Rabu, 30 September 2015

Bantahan Argumentasi Pendukung PKI

Bantahan Argumentasi Pendukung PKI

Kivlan Zen ;  Ketua Bidang Khusus Gerakan Bela Negara
                                                  REPUBLIKA, 23 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Gerakan G30S/PKI adalah masalah internal TNI AD dan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak terlibat, maka anggota PKI harus direhabilitasi. Oleh karena itu, PKI harus dihidupkan kembali dengan mencabut Tap MPRS No 25/1996 tentang Pelarangan Partai Komuis dan Underbow-nya serta Paham Komunis, Leninis, Marxis, dan Maois di Indonesia. Selanjutnya, harus terlaksana pencabutan UU No 27/1999 tentang Larangan Paham Komunis, Leninis, Marxis, dan Maois kecuali untuk pelajaran di lembaga pendidikan tertentu.

Demikian rencana jangka pendek Partai Komunis Gaya Baru yang telah disahkan pengurus barunya pada Kongres X PKI tahun 2010 di Grabag, Magelang, Jawa Tengah, yang dipimpin Ketua Umum Wahyu Setiaji dan Sekjen Teguh Karyadi, dengan AD/ART serta Pokok-Pokok Program Umum Rakyat Indonesia.

Memang, ada upaya dari pendukung PKI melalui media publik, baik cetak, radio, TV, maupun media sosial menyatakan bahwa PKI tidak bersalah atas G30S dan Dewan Revolusi. Korban konflik horizontal tahun 1965/1966/1967 dan 1970, terutama anggota PKI dan underbow-nya disebut bahwa dilakukan oleh aparat keamanan, dalam hal ini TNI AD dengan dukungan ormas Islam, khususnya NU dan Muhammadiyah.

Sedangkan, korban dari kalangan NU, khususnya di daerah Banyuwangi dan Blitar, tidak disebutkan PKI sebagai keganasannya, termasuk pembunuhan Brigjen Katamso, komandan Korem Yogyakarta, dan Kolonel Sugiono, kasrem Yogyakarta pada 2 Oktober 1965.

Mereka juga mendesak Pemerintah RI untuk meminta maaf, merehabilitasi, dan memberi ganti rugi moral dan materiil atas penderitaan dan kerugian para anggota PKI, keluarga, dan simpatisannya beserta underbow selama kurun 1965/1966/1967 dan 1970 dengan mendompleng ganti rugi bersama korban peristiwa Trisakti Mei 1998, Semanggi I dan II, petrus, Talangsari, dan Wasior.

Pemerintah RI di bawah Jokowi-JK bermaksud menyelesaikan peristiwa itu dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Jilid 2. Karena UU KKR 1 telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006, kalau sama konsep UU KKR 2 itu, tidak mungkin disahkan DPR. Karenanya, Jokowi akan membuat KKR 2 melalui pepres dan keppres yang tak memerlukan persetujuan DPR.

Jika pepres dan keppres yang akan terbit bisa terwujud setelah pidato Jokowi pada 15 Agustus 2015 di depan DPR, personel KKR akan diisi pendukung eks PKI dan harus selesai dalam satu tahun tanpa ketelitian. Masalah petrus, Talangsari, Trisakti, Semanggi I dan II, dan Wasior hanya sebagai pelengkap agar cepat diselesaikan dalam satu tahun dengan harapan masalah G30S dan korban PKI bersama pendukungnya cepat diselesaikan tanpa memperhatikan korban keganasan PKI di Banyuwangi, Blitar, dan Danrem/Kasrem Yogyakarta.

Masalah lain seperti korban Tanjung Priok, Pam Swakarsa 1998, RMS, PRRI/Permesta, DI/TII, Pemberontakan Madiun 1948, korban aksi PKI terhadap lawannya pada 1965/1966 tidak akan diperhatikan. Hal ini berarti pengabaian terhadap kebenaran dan keadilan.

Akibat KKR Jilid 2, khususnya permintaan maaf dari Pemerintah RI, rehabilitasi, dan kompensasi terhadap eks PKI dan pengikutnya, pertama, eks PKI dan pengikutnya merasa tidak bersalah. Kedua, tuntutan agar PKI direhabiltasi dan dihidupkan kembali. Ketiga, Tap MPRS No 25/1966 agar dicabut dan UU No 27/1999 dibatalkan oleh MK.

Keempat, tidak memerlukan pembatalan Tap MPRS No 25/1966 dan UU No 27/1999 itu, para pendukung PKI akan langsung mendirikan dan memproklamasikan PKI Gaya Baru yang langsung akan disahkan Menkumham. Hal ini karena Menkumham yang sekarang suka tidak memperhatikan kebenaran substantif.

Kelima, pengikut PKI akan melakukan aksi balas dendam sesuai sikap dan sifat PKI sejak 1926, 1948, 1965 yang juga disebutkan dalam AD/ART PKI Gaya Baru hasil Kongres X PKI medio Agustus 2010 di Grabag dan instruksi tetap Ketua CC PKI pada 10 November 1965. Keenam, terjadi kekacauan sosial dan konflik horizontal, suasana akan kembali seperti 1948 dan 1965 yang penuh agitasi dan propaganda serta teror sosial politik oleh PKI Gaya Baru serta banjir darah.

Di sisi lain, badan-badan pendukung eks PKI di dalam negeri akan mendesak dan mendorong pemerintahan Jokowi segera mewujudkan KKR 2 dan bekerja sama dengan Human Rights di Jenewa dan ICC Den Haag. Keduanya akan mendorong Pemerintah RI segera menyelesaikan masalah HAM.

Pencegahan

Karena masalah utama KKR adalah penyelesaian pelanggaran HAM, khususnya tentang G30S/PKI, perlu dipatahkan argumentasi bahwa PKI tidak terlibat kasus itu. PKI menyatakan G30S/PKI adalah urusan internal TNI AD. Karena itu, perlu dilakukan upaya berikut.

Pertama, G30S/PKI dan Dewan Revolusi dapat dibuktikan bukan merupakan urusan internal TNI AD yang mengakibatkan terbunuhnya enam perwira tinggi dan satu perwira pertama TNI AD dan dua pamen korem Yogyakarta. Bukan gerakan internal TNI AD terbukti dalam dekrit Letkol Untung No 1 Tanggal 1 Oktober 1965 tentang Pembentukan Dewan Revolusi (Buku G30S, Victor McVeigh). Yakni, gerakan ini dibantuk pasukan bersenjata di luar TNI AD; Letkol Untung adalah Komandan Batalyon Cakra Birawa pengawal presiden yang terdiri dari empat angkatan, bukan satuan TNI AD saja.

Berikutnya, susunan Dewan Revolusi terdiri dari empat angkatan, termasuk sipil di dalamnya; personel yang menangkap dan membunuh para Pahlawan Revolusi bukan hanya personel TNI AD, tapi ada juga dari TNI AU dan Sukwan Dwikora; dukungan TNI AU kepada Dewan Revolusi (perintah harian Panglima AU No 445 tanggal 1 Oktober 1965) dan surat Brigjen Suparjo kepada Omar Dani.

Kedua, Dewan Revolusi adalah kudeta yang didalangi PKI (Victor McVeigh). Buktinya, tidak mencantumkan nama Presiden Sukarno; susunannya sampai ke daerah; senjata dipasok Letkol Heru (AU), kabinet didemisioner dan akan diganti kabinet baru.

Ketiga, bahwa pimpinan PKI terlibat. Buktinya, Polit Biro PKI membentuk Biro Khusus dipimpin Sam Kamaruzaman, Pono, dan Bono untuk membina personel ABRI, khususnya TNI AD sebagai otak G30S/PKI; pernyataan Bung Karno pada 1965/1966 bahwa G30S/PKI akibat keblingernya pimpinan PKI; pernyataan Ribka Tjiptaning anak tapol PKI (buku Menyusuri Jalan Perubahan halaman 153-155).

Keempat, partai komunis adalah partai yang terlibat G30S/PKI. Sebagai bukti, pembentukan Biro Khusus langsung di bawah ketua umum PKI DN Aidit, otokritik Brigjen Suparjo (Dokumen No 17 halaman 352 buku Victor McVeigh) tentang kenapa PKI gagal kudeta; instruksi no 1-8 CC PKI tanggal 28 September 1965 (buku Victor McVeigh halaman 346) menyebutkan, untuk menyimpan senjata dan bangkit kembali jika keadaan memungkinkan.

Selanjutnya, pernyataan Brigjen Sugandi tentang perkataan Aidit bahwa akan terjadi G30S (buku victor McVeigh halaman 368); surat Aidit kepada Presiden Sukarno pada 6 Oktober 1965 (buku Victor McVeigh halaman 343), yakni 1) Aidit diberi tahu bahwa pada 30 September 1965 malam G30S/PKI akan dijalankan dan pada 1 Oktober 1965 Aidit mendapat laporan kembali bahwa G30S/PKI berhasil dijalankan. 2) Dalam surat Aidit kepada BUng Karno bahwa ia tidak mengetahui G30S/PKI, tetapi isi surat itu juga mendapat laporan G30S/PKI akan dijalankan pada 30 September 1965, dan pada 1 Oktober ia mendapat laporan bahwa G30S/PKI telah dilaksanakan.

Mengapa bisa terjadi pertentangan antara laporan kepada Bung Karno dengan kenyataan sebenarnya? Dengan demikian, nyatalah kebenaran pimpinan PKI dan partai terlibat dalam G30S/PKI.

Lainnya, pembunuhan terhadap 60 anggota Banser di Banyuwangi tanggal 1 Oktober 1965 dan lawan-lawan PKI di Blitar dan Kediri dari ormas NU. Dua anggota Muhammadiyah di Kediri, 35 orang di Solo tanggal 22 Oktober 1965, dan daeran lain yang belum didata.

Perlawanan massa PKI terhadap operasi RPKAD tanggal 11 Oktober 1965 di Solo yang dipimpin oleh CDB PKI Jawa Tengah. Pelaksanaan Tri Panji Perjuangan agar PKI tetap eksis dipimpin Sudisman, yakni dengan pembangunan kembali partai, perjuangan bersenjata, dan menggalang buruh tani borjuis kecil dan borjuis nasional.

Adapun pemberontakan Blitar Selatan 1965-1968 dipimpin oleh Ruslan Wijayasastra sebagai ketua Polit Biro yang baru. Juga, pemberontakan bersenjata di Merapi Merbabu Complex 1967-1968 dipimpin oleh Pono.

Saran tindakan

Dengan telah dijelaskan argumen pendukung PKI yang menyatakan G30S/PKI pada 30 September 1965 adalah gerakan yang dilakukan internal TNI AD adalah tidak benar. Maka, untuk mencegah Dewan Jenderal melakuan kudeta terhadap Presiden Sukarno, kemudian dilakukan dengan cara penangkapan dan pembunuhan para jenderal dan pama. Hal ini adalah alibi pengalihan tanggung jawab dari PKI dan tokohnya.

Dengan demikian, jelas bahwa pimpinan partai politik PKI terlibat dan sebagai otak dari G30S/PKI. Gerakan ini bukan merupakan urusan internal TNI AD.

Upaya PKI merebut kekuasan dari Presiden Sukarno bisa dilihat berdasarkan tulisan atau pengakuan kalangan komunis sendiri dan penulis atau peneliti asing, seperti Victor McVeigh atau sedikit dari buku putih yang dikeluarkan Setneg RI tahun 1994.

Kalau PKI dan tokoh-tokohnya nyata terlibat dalam G30S/PKI, kemudian dengan KKR Jilid 2 mereka akan direhabilitasi dan mendapat kompensasi serta permintaan maaf dari negara, negara telah takluk kepada pemberontak dan menyatakan yang benar menjadi salah serta yang salah menjadi benar. Apakah ini patut dilakukan oleh pemerintahan RI yang sekarang dipimpin Jokowi-JK?

Hal lain bisa dilakukan adalah pengampunan kepada pelaku G30S/PKI oleh negara, seperti amnesti yang dilakukan oleh Presiden Sukarno kepada tokoh PRRI/Permesta, tetapi Partai Masyumi dan PSI tetap dibubarkan, bukan pemerintah meminta maaf kepada PKI dan tokoh-tokohnya atau PKI dihidupkan kembali.

Untuk mengatasi hal tersebut, rencana KKR Jilid 2 harus dilawan dan tidak boleh terwujud. Kecuali rekonsiliasi secara alamiah, yaitu membolehkan eks PKI bukan golongan A dan B, tetapi golongan C dan simpatisannya untuk ikut berperan dalam kehidupan publik, baik swasta maupun pemerintahan (birokrasi RI).

Saran lainnya adalah tidak mencabut Tap MPRS No 25/1966 dan UU No 27/1999 agar tidak terjadi lagi konflik horizontal dan kekacauan sosial politik maupun ekonomi. Untuk kasus lain, seperti peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Trisaksi, Semanggi I dan II, Petrus dan Wasior dapat dilanjutkan peran KKR Jilid 2.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar