Mengapa Penduduk Miskin Pedesaan Naik?
Bagong Suyanto ; Pengajar Mata Kuliah Kemiskinan dan
Kesenjangan Sosial di Program Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
Surabaya
|
JAWA
POS, 19 September 2015
KETIKA pemerintah menaikkan harga BBM, kemungkinan
terjadinya kenaikan jumlah penduduk miskin sebetulnya sudah bisa diduga.
Tetapi, yang mengejutkan adalah ketika BPS melaporkan kenaikan jumlah
penduduk miskin lebih banyak terjadi di pedesaan daripada di perkotaan.
Maret 2015, jumlah penduduk miskin perkotaan
mencapai 10,65 juta orang (8,29 persen) atau naik 290 ribu orang dari
September 2014 sebanyak 10,36 juta orang. Sementara itu, pada bulan yang
sama, jumlah penduduk miskin di pedesaan tercatat 17,94 juta orang atau naik
570 ribu dari September 2014 sebanyak 17,37 juta orang.
Secara persentase, angka kemiskinan di
pedesaan naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada
Maret 2015. Padahal, secara nasional, persentase penduduk miskin dilaporkan
menurun, yakni dari 11,25 persen pada Maret 2014 menjadi 11,22 persen pada
Maret 2015.
Kehilangan Stamina
Kenaikan jumlah penduduk miskin di pedesaan
itu menarik dikaji lebih jauh. Sebab, jika dibandingkan dengan masyarakat di
perkotaan, daya tahan dan mekanisme survival yang dikembangkan masyarakat
pedesaan biasanya lebih kenyal.
Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang
cenderung kontraktual dan impersonal, di pedesaan umumnya masih ada
pranata-pranata sosial yang fungsional untuk mengeliminasi dampak tekanan
kemiskinan.
Dukungan jaring pengaman sosial dari kerabat
dan kohesi sosial yang kuat di antara masyarakat pedesaan selama ini
sebenarnya selalu terbukti efektif untuk menahan tekanan kebutuhan hidup yang
terus naik. Jadi, kalau sekarang dilaporkan penduduk miskin di pedesaan
meningkat, apakah itu merupakan indikasi bahwa pranata sosial lokal dan
kohesi sosial masyarakat di pedesaan mulai pudar?
Ataukah tekanan krisis ekonomi yang dihadapi
masyarakat pedesaan saat ini benar-benar sudah kelewat batas dan tidak bisa
lagi ditoleransi oleh kemampuan dan daya dukung sosial masyarakat di
pedesaan?
Dari studi yang dilakukan penulis di sejumlah
daerah di Provinsi Jawa Timur (2014–2015), selama ini memang ditemukan bahwa
sebagian besar masyarakat miskin di pedesaan mulai kehilangan stamina untuk
mempertahankan kehidupan mereka. Jangankan mampu menyiasati situasi krisis,
kenyataannya, banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang mengalami pengikisan
modal.
Selain itu, nilai tukar komoditas pertanian
yang dihasilkan petani di pedesaan menurun. Nilainya makin tidak sebanding
dengan harga berbagai kebutuhan seharihari mereka.
Berdasar hasil pantauan harga pedesaan di 33
provinsi pada Maret 2015, NTP (nilai tukar petani) nasional turun 0,64 persen
jika dibandingkan dengan NTP Februari 2015, yaitu dari 102,19 menjadi 101,53.
Penurunan NTP pada 2015 disebabkan naiknya indeks harga barang dan jasa yang
dikonsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah
konteks relasi antara petani dan pihak-pihak lain yang umumnya asimetris,
bahkan tak jarang eksploitatif.
Dalam banyak kasus, petani yang rentan dan
bergantung pada tengkulak niscaya akan sulit memperoleh harga yang
proporsional atas produk pertanian yang mereka hasilkan. Sebab, posisi tawar
mereka lemah.
Faktor Penyebab
Selain menurunnya nilai tukar komoditas,
faktor lain yang mengakibatkan penduduk miskin di pedesaan meningkat
sesungguhnya juga berkaitan dengan dua hal.
Pertama, adanya fenomena pengalihan beban
akibat dampak kenaikan harga BBM dari kelas atau pelaku usaha menengah ke
pelaku usaha kecil dan mikro. Penduduk miskin di pedesaan sering harus
menerima nasib upah mereka dikurangi dan keuntungan mereka berkurang.
Studi yang dilakukan penulis di Jawa Timur
menemukan sejumlah pekerja home industry kerupuk yang
umumnyamenerimapinjamanmodal untuk kulakan bahan baku dalam jumlah tetap.
Mereka diwajibkan tetap menyetorkan kerupuk kepada majikan seperti biasa.
Padahal, harga berbagai bahan baku pembuatan
kerupuk seperti tepung, gula, dan cabai sudah naik di pasaran.
Kedua, iklim persaingan di lahan usaha
penduduk miskin makin ketat dan berat. Hal itu terjadi karena intervensi
kelas sosialekonomi di atasnya yang memilih menurunkan skala usaha untuk
menghindari iklim persaingan yang berat di kelasnya.
Lampu Merah
Kenaikan penduduk miskin di pedesaan,
sebagaimana dilaporkan BPS tersebut, sudah tentu merupakan lampu merah dan
peringatan serius yang harus diperhatikan pemerintahan Jokowi-JK. Mempercepat
pencairan dana pembangunan dan pengguliran dana pembangunan desa di satu sisi
memang akan menjadi stimulus dinamika kehidupan dan perekonomian masyarakat
miskin pedesaan.
Tetapi, sejatinya masih ada tanda tanya apakah
percepatan pengguliran dan pencairan dana pembangunan merupakan solusi yang
bisa dipastikan efektif. Sepanjang posisi tawar (bargaining position) masyarakat miskin di pedesaan masih lemah
dan kemampuan mereka mengakses sumber-sumber permodalan dan pasar juga masih
rendah, jangan kaget jika program-program yang dicanangkan pemerintah akan sia-sia.
Hasilnya justru hanya akan dinikmati kelas menengah ke atas, bukan masyarakat
miskin yang menjadi target. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar