Senin, 21 September 2015

Kancil dan Macan

Kancil dan Macan

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                KORAN SINDO, 20 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang ibu membawa anaknya yang bernama Irsan, kelas V SD, karena kedapatan memalsukan tanda tangan ibunya. Pada waktu pembagian rapor bayangan, ibu guru kelas melaporkan kepada ibunya Irsan bahwa Irsan ternyata menandatangani sendiri nilai-nilai ulangan yang sudah dibagikan dan seharusnya ditandatangani orang tua setelah dibaca untuk diketahui oleh orang tua. Ibunya Irsan, walaupun tercengang, jadi mengerti mengapa selama ini kalau ditanya apakah hasil ulangan umum sudah dibagikan?

Jawaban Irsan selalu, ”Belum, Ma”. Bukan kebiasaan sekolah untuk tidak membagikan hasil ulangan umum. Menyadari hal itu, ibunya Irsan membawa Irsan ke psikolog dengan harapan bisa diketahui, mengapa Irsan akhir-akhir ini doyan berbohong.

Selain menyembunyikan nilai ulangan umum dan memalsukan tanda tangan mama, dia juga selalu mengatakan ”Sudah”, setiap kali dianya apakah sudah belajar? Padahal, belum! Mama khawatir sekali kalau sifat pembohong ini dibiarkan, Irsanakanmenjadiorangdewasa yang tidak jujur, dan kalau ia menjadi pejabat, pasti dia akan jadi mangsa KPK!

Kekhawatiran mama cukup beralasan. Di zaman banyak pejabat ditangkapi KPK karena ketahuan korupsi, mendingan mama menjaga anaknya baik-baik sebelum nasi telanjur menjadi bubur. Di sisi lain, ketahuan memalsukan tanda tangan mama apakah otomatis berarti Irsan pembohong, tidak jujur dan kelak jadi koruptor?

Tunggu sebentar. Tak semudah itu menyimpulkan bahwa Irsan bersifat (tidak hanya kebetulan) pembohong, apalagi ketika dikaitkan dengan sifat yang terbawa terus sampai dewasa. Sifat yang dibawa sejak kecil, dan berkelanjutan sampai seseorang menjadi dewasa, dan tidak lenyap-lenyap bahkan sampai tua dan meninggal, adalah bagian dari kepribadian manusia yang dinamakan trait. Trait ini melekat pada kepribadian seseorang, cenderung sulit untuk diubah dan diperoleh sejak lahir atau merupakan faktor bakat.

Dalam bentuknya yang lebih sering terlihat di sekitar kita, trait ini muncul dalam perilaku yang ragu-ragu, takut-takut, tidak berani spontan untuk sifat yang kita namakan pemalu. Atau banyak tawa, lancar berbicara, mudah berteman dengan orang yang baru kenal, dan spontan untuk sifat yang kita namakan periang. Tetapi untuk dapat dikatakan sebagai trait, sifat-sifat itu menurut psikolog Kelley (1972) harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu konsistensi, konsensus, dan distingtif (lain dari yang lain).

Kita ambil contoh misalnya, kasus Irsan lagi yang kedapatan berbohong dengan memalsukan tanda tangan mamanya. Memang benar, dia berbohong ketika memalsukan tanda tangan mamanya. Tetapi Irsan hanya memalsukan tanda tangan di kertas-kertas ulangannya saja. Kalau mama titip apa-apa ke warung, misalnya, Irsan tidak pernah mengambil uang kembaliannya.

Begitu juga ia pun tidak merokok. Pernah pada suatu hari, Irsan diolok-olok teman-teman di sekolahnya, karena ia tidak mau ikut-ikutan merokok, tetapi dia malah cerita ke mama. Irsan selalu curhat kepada mama tentang segala yang terjadi di sekolah. Ketika diwawancara empat mata oleh psikolog, Irsan mengaku bahwa mama marah sekali kalau ulangan matematikanya jelek.

Karena itu, ia memalsukan tanda tangan mama agar mama tidak marah. Tentu saja, untuk mama yang pemarah, kelakuan Irsan adalah kebohongan yang tak berampun. Tetapi sebenarnya siapa pun akan melakukan hal yang sama dalam posisi seperti Irsan. Ibaratnya dongeng, seekor kancil yang bertemu macan, ia akan bersembunyi agar tidak ditemukan oleh macan.

Kalaupun macan menemukannya, ia akan mengimbau macan agar jangan memakannya, karena ia sedang melaksanakan perintah Nabi Sulaiman untuk menjaga kue tar milik Nabi Sulaiman dan tidak boleh ada yang menyentuhnya. Macan titik air liurnya melihat kue tersebut dan memaksa untuk makan kue tersebut, atau kancil yang akan dimakannya.

Akhirnya kancil menyerah, tetapi dia minta izin melarikan diri dulu agar dia tidak dimarahi oleh Nabi Sulaiman. Setelah suara kancil tidak terdengar lagi, dengan bernafsu macan melahap kue tar kuning-kehijauan yang menggugah selera itu, tetapi sekejap kemudian ia muntah-muntah sambil marah-marah, karena kue itu sebenarnya adalah tahi kerbau yang diklaim sebagai kue oleh kancil.

Dalam dongeng untuk anak-anak itu, si kancil diberi julukan ”Kancil yang cerdik”, bukan kancil si tukang bohong. Selain itu, kebohongan Irsan juga tidak konsisten, karena dalam situasi lain Irsan tidak berbohong. Seorang yang punya sifat pembohong, akan secara konsisten berbohong dalam hampir segala situasi, seperti tetangga temannya mama yang hobinya meminjam uang dengan berbagai alasan bohong dan tidak pernah mengembalikannya, sehingga suaminya pernah dipanggil polisi atas laporan salah seorang korban teman mama itu.

Temannya mama itu juga dikenal oleh warga se-RW, bahkan sekelurahan sebagai tukang bohong, peminjam duit yang tidak pernah mengembalikan. Temannya mama memenuhi syarat sebagai pembohong karena konsisten berbohong kepada siapa saja, dan orang-orang di sekitarnya bersepakat (konsensus) bahwa dia itu memang pembohong.

Lain halnya dengan Irsan, yang hanya berbohong dalam hal ulangan saja, dan guru wali kelasnya pun, ketika memanggil mama, hanya melaporkan soal pemalsuan tanda tangan saja, sama sekali tidak menyebut Irsan sebagai pembohong.

Akhirnya psikolog menyarankan agar pendekatan mama kepada Irsan diubah. Kalau nilai ulangan jelek, ga usah marah-marah. Tanyakan saja kesulitan apa yang dialami Irsan dan bantulah Irsan mencarikan jalan keluarnya, misalkan mencarikan guru les yang baik. Atau kalaupun Irsan memang lemah di matematika, ya sudah biarkan saja.

Agnes Monica, Chrisye, Suharto, dan Gus Dur, tidak pernah terdengar sebagai pandai matematika, tetapi mereka jadi musisi top dan presiden. Sebaliknya Einstein, yang ahli fisika, tidak pernah jadi penyanyi, apalagi presiden. Tetapi mereka jadi orang top di bidangnya masing-masing, karena mereka tidak pernah dimarahi ketika ulangan matematikanya jelek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar