Sabtu, 19 September 2015

Kepemimpinan Jokowi: Ayam atau Elang?

Kepemimpinan Jokowi: Ayam atau Elang?

Mohamad Cholid  ;  International Certified Business Coach at Action Coach;
Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
                                               KORAN TEMPO, 16 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perkembangan ekonomi di bawah pemerintahan Jokowi telah menyebabkan banyak pihak geregetan. Data resmi menyebutkan, inflasi year on year dua kali lipat lebih, dari 3,79 persen pada 2011 menjadi 8,36 persen in 2014, dan terus naik menjadi 7 persen pada pertengahan 2015. Kenaikan harga BBM bersubsidi memang meringankan APBN, tapi di lain pihak ikut menyebabkan inflasi.

Pertumbuhan GDB? Masih harus diuji hasilnya: pemerintah pasang target GDP tumbuh 5,7 persen pada 2015, Bank Indonesia (BI) Juni lalu merevisi proyeksi pertumbuhan menjadi 5-5,4 persen. Prediksi bank sentral berbasis pada kemungkinan kenaikan belanja pemerintah dan konsumsi dalam negeri pada paruh kedua 2015, dibarengi pencepatan pembangunan infrastruktur.

Jokowi yang demikian populer, dengan upacara pelantikannya yang spektakuler populis, dan belakangan melakukan sejumlah manuver strategis mengganti anggota kabinetnya yang kurang berprestasi, serta membersihkan kegaduhan politik akibat ulah pejabat Polri, menimbulkan harapan dan sekaligus kecemasan baru bagi para pelaku bisnis dan publik.

Jokowi berhadapan dengan waktu. Sekarang saatnya ia dituntut bersikap dan bertindak berdasarkan pada clarity tujuan yang ingin dicapai pemerintahannya, untuk membuktikan kualitas leadership-nya. Menarik melihat opini di Bloomberg, bahwa Presiden "must decide what kind of leader he wants to be: a craven populist or the modernizer Indonesia needs." Kasarnya: mau populis dengan bermental ayam atau membangun Indonesia menjadi hebat.

Menjadi populis dan memiliki otoritas moral saja memang belum cukup untuk menjadi pemimpin. Diperlukan sistem pendukung yang kokoh. Revolusi mental atau perubahan paradigma dan mindset masih kurang memadai-bukan saja karena sampai hari ini akuntabilitas program nasional dengan anggaran Rp 149 triliun dari APBN tersebut masih belum dapat diumumkan ke publik. Lebih dari itu, untuk mewujudkan mindset menjadi tindakan nyata, diperlukan skill sets. Hal itu di antaranya kemampuan membangun sistem yang kredibel. Ini perlu untuk memastikan para pejabat di pemerintahannya berfokus dalam fungsinya sebagai pemimpin, bukan sekadar pimpinan atau bos (memimpin karena posisi). Seperti kata Stephen R. Covey, "Secara fundamental, kekuatan ada pada sistem, bukan pada pejabat yang terpilih atau birokrat yang ditunjuk." Otoritas moral belum tentu sanggup membendung para pejabat yang ego driven, korup, dan diktator, jika tidak ada sistem yang memagari mereka.

Pada tahap sekarang, sudah adakah semacam one page strategic plan yang dibuat pemerintahan Jokowi, untuk memastikan semua anggota kabinet berada dalam satu perahu (at the same page), dan mengoperasikan visi pemerintahan secara sistematis dan akuntabel pada setiap tahapnya? Bukankah melalui revolusi mental Jokowi sudah menetapkan core values, menerapkan sejumlah kaidah dalam menjalankan pemerintahannya? Apakah semua kebijakan ekonomi dan politik sudah sesuai dengan core values yang sudah dibuat Jokowi dan timnya itu?

Selain berlomba dengan waktu, Jokowi menghadapi cermin kepemimpinannya-melihat fakta-fakta sekarang di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Leadership for recovery sangat diperlukan saat ini, tentu dibarengi kemampuan bergerak melakukan terobosan-terobosan untuk pertumbuhan ekonomi. Pergaulan antarbangsa sejak berabad-abad silam sampai sekarang lebih menghargai kemampuan pengelolaan ekonomi nasional masing-masing untuk kesejahteraan rakyatnya, ketimbang pada ideologi. Kenyataannya, negara yang kaku pada ideologi politiknya malah menjadi bahan olok-olok dunia (seperti Korea Utara). Bahkan RRT pun memelihara sosialisme-komunisme hanya untuk kepentingan persatuan, selebihnya adalah supremasi manajemen ekonomi nasional.

Intellectual resources di pemerintahan cukup kuat. Bersama Jokowi ada ekonom-ekonom hebat, yang bahkan sempat menjadi konsultan bangsa lain, plus orang-orang yang berpengalaman mengelola bisnis besar. Mampukah mereka melepaskan diri dari kebiasaan menyalahkan pihak lain (pemerintahan masa lalu, lingkungan global, cuaca, dll), selalu mencari alasan, dan menyangkal fakta? Karena semua alibi tersebut tidak mengubah fakta apa pun. Sebaliknya, jika Jokowi dan timnya bermental pemenang, tentu akan memiliki ownership tinggi, akuntabel, dan responsible atas fakta-fakta sosial, ekonomi, dan politik sekarang.

Keberanian bertanggung jawab atas fakta-fakta saat ini, tanpa alibi apa pun, akan memudahkan menemukan clarity penentuan skala prioritas pemulihan ekonomi dan menumbuhkannya. Untuk membuktikan bahwa Jokowi dan timnya berpeluang memulihkan ekonomi nasional, ingatlah kata Mahatma Gandhi, "The difference between what we are doing and what we're capable of doing would solve most of the world's problems." Pilihan di tangan Jokowi, dia mau menjadi pemimpin bermental ayam atau elang untuk menggerakkan timnya bertindak lebih baik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar