Rizal Ramli dan Perubahan Iklim
IGG Maha Adi ; Direktur The Society of Indonesian
Environmental Journalists (SIEJ)
|
KORAN
TEMPO, 16 September 2015
Apabila Menteri
Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli konsisten dengan sikapnya
menolak proyek listrik bertenaga batu bara 35 ribu megawatt, ia layak menjadi
climate champion. Meski tidak
pernah menghubungkan sikapnya dengan isu perubahan iklim atau komitmen
penurunan emisi pemerintah, rasionalisasi Menteri Rizal dalam menjelaskan
proyek listrik itu sedang berhadapan dengan salah satu sumber energi yang
mengemisikan karbon paling tinggi.
Menteri Rizal menohok
klaim proyek itu pada nilai ekonominya. Ia yakin rencana pembangunan
pembangkit listrik batu bara 35 ribu MW plus 7 MW tersisa dari zaman Presiden
Yudhoyono, ditambah pula kapasitas seluruh pembangkit yang beroperasi saat
ini, tidak realistis karena menyebabkan kelebihan daya 21 ribu MW. Kelebihan
itu bisa menyulitkan Perusahaan Listrik Negara, karena harus membeli 72
persen daya tersisa. Ia menyarankan target itu diturunkan menjadi dua pertiga
atau setengahnya. Ini sebuah kabar baik untuk target pengurangan emisi
nasional.
Seorang menteri yang
mengurusi masalah sumber daya tidak akan lepas dari isu keberlanjutan. Dan
isu paling penting dalam keberlanjutan sumber daya adalah keberlanjutan
energi. Bersandar pada energi berbasis fosil yang bersifat non-renewable (tak terbarukan) untuk
negeri yang memiliki cadangan minyak sisa tidak lebih dari 3,7 miliar barel,
ini tentu mengundang kekhawatiran. Bila diasumsikan tingkat produksi 800 juta
barel per hari, cadangan itu akan habis dalam waktu 13 tahun.
Dalam Peraturan
Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN),
ditetapkan pada 2025 penggunaan energi nasional terdiri atas batu bara (33
persen), gas (30 persen) dan minyak bumi (25 persen), geotermal (5 persen),
batu bara cair (2 persen), sedangkan untuk biomassa, nuklir, tenaga air,
sinar matahari, serta angin secara total hanya 5 persen. Terjadi lompatan
jauh, ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan mandatori penggunaan
bauran bahan bakar nabati 15 persen atau B15 pada akhir 2015. Target baru ini
naik 12 persen persen bila mengacu pada KEN.
Terlepas realistis
atau tidak target itu, terobosan memang harus dilakukan atas kebuntuan yang
terjadi selama ini, salah satunya dengan kewajiban memakai B15. Di belahan
dunia yang lain, bahkan para produsen utama minyak bumi mulai beralih ke
energi baru dan terbarukan (EBT). Arab Saudi yang masih memproduksi 2,8 juta
barel minyak per hari telah sepakat membangun pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN) dengan Prancis, Korea, dan Cina sebanyak 16 reaktor berdaya 14
MW. Mereka juga akan memulai pembangunan pembangkit listrik tenaga surya pada
2023 dengan dana US$ 109 miliar. Chatham House memperingatkan Arab Saudi akan
menjadi net oil importer pada 2038, bila tingkat konsumsi minyak dalam
negerinya sama seperti hari ini.
Uni Emirat Arab yang
memproduksi 2,82 juta barel minyak per hari mengambil langkah sama melalui
beberapa kotanya. Mereka berhasil membangun Kota Masdar di Abu Dhabi yang
memang direncanakan menjadi berkarbon netral pertama di jazirah Arab.
Bandingkan dengan Indonesia yang berstatus negara importir minyak sejak 2003,
tetapi tetap mengutamakan migas pada 2025. Geotermal yang sudah dieksploitasi
dan tergolong energi bersih tetap menjadi "anak tiri," hanya
menyumbang 5 persen pada 2025.
Mobil listrik saat ini
tak sampai 1 persen dari seluruh mobil di dunia ini, tapi dengan penemuan
baterai super-efisien, desain menarik, dan kecepatan tinggi seperti yang
telah dibuktikan Tesla, dalam 15 tahun diperkirakan 20 persen mobil akan
bertenaga listrik. Google, Apple, Wal-Mart, Johnson & Johnson, Hilton,
atau MidAmerican Energy Holdingsmilik Warren Buffet, dan banyak perusahaan
lain dalam daftar Fortune 500, sudah masuk ke bisnis EBT dengan nilai
investasi miliaran dolar AS. Cina yang dikenal rakus energi berbasis fosil menjadi
produsen panel surya terbesar di dunia. Lalu, peran apa yang akan dimainkan
Indonesia secara global, selain selalu banyak bicara soal potensi EBT yang
melimpah?
Ketika menyampaikan
isi dokumen Intended Nationally
Determined Contributions (INDC) yang memuat komitmen Indonesia untuk
pengurangan emisi global, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK)
menekankan bahwa tambahan penurunan emisi terbesar akan diperoleh dari sektor
industri dan energi. Menteri KLHK akan menutup izin bagi pertambangan batu bara
di kawasan hutan agar tak menambah emisi. Meskipun masih retorika, rencana
ini sejalan dengan keinginan Menteri Rizal Ramli. Bila usul revisi 35 ribu MW
diterima dan diturunkan menjadi 17 MW saja, potensi emisi sekitar 102 juta
ton karbon dioksida per tahun akan terkurangi, belum dihitung ongkos
kesehatan masyarakat yang terkena dampaknya. Menteri Rizal Ramli perlu
didorong untuk menggebrak lebih jauh, tapi kali ini dengan membawa paket
lengkap tiga pilar keberlanjutan, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan
hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar