sejatinya daerah telah memperoleh
jaminan perlindungan hukum yang memadai dalam pelaksanaan program dan
kegiatan di daerah sehubungan dengan penggunaan anggaran daerah. Bahkan,
jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui serangkaian
ketentuan mengenai inovasi daerah dan diskresi telah memperluas jangkauan
wilayah administratif dalam kebijakan penganggaran. Ketentuan-ketentuan itu
seharusnya dapat memberikan ”ruang bernapas” yang memadai bagi para pejabat
daerah untuk melaksanakan berbagai program dan kegiatan yang menjadi urusan
daerah sesuai dengan amanat UU Pemda.
Jadi, tak perlu ada
kekhawatiran berlebihan dan dramatisasi terjadinya kriminalisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan jika sungguh-sungguh beritikad baik dalam
melayani rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar