Fenomena dan Prospek PKS
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 17 September 2015
Setelah melakukan
pergantian pengurus yang terkesan mendadak belum lama ini, Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) menggelar musyawarah nasional (munas) di Jakarta.
Ada dua hal yang
menarik ketika kita mencermati "partai dakwah" ini. Pertama,
fenomena pergantian kepengurusan. Kedua, bagaimana partai ini menata diri
menghadapi hari depannya sebagai partai kader. Terkait dengan pergantian
kepengurusan, tampaknya ada pesan penting di dalamnya, bahwa sirkulasi elite
merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. PKS menunjukkan, bahkan posisi
Ketua Majelis Syuro partai yang dipegang oleh sosok historis KH Hilmi
Aminuddin pun bisa diganti oleh yang lain. Jadi, ada pesan depersonalisasi,
kalau bukan demitologisasi, partai.
Pergantian pengurus
juga menarik karena PKS melanjutkan tradisinya menghadirkan sosok baru
sebagai presiden partai. Ia tampak ingin menunjukkan bahwa siapa pun kader
bisa menduduki jabatan itu sebagai amanah yang harus dijalankan. Kini, PKS
berada di bawah kepemimpinan Sohibul Imam sebagai presiden dan Salim Sagaf
Aljufrie sebagai Ketua Majelis Syuro untuk periode 2015-2020.
Sohibul diharapkan
bisa memberi warna baru dalam partainya. Ini dikaitkan dengan latar belakang
pendidikannya dan pengalaman politiknya di parlemen. Sedangkan Salim Sagaf
punya pengalaman langsung berkiprah sebagai politikus hingga puncak kariernya
menjadi salah satu menteri.
Selanjutnya, dari segi
penataan internal organisasi, PKS terlihat berupaya memperkuat kelembagaan
partainya. Terjadinya pergantian pengurus yang rapi dan tanpa gejolak,
bagaimanapun menunjukkan adanya sistem yang berjalan baik, terlepas dari
kritik soal adanya ketertutupan. Paling tidak, PKS punya modal soliditas.
Partai ini belajar dari pengalaman dinamika konflik internal sebelumnya, juga
dalam hal diterpa kasus besar yang mendera Presiden PKS sebelumnya, Luthfi
Hasan Ishaaq.
Soliditas partai
tampaknya juga hadir dari keprihatinan bersama para kader dan keberhasilan
motivasi Anies Matta, yang boleh dikatakan telah berhasil menyelamatkan PKS
dari ujian elektoral. Dalam Pemilu 2014, PKS dan sejumlah partai Islam
diperkirakan oleh banyak lembaga survei jeblok, kalau bukan kolaps dalam
perolehan suara. Tapi kenyataannya tidak demikian. Dalam Pemilu 2009, PKS
meraup dukungan 8,204,946 suara (7,88 persen), dan pada 2014 dukungan suara
naik menjadi 8,480,204, kendatipun secara persentase 6,79 persen. Data
tersebut menunjukkan bahwa PKS didukung oleh massa pemilih yang juga solid.
Munas kali ini
merupakan momentum bagi PKS untuk menata perkaderannya, tidak hanya untuk
kepentingan internal, tapi juga untuk pengembangan partai. Kepentingan
internal jelas, bahwa PKS sebagai partai kader dituntut untuk senantiasa
merawat basis perkaderannya untuk tetap percaya dan bekerja. Tapi itu saja
belum cukup, karena manakala dikaitkan dengan target perolehan suara di atas
10 persen pada Pemilu 2019, PKS harus mengembangkan diri bergerak keluar.
Maka para kader tentu akan lebih baik bilamana diarahkan sebagai duta-duta
partai yang efektif dan percaya diri.
Kalau itu yang akan
ditempuh, PKS tidak lagi membutuhkan pencitraan artifisial, melainkan suatu
langkah kolektif dan intensif yang dilakukan semua kader, bahwa mereka punya
konsep dan program yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia yang
majemuk. PKS ditantang untuk menunjukkan kembali kepada publik luas bahwa
jargon politiknya sebagai partai dakwah yang bersih dan profesional bisa
dihadirkan kembali sebagai roh penggerak perjuangan partai ini.
Secara politik, PKS
sesungguhnya sudah punya modal baik di pusat maupun-kendatipun tidak merata
benar-di daerah-daerah. Dari sini, peta politik PKS, khususnya secara
electoral, sudah terbentuk sedemikian rupa. Pilkada serentak 2015, karena
itu, menjadi ujian yang penting bagi PKS untuk mempertahankan atau bahkan
memperluas peta politiknya di daerah-daerah. Peluang untuk yang terakhir ini
cukup tinggi.
Sedangkan secara
elektoral dalam Pemilu 2019, PKS juga punya peluang untuk meningkatkan
dukungan suara dan kursi, apabila kader-kadernya memang siap bersaing.
Perkembangan eksternal partai-partai Islam, khususnya, juga akan mempengaruhi
prospek elektoral PKS. Saat ini, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai
partai Islam yang "paling senior" tengah terlanda perpecahan, dan
apabila jalan keluarnya tidak mulus, konstituennya bisa jadi akan lebih
memilih partai Islam yang dinilai lebih mapan dan solid. Dalam hal ini, PKS
bisa menjadi alternatif utamanya.
Soliditas PKS
tampaknya akan dilengkapi dengan pilihan politiknya yang konsisten dalam
konstelasi politik nasional. Para elite PKS telah menegaskan bahwa partainya
tetap berada di Koalisi Merah Putih sebagai kekuatan politik di luar
pemerintahan, sebagai dalam istilah Sohibul Imam "oposisi loyal".
Konsistensi ini penting, dan publik tetap akan melihat sejauh mana PKS
memperlihatkan wajahnya di parlemen sebagai kekuatan kritis. Dari sini,
prospek PKS untuk diapresiasi positif oleh masyarakat sangat terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar