Legislasi Perang, Negara Normal
René L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
21 September 2015
Secara gemilang, PM
Jepang Shinzo Abe melakukan "kudeta parlemen", memberikan peluang
bagi pemerintahannya memperluas peran militer negara yang menganut asas
pasifisme selama 70 tahun sejak berakhirnya Perang Dunia II. Pengesahan
legislasi akhir pekan yang memicu unjuk rasa besar di Tokyo akhir pekan lalu
menarik perhatian banyak pihak yang khawatir sebagai pertanda dimulainya
kembali militerisme Jepang.
Kemenangan PM Abe
jelas "kudeta politik" yang dilakukan koalisi kubu mayoritas
parlemen Jepang menghadapi oposisi kelompok kiri pro perdamaian yang
menentang tidak hanya keterlibatan Jepang dalam konflik bersenjata pada masa
mendatang, tetapi juga tunduk pada tuntutan Amerika Serikat agar Jepang
meningkatkan peran militernya membantu konflik yang dipimpin AS.
Legislasi yang
memutuskan Pasukan Bela Diri (SDF) Jepang untuk terlibat konflik bersenjata
walaupun tidak diserang merupakan cita-cita politik lama PM Abe dan menjadi
sangat agresif pada masa kedua jabatannya sebagai perdana menteri setelah
pemilihan tahun 2012. Abe sebelumnya menjabat setahun sebagai perdana menteri
(2006-2007) sebelum digantikan Junichiro Koizumi.
Semangat militerisme
PM Abe sudah lama terpendam, setidaknya tercatat ketika ia menulis buku Kono
kuni o mamoru ketsui (Tekad untuk Melindungi Negara Ini, 2004). Dalam buku
yang ditulis bersama Hisahiko Okazaki (1930-2014), mantan Dubes Jepang di
Thailand dan penasihat keamanan utama Abe, ia menulis, "Kalau Jepang
tidak menumpahkan darahnya (chi o nagashi), kita tidak akan memiliki hubungan
yang sejajar dengan Amerika."
Keputusan parlemen
Jepang atas legislasi militerisme Jepang ini disambut baik Washington DC, AS,
tetapi ditentang Beijing dan Seoul yang khawatir dengan peran militer Jepang
pada masa datang. Baik RRT maupun Korea Selatan adalah negara yang paling
menderita ketika petualangan militerisme Jepang menjelang pecahnya Perang
Dunia II.
Legislasi perang
Mengesahkan
"legislasi perang" yang memungkinkan Pemerintah Jepang berkuasa
mengirim SDF dalam konflik mana pun di dunia tanpa persetujuan parlemen jelas
melanggar Konstitusi Jepang, khususnya pasal 9.
Melalui
"legislasi perang" ini, aliansi Jepang-AS akan semakin erat,
termasuk pengurangan beban anggaran keamanan yang selama ini harus disediakan
Washington DC. Di sisi lain, "legislasi perang" ini merupakan
bagian dari antisipasi Jepang menghadapi kebangkitan RRT yang semakin kuat
secara militer, khususnya dalam pengembangan angkatan lautnya.
Pada saat bersamaan,
kita melihat Jepang adalah bangsa paradoks. Dari jajak pendapat yang
dilakukan harian Asahi Shimbun, diterbitkan pada Senin (14/9), 68 persen
pemilih Jepang menganggap "legislasi perang" ini "tidak
diperlukan". Sebanyak 54 persen menentang dan 29 persen mendukung.
Mungkin antropolog AS,
Ruth Benedict, benar tentang perilaku paradoks bangsa Jepang dalam bukunya, The Chrysanthemum and the Sword: Patterns
of Japanese Culture (1946), untuk menjelaskan kehadiran "legislasi
perang". Menurut Benedict, pada tingkat tertentu, bangsa Jepang adalah
agresif dan tidak memiliki sifat militeristik dan estetika secara bersamaan,
bisa bersikap sopan dan kurang ajar, serta memiliki sifat mudah beradaptasi
dan kaku.
"Legislasi
perang" yang dimenangi PM Abe adalah bagian dari reformasi yang ingin
dilakukan oleh Jepang, khususnya Partai Demokrat Liberal (LDP), didasari atas
motivasi menjadikannya sebagai "negara normal" dalam kemasan
nasionalisme sekaligus internasionalisme. Motivasi ini juga memiliki nuansa
agenda ekonomi yang selama ini berupaya didongkrak PM Abe dan menjengkelkan
beberapa mitra dagangnya, khususnya Tiongkok.
Yang menjadi
pertanyaan selanjutnya adalah apakah keberhasilan "legislasi
perang" ini akan menjadikan Jepang semakin agresif, tidak hanya dalam
penggelaran SDF ke seluruh bagian dunia, tetapi juga mengejar kebangkitan
industri-industri militernya menjual berbagai persenjataan kepada
negara-negara yang dianggap secara politik mendukungnya?
Atau, apakah ini
adalah perilaku revisionis Jepang yang bersiap diri berhadapan dengan RRT
yang telah menggeser kedudukannya sebagai kekuatan ekonomi terbesar setelah
AS? "Legislasi perang" ini adalah awal dari Jepang menjadi
"negara normal" dan akan memicu berbagai reaksi di kawasan Asia
Timur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar