Humor
Kristi Poerwandari ; Penulis Kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
20 September 2015
Mungkin manusia
Indonesia paling humoris di dunia. Banyak persoalan yang dihadapi dengan
berhumor. Kita dapat melihat sisi-sisi berbeda dari korupsi, macet,
kemandekan pembangunan, jatuhnya nilai rupiah, perilaku wakil rakyat, bahkan
kekerasan, dan memindahkannya menjadi hal lucu dan memunculkan tawa.
Yang sering membuka
media sosial akan menemukan berbagai meme dengan gambar dan komentar lucu. Di
semua stasiun TV ada acara-acara yang dimaksudkan untuk mengundang tawa atau
setidaknya menurunkan ketegangan, mulai dari talk-show, komedi situasi, hingga lomba stand-up comedy.
Humor dan stres
Abel (2002) meneliti
hubungan antara humor, stres, dan strategi mengelola masalah.
Mengintegrasikan berbagai penelitian, ia menemukan yang berhumor lebih mampu
mengambil jarak dari sumber stres. Individu mengatur emosi sedemikian rupa
agar tidak terkacaukan oleh situasi yang sedang dihadapi. Konsekuensinya,
kelompok individu dengan rasa humor yang lebih tinggi menunjukkan stres dan
kecemasan lebih rendah. Pada yang kurang memiliki rasa humor, tekanan hidup
dirasakan lebih berat, sementara yang berhumor cenderung dapat menilai
kembali situasi secara lebih positif sehingga menanggapi peristiwa yang sama
sebagai hal yang kurang stressful.
Laki-laki dan
perempuan yang memiliki rasa humor juga lebih sering secara sengaja mencari
cara-cara yang lebih positif dalam menghadapi masalah. Akhirnya humor dapat membantu
dalam mengelola emosi (misal: mengurangi rasa marah atau kepanikan) maupun
dalam menyelesaikan masalah (misal: menemukan ide untuk melakukan sesuatu).
Malah ada simpulan bahwa yang mampu berhumor menilai tekanan hidup secara
lebih akurat dan realistis, sementara yang kurang mampu berhumor mungkin
melebih-lebihkan stres yang dirasakan.
Meski terkesan konyol
dan tidak penting, humor justru jadi penyeimbang dalam interaksi sosial dan
berdampak positif dalam kerja kelompok dan organisasi. Kita mungkin pernah
mengalami ketika ketegangan sangat tinggi, ada konflik dalam kelompok, lalu
ada celetukan lucu yang membuat ketegangan menurun, bahkan orang sejenak
tersenyum geli. Kita lalu tersadar betapa sudah terlarut secara emosi dalam
situasi, lalu membenahi diri dan kembali bekerja dengan batin lebih tenang.
Dari perspektif
organisasi, Romero dan Cruthirds (2006) melihat humor bukan sekadar hal
konyol. Humor merupakan alat manajemen yang multifungsi, yang dapat digunakan
untuk berbagai tujuan. Manajer atau pemimpin perlu belajar lebih santai dan
menggunakan humor untuk mengurangi tekanan, memperlancar komunikasi,
meningkatkan kemampuan memimpin, menguatkan kohesivitas dan budaya positif
kelompok. Bahkan, humor dapat membantu menumbuhkan kreativitas karena cara
berpikir yang inkonruen dan tidak satu arah yang diajarkan oleh humor.
Humor negatif
Bagaimanapun kita
harus berhati-hati. Ada humor yang negatif dan masyarakat kita mungkin juga
sering melakukannya. Di TV tidak jarang kita menemukan pengisi acara yang
berhumor dengan kasar dan menyakitkan. Itu dapat merendahkan pihak yang jadi
sasaran humor ataupun memunculkan rasa sakit hati dari pemirsa yang akan
beridentifikasi karena kesamaan tertentu dengan sasaran. Humor negatif dalam
tayangan TV sekaligus menjadi pembelajaran negatif bagi anak-anak dan remaja
yang akan kehilangan sensitivitas dan meniru tontonan yang disuguhkan.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita juga menemukan humor yang melecehkan yang memunculkan
perasaan tidak nyaman, bahkan menghancurkan kepercayaan diri. Di sekolah dan
tempat kerja ada humor yang sudah menjadi bentuk bullying. Korbannya dapat
merasa diri sangat buruk, bahkan menjadi depresif, kehilangan kemampuan untuk
berfungsi optimal, dan mengembangkan ketakutan berhubungan dengan orang lain.
Di level sosial, humor
memang juga dapat menjadi ekspresi sengaja dari pikiran yang stereotipik dan
penuh prasangka terhadap kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.
Apabila dilontarkan di depan umum, akan makin menguatkan prasangka, ketidaksukaan
dan pengotak-ngotakan. Humor yang merendahkan atau seksis sering sengaja
dilontarkan sebagai bentuk ancaman atau pengendalian sosial, untuk memberikan
pesan: "Kalian jangan macam-macam, lebih baik ikuti saja yang sudah
biasa dilakukan, atau kami akan melakukan hal-hal yang dapat merugikan
kalian" (Ford dan Ferguson, 2004).
Barangkali sisi-sisi
negatif humor itulah yang lebih banyak direnungkan oleh para pemikir masa
lalu (seperti Plato, Aristoteles, Hobbes) dan membuat mereka menyimpulkan
humor adalah hal buruk. Mereka mengasosiasikannya dengan agresi, penghinaan,
sikap tidak bertanggung jawab, dan tidak bermoral (Samson dan Gross, 2012).
Humor untuk menguatkan
Pada akhirnya humor
merefleksikan kualitas yang melontarkannya. Apakah ia berhumor jorok atau
mesum, seksis, merendahkan dan menghina orang lain, atau berhumor yang
membuat orang terhibur, berhumor yang menyegarkan suasana dan meringankan
batin.
Saya pribadi melihat
humor sebagai hal yang memiliki banyak kualitas positif sehingga perlu dimaksimalkan
kebermanfaatannya. Ivanova, Enikolopova, dan Mitina (2014) melaporkan bahwa
individu dengan skizofrenia dan gangguan afektif tidak mampu mengenali humor,
dan kemampuan untuk mulai mengenali humor menjadi petunjuk ke arah yang lebih
positif. Sementara itu, Samson dan Gross (2012) melaporkan efek memulihkan
dari humor dalam kondisi sangat absurd dan mengerikan seperti di kamp tahanan
perang, atau pasca penyerangan massal.
Jadi dalam populasi
yang memiliki masalah psikologis khusus maupun populasi umum, humor yang
terkesan hanya merupakan perilaku atau omongan iseng dan sambil lalu,
memiliki banyak manfaatnya.
Orang Indonesia banyak
berhumor, semoga dapat meminimalkan humor negatif, dan menggunakan kemampuan
berhumor untuk terus menumbuhkan kekuatan dan kreativitas menghadapi tuntutan
hidup yang makin kompleks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar