Membenahi Pencatatan Sipil
Prasetyadji ;
Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia
|
KOMPAS,
26 September 2015
Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 18/PUU-XI/2013 menegaskan, ”Seseorang yang tidak memiliki
akta kelahiran, secara de jure
keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang
lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan
kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaannya.”
Oleh karena itu, 67
persen dari 88 juta anak usia 0-18 tahun, yaitu 55,61 juta jiwa (Kompas,
16/9), secara de jure keberadaannya
tidak dianggap ada oleh negara. Pertanyaan, apakah mereka ini bukan sebagai
warga negara Indonesia? Sejauh mana negara memberikan perlindungan terhadap
anak-anak (orang-orang) yang lahir di wilayah Indonesia? Bagaimana negara
hadir secara administrasi dalam memanusiakan manusia? Sejauh mana harmonisasi
Kementerian Hukum dan HAM dengan Kementerian Dalam Negeri terkait status
kewarganegaraan dan perlindungan hukum dalam administrasi kependudukannya?
Terhadap
pertanyaan-pertanyaan itu, pemerintah seharusnya proaktif, segera hadir
dengan berbagai peraturan perundangan sebagai landasan hukum untuk
penyelesaiannya. Kenyataan di lapangan, akibat tak dimilikinya akta kelahiran
ini, banyak anak tidak dapat mengenyam pendidikan, rentan terjadinya
perdagangan anak, ataupun stigma sebagai ”anak haram” karena banyak anak
dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Pasal 4 huruf k
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI menegaskan, anak
yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia, apabila ayah dan ibunya
tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya, adalah
warga negara Indonesia.UU ini juga memberikan asas perlindungan maksimum.
Artinya, pemerintah wajib memberi perlindungan penuh kepada setiap warga
negara Indonesia dalam keadaan apa pun, di dalam ataupun di luar negeri.
BAP bertentangan UU
Dalam kenyataannya,
untuk mengurus akta kelahiran bagi anak-anak ini, wajib dilengkapi berita
acara pemeriksaan (BAP) dari kepolisian. Hal ini dipersyaratkan oleh Pasal 28
UU Administrasi Kependudukan (UU No 23/2006 jo UU No 24/2013). Begitu pula
Pasal 90, yang memberlakukan denda keterlambatan bagi pengurusan akta
kelahiran yang lebih dari 60 hari.
Begitupun untuk
mengurus akta kelahiran anak yatim-piatu yang tidak diketahui orangtuanya,
kendala utama adalah masih dipersyaratkan BAP dari kepolisian. Padahal, Pasal
4 huruf k UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI sudah menegaskan bahwa
anak-anak ini adalah warga negara Indonesia. Pasal 34 UUD 1945 pun
menegaskan, fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.
Terkait dengan hak
seorang anak, adanya persyaratan BAP ini bertentangan juga dengan Pasal 28D
Ayat (4) UUD 1945, yang menegaskanbahwa setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan, maka negara wajib memberikannya kepada setiap penduduk. Oleh
karena itu, tidak selayaknya anak-anak yang tanpa dosa ini dibikin BAP
seolah-olah ada masalah pidana. Maka, persyaratan penerbitan akta
kelahirannya cukup surat pengantar dari kepolisian setempat.
Persyaratan BAP
bertentangan pula dengan Pasal 53 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yang menegaskan setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan
status kewarganegaraan. Karena itu, pemerintah wajib dan bertanggung jawab
menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM, termasuk di dalamnya
melalui penerbitan akta kelahiran. BAP juga bertentangan dengan Pasal 5 UU No
23/2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa ”setiap anak berhak atas suatu nama
sebagai identitas dam status kewarganegaraan”.
Gratis
Akta kelahiran
merupakan dokumen dasar penduduk yang sangat penting karena di dalam akta
dijelaskan identitas diri dan status kewarganegaraan seseorang. Terbitnya UU
No 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan sebagai perubahan UU No 23/2006
menegaskan, pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut
biaya atau gratis. Pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan
administrasi kependudukan ini dianggarkan dalam APBN dan dimulai pada APBN-P
2014.
Dengan terbitnya UU No
24/2013 ini, stelsel aktif dalam pelayanan administrasi kependudukan telah
berubah dari penduduk menjadi yang aktif adalah pemerintah melalui petugas
dengan pola jemput bola atau pelayanan keliling. Oleh karena itu, denda
keterlambatan seharusnya dibebankan kepada APBN.
Oleh karena itu,
penyelesaian terhadap 55,61 juta anak yang secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara ini tidak
lain harus diberikan akta kelahiran secara gratis.
Terkait dengan masalah
ini, guna menjamin kepastian hukum bagi rakyat Indonesia, Presiden Joko
Widodo perlu segera menginstruksikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk segera
memberikan akta kelahiran gratis kepada setiap penduduk sebagai bukti
kewarganegaraannya (sebagaimana stelsel aktif di pihak pemerintah) agar
seluruh rakyat Indonesia dapat mengakses hak-haknya sebagai warga negara.
Menteri Dalam Negeri
juga harus meneliti dan mencabut seluruh peraturan daerah yang memberatkan
masyarakat dalam pengurusan dokumen kependudukan. Dengan demikian, negara
benar-benar proaktif melayani rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar