Senin, 21 September 2015

Pertobatan Jerman

Pertobatan Jerman

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 20 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apakah keputusan Kanselir Jerman Angela Merkel membuka pintu lebar-lebar bagi para pengungsi, antara lain dari Suriah, adalah ungkapan pertobatan Jerman? Tercatat tebal dalam sejarah dunia, kejamnya Jerman Nazi di bawah Hitler pada masa lalu. Jutaan orang kehilangan nyawa. Sekurang-kurangnya enam juta orang Yahudi tewas-ini baru orang Yahudi saja-menjadi korban brutalitas mereka.

Wajah hitam Jerman itu kini ditampilkan berbeda oleh Merkel. Perempuan kanselir Jerman sejak tahun 2005 itu memperlihatkan "wajah Jerman yang bersahabat, cantik, tampan, dan indah" kepada dunia. Di tangan Merkel, yang Juli lalu membuat hati seorang gadis cilik (14 taun), pengungsi asal Palestina, hancur berkeping-keping karena tidak mengabulkan permintaannya tinggal di Jerman, kini muncul sebagai seorang ibu. Para pengungsi pun menyebutnya "Ibu kami, Merkel."

Ketika Agustus lalu menyatakan Jerman membuka pintu bagi para pengungsi, ia telah tampil sebagai seorang "penyelamat." Apalagi, ia mengatakan Jerman bersedia menerima 800.000 pengungsi! Saat itu juga, Merkel dipuja di mana-mana. Ia menjadi pahlawan bagi para pengungsi. "Mama Merkel," bunyi tulisan di sejumlah spanduk yang dibawa para pengungsi.

Bahkan, kepada para demonstran yang dirasuki sikap anti-imigran dari Timur Tengah, yang bersikap xenofobia, benci terhadap orang asing, ia secara tegas mengatakan, "Tidak ada toleransi pada orang-orang yang mempertanyakan martabat orang lain." Sebenarnya, tidak berlebihan kalau ada yang khawatir, bahwa di antara pengungsi terselip orang-orang yang ingin mencari keuntungan diri atau ingin menyebarkan teror. Hal itu mengingatkan para pengungsi berasal dari negeri di mana kelompok teroris, orang-orang yang tak peduli, tak menghormati orang lain, manusia, budaya lain, berada.

Meskipun sebenarnya Suriah atau Irak dan negara-negara Timur Tengah lainnya menjadi seperti saat ini juga karena andil negara-negara Eropa. Adalah perjanjian Sykes-Picot 1916 yang membagi-bagi wilayah Timur Tengah menjadi negara-negara seperti saat ini. Pembagian itu hanya berdasarkan kepentingan Inggris dan Perancis semata. Lahirnya Israel yang menjadikan Timur Tengah sebagai pusaran konflik juga andil negara-negara Eropa. Dan, sekarang negara-negara Eropa (dan Amerika Serikat serta Rusia) memberikan sumbangan besar krisis, konflik di Suriah dan Irak berkelanjutan. Mereka terus memasok senjata kepada kelompok yang didukungnya.

Kini di tangan Merkel, "politik ketakutan" telah dikalahkan oleh "politik martabat", dengan membuka pintu lebar-lebar bagi para pengungsi; dengan menyingkirkan ketakutan, kekhawatiran, kebencian, dan ketikdapedulian pada imigran dari Timur Tengah. Kebijakan Merkel telah menunjukkan, Willkommenskultur memperlihatkan orang Eropa lebih menerima daripada para politisi yang khawatir menghadapi pendatang.

Merkel juga menyadari, selama 70 tahun terakhir, Jerman yang keluar dari bawah puing-puing Perang Dunia II sudah menikmati kebaikan hati negara-negara lain, baik AS maupun bekas musuhnya, yang memberikan bantuan keuangan dan bantuan lain. Uluran tangan pihak lain untuk bangkit di saat terpuruk sungguh sangat besar nilainya. Apalagi Merkel sendiri, yang lahir di Jerman Barat dan besar di Jerman Timur, mengalami betapa pahitnya penderitaan. Pada tahun 1989, Tembok Berlin runtuh, ribuan orang Jerman Timur membanjiri negara-negara Barat. "Angela Merkel menunjukkan pemahamannya yang sangat tinggi terhadap mereka yang mencari selamat dari perang dan keputusasaan," komentar Stefan Korelius, penulis Angela Merkel: The Authorized Biography.

Merkel telah menyadarkan Eropa. Merkel telah menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan Eropa, semangat bela rasa yang pernah ada dan belakangan dikubur oleh semangat keduniawian, sekularisme. Perasaan curiga terhadap imigran terutama dari Timur Tengah, memang, menjadi-jadi setelah tragedi 9/11 di AS. Namun, gelombang pengungsi dari Suriah dan sekitarnya, yang bagaikan air bah melanda daratan Eropa telah mengubah banyak hal. Memang, belum semua negara Eropa, tetapi inilah sejarah baru bagi Eropa.

Walaupun politik martabat itu sangat mungkin dilandasi oleh kepentingan pragmatis: politis dan ekonomis. Sebab, dengan membuka pintu lebar-lebar bagi pengungsi, citra Jerman di Eropa akan tinggi. Secara ekonomis kedatangan para pengungsi sangat dibutuhkan oleh Jerman yang dari waktu ke waktu kekurangan tenaga kerja.

Menurut perkiraan tahun 2025 Jerman akan mengalami krisis demografis karena makin berkurangnya jumlah penduduk: makin banyak orangtua dan semakin sedikit orang muda. Jumlah penduduk Jerman menurut perkiraan Eurostat saat ini sebanyak 82 juta jiwa akan turun menjadi 65,4 juta jiwa pada tahun 2080-kalau tidak menerima imigran-karena semakin sedikit orang yang melahirkan. Padahal, Jerman terus membutuhkan tenaga kerja dan menurut perkiraan pemerintah Jerman pada tahun 2030, mereka membutuhkan 2,3 juta tenaga kerja.

Apa pun alasannya, inilah kemenangan "politik martabat" atas "politik ketakutan", sebagai buah dari pertobatan dan pragmatisme Jerman, yang bisa dibenarkan secara moral, ekonomi, dan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar