Pimpinan DPR di Arena Trump
Hamid Awaluddin ; Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin
|
KOMPAS,
22 September 2015
Setya Novanto dan
Fadli Zon serta beberapa anggota DPR RI muncul di antara barisan pendukung
Donald Trump dalam konferensi pers dan kampanye di Amerika Serikat, beberapa
waktu lalu. Kehadiran mereka telah memantik kegaduhan baru di Tanah Air.
Caci maki,
sindir-menyindir, komentar yang bernas dan tak bermutu, juga elakan-elakan
halus para pendukung dan sentilan-sentilan jenaka, membuat alun-alun politik
Indonesia dan dunia maya benar-benar ramai dan semrawut.
Sesungguhnya, hadir,
bertemu, dan diperkenalkan di ajang politik di negeri besar, seperti Amerika
Serikat, bukanlah masalah, bahkan cenderung membanggakan bagi pribadi-pribadi,
terutama kaum selebritas politik. Namun, Setya Novanto dan Fadli Zon adalah
Ketua dan Wakil Ketua DPR RI, lembaga tinggi negara. Kehadiran mereka di AS
pun bukan dalam rangka liburan keluarga, melainkan datang sebagai pemimpin
lembaga legislatif Indonesia, lembaga perwakilan puncak di negeri berpenduduk
250 juta jiwa.
Hulu masalah
Mereka datang ke AS
seolah sungkem kepada Donald Trump, pemilik hotel-hotel kasino besar di Las
Vegas dan sejumlah kota lain. Mereka datang kepada orang kaya yang oleh
sebagian kalangan dipersepsikan sangat anti pendatang, sangat tidak suka
kepada Muslim, dan tengah menapaki jalan ke takhta presiden AS.
Di sinilah hulu
masalah karena mereka datang dalam acara kampanye Donald Trump. Sesuatu yang
ditabukan bagi orang asing, terutama para pejabat, karena bisa dinilai
memberi dorongan atau melakukan intervensi politik negara lain.
Rombongan DPR RI yang
datang itu membangun alibi bahwa itu bukan kampanye karena Donald Trump belum
resmi jadi calon Partai Republik. Ini sebuah kekeliruan paham yang sangat
asasi sebab—di AS—begitu seseorang menyatakan diri maju jadi calon presiden,
saat itulah ia mulai berkampanye. Di Indonesia memang beda sebab di negeri
ini kampanye terbatas dalam konteks ruang dan waktu.
Kita ikuti kutipan
percakapan Trump-Novanto berikut ini.
Trump (sembari
memegang bahu Novanto): ”Apakah orang
Indonesia menyukai saya?”
Novanto: ”Ya, sangat.”
Masihkah kita
terlampau naif untuk memahami percakapan ini bukan sebagai kampanye buat
Trump? Jawaban spontan Ketua DPR RI yang memberi pesan kuat bahwa orang
Indonesia sangat menyukai Trump mungkin karena Novanto sangat yakin bahwa
semua orang Indonesia menonton siaran langsung perebutan gelar tinju
profesional atau kontes Miss Universe dari Hotel Las Vegas.
Alibi lain yang
dipakai rombongan Novanto untuk membenarkan kehadirannya dalam kampanye Trump
adalah bahwa mereka tidak tahu dan hanya didadak, digiring masuk ke ruangan
untuk jumpa pers. Bukan kampanye. Masalahnya, semua mata memandang dengan
terang dan jelas, para pendukung Trump membawa poster-poster besar tentang
Trump. Sejatinya, begitu Novanto melihat poster-poster tersebut, ia dan
rombongan semestinya minta izin untuk langsung pergi. Bukan berdiri untuk
dipotret.
Kunjungan Setya
Novanto tersebut memang hingga kini belum mengemuka di AS. Namun, begitu
Trump kelak jadi kandidat sah Partai Republik, pastilah agenda ini menjadi
tema besar-besaran dan akan menimbulkan kegaduhan. Sebab, beberapa tahun
silam, tatkala Presiden Bill Clinton maju untuk kedua kalinya, muncul kasus
Lippogate yang menghebohkan itu. Grup bisnis Lippo, melalui karyawannya, John
Huang, dianggap dan memang terbukti di pengadilan bersalah memberikan donasi
politik melampaui batas yang semestinya. Orang-orang Republik menghantam
habis-habisan Clinton dan Demokrat. Bisa jadi, kelak, kunjungan Setya Novanto
dan kawan-kawan itu dijadikan tema kampanye orang-orang Demokrat:
”Novantogate”.
Dalam praktik, jika
ada pejabat yang berkunjung ke sebuah negara, pihak kedutaan atau konsul
jenderal selalu berkomunikasi dan berkonsultasi dengan pejabat bersangkutan
menyangkut agenda dan dengan siapa akan bertemu. Sebab, kunjungan tersebut
menyangkut simbol negara dan harkat/martabat bangsa di luar negeri. Namun,
untuk kasus tertentu, adakalanya pejabat meminta waktu khusus untuk tidak
diatur. Saya yakin, kunjungan Novanto ke Donald Trump di luar agenda kedutaan
atau konsul jenderal kita di sana. Sebab, jika mereka tahu, pastilah mereka
tidak merekomendasi pimpinan dan anggota DPR RI kita itu untuk menghadiri
acara kampanye Donald Trump tersebut. Kedutaan Besar RI dan Konsulat Jenderal
RI kita memiliki pengetahuan tentang sensitivitas politik.
Urusan politik atau bisnis?
Yang patut ditelusuri
dengan cermat, mengapa di antara sekian banyak anggota rombongan, hanya
beberapa orang yang bertemu Donald Trump. Apakah anggota rombongan lain sudah
diberi tahu atau sengaja tidak diberi tahu? Biarlah kelak ini menjadi agenda
khusus Mahkamah Kehormatan Dewan.
Mahkamah juga perlu
menggeledah, sejauh mana keterlibatan kedutaan atau konsulat jenderal kita di
New York dalam hal kehadiran Novanto dan kawan-kawandalam acara kampanye
Trump tersebut. Kalau memang kehadiran dan kunjungan Novanto dan kawan-kawan
ke Donald Trump tidak ada kaitannya dengan politik, urusannya adalah urusan
bisnis.
Trump adalah pebisnis
andal AS. Hary Tanoesoedibjo—sosok di balik pertemuan itu—yang merambah jalan
sebelum kunjungan Novanto, juga pebisnis dalam berbagai iklim di Tanah Air.
Dan, sebagaimana kita pahami, Novanto juga pebisnis ulung dalam segala cuaca
dengan jenis bisnis segala hal. Nah, yang satu ini sangat logis dan tak perlu
lagi mencari-cari alibi untuk membenarkan atau menolaknya. Inilah yang
disebut hubungan B to B alias bisnis dengan bisnis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar