Kepemimpinan Jokowi: Ayam atau Elang?
Mohamad Cholid ; International Certified Business Coach at
Action Coach;
Alumnus The International Academy
for Leadership, Jerman
|
KORAN
TEMPO, 16 September 2015
Perkembangan ekonomi
di bawah pemerintahan Jokowi telah menyebabkan banyak pihak geregetan. Data
resmi menyebutkan, inflasi year on year dua kali lipat lebih, dari 3,79
persen pada 2011 menjadi 8,36 persen in 2014, dan terus naik menjadi 7 persen
pada pertengahan 2015. Kenaikan harga BBM bersubsidi memang meringankan APBN,
tapi di lain pihak ikut menyebabkan inflasi.
Pertumbuhan GDB? Masih
harus diuji hasilnya: pemerintah pasang target GDP tumbuh 5,7 persen pada
2015, Bank Indonesia (BI) Juni lalu merevisi proyeksi pertumbuhan menjadi
5-5,4 persen. Prediksi bank sentral berbasis pada kemungkinan kenaikan
belanja pemerintah dan konsumsi dalam negeri pada paruh kedua 2015, dibarengi
pencepatan pembangunan infrastruktur.
Jokowi yang demikian
populer, dengan upacara pelantikannya yang spektakuler populis, dan
belakangan melakukan sejumlah manuver strategis mengganti anggota kabinetnya
yang kurang berprestasi, serta membersihkan kegaduhan politik akibat ulah
pejabat Polri, menimbulkan harapan dan sekaligus kecemasan baru bagi para
pelaku bisnis dan publik.
Jokowi berhadapan
dengan waktu. Sekarang saatnya ia dituntut bersikap dan bertindak berdasarkan
pada clarity tujuan yang ingin dicapai pemerintahannya, untuk membuktikan
kualitas leadership-nya. Menarik
melihat opini di Bloomberg, bahwa Presiden "must decide what kind of leader he wants to be: a craven
populist or the modernizer Indonesia needs." Kasarnya: mau populis
dengan bermental ayam atau membangun Indonesia menjadi hebat.
Menjadi populis dan
memiliki otoritas moral saja memang belum cukup untuk menjadi pemimpin.
Diperlukan sistem pendukung yang kokoh. Revolusi mental atau perubahan
paradigma dan mindset masih kurang memadai-bukan saja karena sampai hari ini
akuntabilitas program nasional dengan anggaran Rp 149 triliun dari APBN
tersebut masih belum dapat diumumkan ke publik. Lebih dari itu, untuk
mewujudkan mindset menjadi tindakan nyata, diperlukan skill sets. Hal itu di antaranya kemampuan membangun sistem yang
kredibel. Ini perlu untuk memastikan para pejabat di pemerintahannya berfokus
dalam fungsinya sebagai pemimpin, bukan sekadar pimpinan atau bos (memimpin
karena posisi). Seperti kata Stephen R. Covey, "Secara fundamental, kekuatan ada pada sistem, bukan pada
pejabat yang terpilih atau birokrat yang ditunjuk." Otoritas moral
belum tentu sanggup membendung para pejabat yang ego driven, korup, dan
diktator, jika tidak ada sistem yang memagari mereka.
Pada tahap sekarang,
sudah adakah semacam one page strategic
plan yang dibuat pemerintahan Jokowi, untuk memastikan semua anggota
kabinet berada dalam satu perahu (at
the same page), dan mengoperasikan visi pemerintahan secara sistematis
dan akuntabel pada setiap tahapnya? Bukankah melalui revolusi mental Jokowi
sudah menetapkan core values,
menerapkan sejumlah kaidah dalam menjalankan pemerintahannya? Apakah semua
kebijakan ekonomi dan politik sudah sesuai dengan core values yang sudah dibuat Jokowi dan timnya itu?
Selain berlomba dengan
waktu, Jokowi menghadapi cermin kepemimpinannya-melihat fakta-fakta sekarang
di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Leadership
for recovery sangat diperlukan saat ini, tentu dibarengi kemampuan
bergerak melakukan terobosan-terobosan untuk pertumbuhan ekonomi. Pergaulan
antarbangsa sejak berabad-abad silam sampai sekarang lebih menghargai
kemampuan pengelolaan ekonomi nasional masing-masing untuk kesejahteraan
rakyatnya, ketimbang pada ideologi. Kenyataannya, negara yang kaku pada
ideologi politiknya malah menjadi bahan olok-olok dunia (seperti Korea Utara).
Bahkan RRT pun memelihara sosialisme-komunisme hanya untuk kepentingan
persatuan, selebihnya adalah supremasi manajemen ekonomi nasional.
Intellectual resources di pemerintahan cukup kuat. Bersama Jokowi
ada ekonom-ekonom hebat, yang bahkan sempat menjadi konsultan bangsa lain,
plus orang-orang yang berpengalaman mengelola bisnis besar. Mampukah mereka
melepaskan diri dari kebiasaan menyalahkan pihak lain (pemerintahan masa
lalu, lingkungan global, cuaca, dll), selalu mencari alasan, dan menyangkal fakta?
Karena semua alibi tersebut tidak mengubah fakta apa pun. Sebaliknya, jika
Jokowi dan timnya bermental pemenang, tentu akan memiliki ownership tinggi,
akuntabel, dan responsible atas
fakta-fakta sosial, ekonomi, dan politik sekarang.
Keberanian bertanggung
jawab atas fakta-fakta saat ini, tanpa alibi apa pun, akan memudahkan
menemukan clarity penentuan skala prioritas pemulihan ekonomi dan
menumbuhkannya. Untuk membuktikan bahwa Jokowi dan timnya berpeluang
memulihkan ekonomi nasional, ingatlah kata Mahatma Gandhi, "The difference between what we are
doing and what we're capable of doing would solve most of the world's
problems." Pilihan di tangan Jokowi, dia mau menjadi pemimpin
bermental ayam atau elang untuk menggerakkan timnya bertindak lebih baik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar